Rabu, 16 September 2009

TRANSMIGRASI DI INDONESIA

TRANSMIGRASI DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki persebaran penduduk yang sangat timpang. Sekitar 59,9 % dari jumlah seluruh penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa yang luasnya hanya 6,7 % dari luas seluruh daratan Indonesia. Sementara Kalimantan, pulau terluas di Indonesia (28,1 % dari seluruh daratan Indonesia), hanya dihuni oleh sekitar 5,1 % dari jumlah penduduk Indonesia. Papua atau Irian Jaya, provinsi terluas di Indonesia yang luasnya 22 % dari luas Indonesia, dihuni oleh kurang satu persen dari total penduduk Indonesia (SP.1990).
Di Pulau Jawa, proses pemiskinan terjadi karena terlalu padatnya penduduk. Sebaliknya, di luar Jawa, proses pemiskinan disebabkan justru karena kekurangan penduduk. Desa-desa di luar Jawa banyak yang berpenduduk sangat sedikit dan lokasinya terpencil sehingga jika dibangun sekolah akan kekurangan murid, jika dibangun jalan atau dipasang jaringan listrik, biayanya sangat mahal dan tidak efisien, jika dibangun pasar, pembeli dan barang yang diperjualbelikan sedikit. Akibatnya desa-desa itu tetap tertinggal.
Desa tertinggal di Indonesia pada tahun 1990 berjumlah 20.632 desa (31,47 % dari 65.561 desa di Indonesia). Jumlah desa tertinggal di Pulau Jawa 6.090 desa (29,52 % dari jumlah desa tertinggal), sedangkan di luar Jawa 14.542 desa (70,48 % dari jumlah desa tertinggal). Sebagian besar desa teringgal memang berada di luar Pulau Jawa, tetapi jumlah orang yang miskin lebih banyak berada di Pulau Jawa, yaitu 10.316.117 jiwa (40 %).
Untuk mengatasi permasalahan ini diperlukan pemindahan penduduk dari Pulau Jawa yang sudah terlalu padat ke pulau-pulau lainnya di Indonesia yang kepadatan penduduknya relatif masih jarang. Di Indonesia proses pemindahan penduduk ini, meskipun kurang tepat, dikenal dengan istilah “transmigrasi”. Mungkin yang lebih tepat adalah migrasi dalam negeri atau antardaerah, namun meskipun demikian, tulisan ini tetap menggunakan istilah transmigrasi karena sudah sangat umum dipakai dan juga digunakan oleh instansi resmi di Indonesia.
Kenyataan menunjukkan bahwa pelaksanaan transmigrasi tidaklah semudah merancang dan menuliskannya di atas kertas. Pelaksanaan transmigrasi memiliki banyak tantangan, hambatan, bahkan kegagalan-kegagalan yang telah dialamipada berbagai sektor di beberapa lokasi Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT).
Daerah atau lokasi transmigrasi yang dipilih sebagai bahan perbandingan dalam penelitian ini adalah Punggur di Lampung dan Tongar di Sumatera Barat. Kedua daerah tersebut dipilih karena memiliki perbedaan yang mencolok mengenai permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh transmigran dengan pemerintah dan penduduk asli lokasi transmigrasi.
1.2. Permasalahan Penelitian
Untuk mempermudah dan membantu jalannya pengumpulan data dalam penelitian, maka tulisan ini berangkat dari beberapa pertanyaan:
1. Bagaimanakah proses perkembangan transmigrasi di Indonesia dari masa ke masa?
2. Sejauhmanakah hubungan antara transmigrasi dan pembangunan pertanian?
3. Bagaimanakah gambaran lokasi transmigrasi yang merupakan daerah enclave dalam daerah yang dihuni oleh penduduk asli daerah tersebut?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan paper ini adalah untuk melihat sejauhmana kebijaksanaan pemerintah melalui program transmigrasi dapat mengatasi masalah kemiskinan akibat timpangnya persebaran penduduk di Indonesia dan masalah-masalah apa saja yang dihadapi oleh pemerintah dan para transmigran dalam rangka menyukseskan program ini. Hasil penulisan ini akan sangat berguna terutama untuk mengetahui:
1. Proses perkembangan transmigarsi di Indonesia dari masa ke masa, yaitu dari masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda sampai sekarang.
2. Hubungan antara transmigrasi dan pembanguan pertanian yang sasaran akhirnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
3. Gambaran daerah yang menjadi lokasi transmigrasi, terutama untuk melihat perubahan sosial dan budaya serta kemajuan ekonomi yang dicapai oleh para transmigran di lokasi transmigrasi.

1.4. Metodologi Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini terutama menggunakan studi kepustakaan. Data-data di peroleh dari berbagai buku dan tulisan yang mendukung penelitian ini. Data yang diperoleh kemudian diolah untuk mendapatkan gambaran tentang perkembangan transmigrasi di Indonesia dari masa ke masa, serta masalah-masalah yang timbul akibat pembukaan lokasi transmigrasi di berbagai daerah di Indonesia. Dengan menggunakan literatur yang terkait terutama tentang kaitan antara transmigrasi dengan pembangunan dan modernisasi dalam bidang pertanian dicoba dilihat bagaimana literatur yang ada dapat mendukung penelitian ini.
Data yang telah diolah tersebut kemudian diinterpretasi untuk melihat sejauh mana hubungan antara transmigrasi dengan kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah Republik Indonesia untuk mengatasi masalah kemiskinan dan persebaran penduduk yang timpang. Data yang telah diolah ini juga untuk melihat hubungan antara transmigran dengan penduduk asli yang telah menempati wilayah tersebut terlebih dahulu.
Langkah terakhir yang dilakukan dalam metode penelitian ini adalah dengan menuangkannya ke dalam bentuk tulisan dengan tujuan supaya hasil penelitian ini dapat pula dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu, seperti Jawatan Transmigrasi dan semoga dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan ilmu kependudukan di Indonesia.







BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teoritis
Secara umum pengertian transmigrasi ialah “perpindahan, dalam hal ini memindahkan orang dari daerah yang padat ke daerah yang jarang penduduknya dalam batas negara dalam rangka kebijaksanaan nasional untuk tercapainya penyebaran penduduk yang lebih seimbang” (Heeren, 1979: 6).
Transmigrasi di Indonesia bermula dari upaya pemerintah Hindia Belanda untuk memindahkan penduduk Pulau Jawa yang semakin padat ke pulau-pulau lain yang membutuhkan tenaga kerja untuk mengembangkan potensi ekonominya dan merupakan bagian dari “Politik Etis”. Istilah “transmigrasi” sendiri secara resmi baru digunakan pada awal tahun 1946 oleh pemerintah Republik Indonesia ketika kebijaksanaan tentang pengembangan industrialisasi di pulau-pulau seberang atau luar Jawa dirumuskan dalam Konferensi Ekonomi di Yogyakarta (Siswono Yudohusodo, 1998: 6).
Pelaksanaan transmigrasi di Indonesia dapat dibedakan atas beberapa kategori, yaitu transmigrasi spontan, transmigrasi umum, transmigrasi keluarga, transmigrasi bedol desa, dan transmigrasi lokal.
Transmigrasi spontan dipakai untuk menunjuk mereka yang atas usaha dan resiko sendiri dan tanpa bantuan pemerintah pindah ke daerah tujuan transmigrasi. Setibanya di tempat tujuan sementara, transmigran tersebut melaporkan diri pada kantor jawatan Transmigrasi setempat dan mendapat sebidang tanah serta bantuan materil pada waktunya. Akan tetapi, kebanyakan transmigran ini menduduki sebidang tanah secara illegal, atau dengan cara lain mendapatkan hak untuk membuka tanah dari pemerintah setempat. Daerah tujuan transmigran spontan utama di Indonesia adalah Provinsi Lampung yang letaknya dekat dengan Pulau Jawa.
Taransmigrasi umum merupakan pelaksanaan transmigrasi yang dapat dipandang sebagai bentuk “normal”. Dalam sistem ini, seluruh urusan untuk migran, dari pendaftaran dan seleksi hingga bertempat tinggal di tempat pemukiman yang baru, menjadi tanggungjawab Jawatan Transmigrasi. Yang tercakup di sini adalah pangan dan biaya hidup yang lain selama delapan bulan pertama. Mereka tidak lagi tergantung pada bawon dan dapat datang kapan saja sepanjang tahun. Mereka mendapat sandang, bahan tanaman, dan selanjutnya beras, minyak, ikan, serta garam. Secara resmi semuanya ini dianggap sebagai pinjaman yang harus dibayar kembali setelah jangka waktu tiga tahun.
Transmigrasi keluarga merupakan transmigrasi yang pelaksanaannya dapat dilakukan kapan saja sepanjang tahun, tidak hanya pada bulan-bulan menjelang panen. Perumahan dan penghidupan menjadi tanggungan keluarga penerima, sehingga biayanya jauh lebih murah daripada transmigrasi umum. Setelah mencapai titik puncaknya pada tahun 1952, transmigrasi jenis ini lambat laun menyusut dan setelah tahun 1959 lenyap sama sekali.
Transmigrasi bedol desa adalah perpindahan penduduk suatu daerah atau desa secara keseluruhan termasuk aparat desanya. Hal ini terjadi karena adanya bencana alam atau pembangunan suatu proyek pembangunan yang membutuhkan lokasi yang luas seperti pemindahan penduduk dari Wonogiri Jawa Tengah ke Sitiung Sumatera Barat pada tahun 1977 akibat pembangunan Waduk Gajah Mungkur.
Transmigrasi lokal mencakup migrasi dalam daerah atau provinsi tertentu, seperti dari suatu daerah di Lampung yang penduduknya sudah terlalu padat ke daerah lainnya yang baru dibuka dalam Provinsi Lampung. Hal ini terutama terjadi pada generasi kedua para transmigran yang merasa bidang tanah yang merejka miliki sudah tidak mencukupi lagi akibat adanya pembagian dengan saudara-saudara mereka yang lain.
Dr. Hilde Wander (1959), seorang demograf perempuan asal Jerman, yang pernah bekerja di Indonesia sebagai tenaga ahli PBB, dalam suatu laporan yang tajam telah mencoba memperhitungkan akibat-akibat transmigrasi 100.000 orang tiap tahun selama dua dasawarsa (1958-1977), dengan menggunakan data-data yang ada mengenai susunan umur transmigran. Tentang angka-angka kelahiran dan kematian para transmigran itu, ia bertitik tolak dari anggapan bahwa kesuburan perempuan tidak akan menurun dengan perlahan-lahan, sedang kematian memang akan demikian. Di samping itu ia pun menerima anggapan bahwa para transmigran itu dalam satu setengah tahun setelah tiba di sana tidak akan mempunyai anak..
Atas dasar titik tolak ini ia lalu mengurangi jumlah pertumbuhan penduduk Jawa sebanyak 2.655.000 dalam jangka waktu 20 tahun ini. Jatuhnya adalah 9,6% dari seluruh jumlah pertambahan penduduk Jawa seperti yang telah dihitungnya berdasarkan premis-premis tersebut. Selanjutnya ia menunjukkan bahwa migrasi demikian tidak sama pengaruhnya terhadap berbagai kelompok umur di Jawa dan bahkan secara mutlak kategori pemuda dewasa akan berkurang jumlahnya.
2.2. Mobilitas Penduduk
Sejak kira-kira 1,5 juta hingga 10.000 SM, manusia purba seperti Neanderthal, Sinanthropus Pekinensis, dan Cro Magnon, selalu berpindah-pindah dari gua ke gua dalam upaya mendekati padang perburuan atau tempat-tempat yang banyak terdapat bahan-bahan yang perlu untuk kelangsungan hidup. Dalam proses mencari daerah yang lebih baik ini, manusia secara berkelompok selalu berpindah tempat. Mula-mula mereka berjalan kaki, lalu naik kuda, atau binatang lain, kemudian dengan gerobak atau dengan jenis peralatan-peralatan angkutan lain, seiring perkembangan penemuan teknologi angkutan.
Manusia berpindah-pindah menyelusuri hutan, pantai, dan tepi-tepi sungai untuk mencari daerah-daerah yang subur, padang gembala, atau daerah-daerah perburuan yang dapat memberikan makanan serta memenuhi kebutuhan lain secara memadai. Mereka bergerak dan berpencar-pencar dari tanah-tanah asalnya, mulai dari Mesopotamia di lembah Sungai Euphrat dan Tigris, dari lembah Sungai Nil di Afrika, dari lembah Sungai Shindu di India, dari lembah Sungai Huang Ho di Cina, dari lembah Bengawan Solo di Pulau Jawa, dan sebagainya, ke seluruh dunia.
Pada akhirnya manusia memutuskan untuk menetap di tempat-tempat tertentu untuk waktu yang relatif lebih lama. Kebiasaan-kebiasaan yang menyertainya dinamakan budaya, sedangkan tingkat kemajuan lahir dan bathinnya dinamakan peradaban. Budaya dan peradaban mereka terus bergerak dan berubah. Perubahan yang positif disebut kemajuan, sedangkan yang negatif dianggap sebagai kemunduran.
Berdasarkan analisis empiris, Prof. Dr. Aris Ananta, ahli kependudukan dari Universitas Indonesia, menyatakan bahwa mobilitas penduduk berjalan secara alami melalui beberapa tahap (Yudohusodo, 1998), yaitu:
Pertama, sebagian besar mobilitas penduduk bersifat nonpermanen, berpindah bukan untuk menetap. Ini dilakukan oleh suku-suku nomaden.
Kedua, penduduk mulai pindah dari daerah perkotaan yang satu ke kota yang lain, dengan kota besar sebagai tujuan utama. Migrasi penduduk bergerak dari kota kecil ke kota-kota menengah, dan akhirnya ke kota-kota besar. Prasyarat dimulainya tahap kedua ini ialah tersedianya jaringan transportasi yang luas dan efisien.
Ketiga, migrasi dari daerah-daerah pedesaan ke kota-kota besar yang berdekatan. Mobilitas antarpedesaan mulai menurun, sebaliknya mobilitas antarperkotaan mulai meningkat. Lalu mereka mulai menetap di perkotaan. Jika yang pindah itu berada pada usia kerja, maka di daerah pedesaan akan terjadi kekurangan tenaga kerja.
Keempat, tahap masyarakat transisi akhir (late transitional society). Tahap ini ditandai dengan munculnya kotaraya (megacity). Pada tahap ini, penduduk pedesaan langsung pindah ke kota besar. Pada tahap ini mulai terlihat dominasi migran perempuan dan migrasi tenaga kerja ke luar negeri.
Kelima, tahap masyarakat mulai maju (early advanced society), terjadi ketika jumlah penduduk perkotaan sudah melewati angka 50%, dan mobilitas dari pedesaan ke perkotaan mulai menurun. Terjadilah suburbanisasi dan dekonsentrasi penduduk perkotaan. Sebagian penduduk kota mulai pindah pindah ke luar kota (sekitar kota besar) tetapi bekerja di kota besar. Mobilitas nonpermanen ulang-alik (commuter) mulai meningkat kembali.
Keenam, masyarakat maju lanjut (late advanced society), yang ditandai dengan terjadinya proses dekonsentrasi penduduk perkotaan. Penduduk perkotaan semakin menyebar ke daerah pinggiran dan perkotaan yang lebih kecil (yang berkembang dari daerah pedesaan sekitar kota besar itu). Masyarakatnya semakin berciri kota, sehingga masyarakat asal perkotaan tidak segan-segan lagi tinggal di daerah yang beberapa tahun sebelumnya masih merupakan daerah pedesaan.
Ketujuh, tahap masyarakat supermaju (advanced society) yang diwarnai oleh adanya teknologi tinggi, termasuk teknologi informasi. Pada tahap ini mobilitas permanen semakin berkurang dan mobilitas nonpermanen yang ualng-alik semakin meningkat. Transportasi digantikan oleh komunikasi yang semakin maju, sehingga orang tidak perlu berpindah tempat untuk dapat berkomunikasi.





BAB III
KEPENDUDUKAN, KOLONISASI, DAN TRANSMIGRASI
3.1. Transmigrasi dari Waktu ke Waktu
Transmigrasi merupakan program yang unik dan sangat khas Indonesia. Dalam program ini, pemerintah secara aktif terlibat langsung dalam memindahkan penduduk dalam jumlah besar, menyeberangi lautan, dan berlangsung terus-menerus dalam waktu yang cukup lama. Program seperti ini tidak ada duanya di dunia. Memang ada beberapa negara yang mempunyai program serupa, tetapi jumlah penduduk yang dipindahkan relatif sangat kecil, waktu penyelenggaraannya tidak terus-menerus dalam waktu yang lama, dan umumnya dalam bentuk program resettlement, tidak menyeberangi lautan.
Transmigrasi di Indonesia diilhami dari sebuah tulisan C. Th. Van Deventer, anggota Raad van Indie, berjudul “Een Eereschuld” (Hutang Budi) yang dimuat dalam majalah De Gids yang terbit pada tahun 1899. Tulisan tersebut membeberkan tentang kemiskinan di Pulau Jawa serta kaitannya dengan cultuur stelsel dan pelaksanaan kerja paksa oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Van Deventer menghimbau agar Pemerintah Belanda melakukan upaya-upaya yang dapat memperbaiki kehidupan rakyat di Pulau Jawa.
Mengacu pada pokok-pokok pikiran Van Deventer tersebut, Pemerintah Hindia Belanda kemudian menyiapkan program pembangunan yang meliputi bidang pendidikan, perbaikan di bidang produksi pertanian, serta pemindahan penduduk dari Pulau Jawa ke luar Jawa. Untuk rencana pemindahan penduduk tersebut, ditunjuklah H.G. Heyting, seorang asisten residen, untuk mempelajari kemungkinan pemindahan penduduk Pulau Jawa ke daerah-daerah lain yang jarang penduduknya dan yang dianggap potensial bagi pengembangan usaha pertanian. Laporan Heyting tahun 1903, antara lain menyarankan agar Pemerintah Belanda membangun desa-desa baru di luar Jawa dengan jumlah penduduk rata-rta sekitar 500 KK setiap desa, disertai bantuan ekonomi secukupnya agar desa-desa baru tersebut dapat berkembang serta memiliki daya tarik bagi pendatang-pendatang baru.
Pelaksanaan program migrasi yang waktu itu disebut “kolonisasi” tersebut dimulai pertama kali pada bulan November 1905, sejumlah 155 KK (815 jiwa) yang berasal dari Kabupaten Karanganyar, Kebumen, dan Purworejo (waktu itu Keresidenan Kedu Jawa Tengah). Para transmigran tersebut diberangkatkan menuju Gedong Tataan, sekitar 25 Km sebelah barat Tanjungkarang (waktu itu Keresidenan Lampung). Desa baru tempat para transmigran tersebut diberi nama Bagelen, nama salah satu desa di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, desa asal dari sebagian transmigran tersebut.. Pemilihan nama tersebut dimaksudkan agar mereka betah di tempat baru, dan merasa seperti di desa asalnya. Pada tahun-tahun berikutnya program kolonisasi juga dilaksanakan ke daerah Bengkulu dan Sulawesi Tengah..
Dalam periode 1905-1942, penduduk yang berhasil dipindahkan sebanyak 235.802 orang penduduk. (Lampiran I). Daerah asal terbanyak ialah Jawa Timur 27.044 KK (90.086 jiwa) dan yang terkecil D.I. Yogyakarta 188 KK (750 jiwa). Daerah tujuan terbanyak ialah Lampung 44.687 KK (175.867 jiwa) dan yang terkecil Sulawesi Selatan 137 KK (457 jiwa).
Setelah Indonesia merdeka, program pemindahan penduduk yang kemudian disebut “transmigrasi”, dimulai kembali. Pada tanggal 12 Desember 1950, diberangkatkan 23 KK (77 jiwa) dari Provinsi Jawa Tengah menuju Lampung. Program ini terus dikembangkan hingga sekarang dalam berbagai macam pola dan cara.
Pengiriman keluarga transmigran dari Pulau Jawa, Bali, dan Lombok selama Pelita I, II, III, dan IV berturut-turut adalah 46.268, 82959, 535.474, dan 402.756 (Ida Bagus Mantra, 1987: 7). Hal ini tidak jauh berbeda dengan target yang dicanangkan pemerintah (Lampiran II).
Perubahan yang cukup mendasar dalam kebijakan kependudukan terjadi pada Peliata I. Pemahaman bahwa satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah kependudukan di Indonesia hanya dengan transmigrasi mulai berubah. Pemerintah mulai mengadopsi program Keluarga Berencana untuk mengurangi laju pertumbuhan penduduk yang cepat, terutama di Jawa.
Perkembangan selanjutnya dari program taransmigrasi adalah ketika diperkenalkannya program transmigrasi “Pola Sitiung” oleh Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi (Depnakertranskop) pada Pelita II. Pola ini berawal dari adanya transmigrasi “besol desa” dari daerah Wonogiri Jawa Tengah (meliputi 41 desa) ke empat desa baru di Kabupaten Sawahlunto-Sijunjung Sumatera Barat, yaitu Sitiung, Tiumang, Sialanggaung, dan Kotosalak. Penduduk dari 41 desa di Wonogiri tersebut dipindahkan karena desa tempat tinggal mereka terkena proyek bendungan Gajah Mungkur. Jumlah transmigran tersebut adalah 65.517 jiwa atau lebih kurang 2.000 KK. Hal yang dinilai lebih dalam pola ini adalah adanya koordinasi yang lebih baik antar instansi terkait dalam pelaksanaannya. Misalnya pembabatan hutan, membangun prasarana jalan, jembatan, dan irigasi dilaksanakan oleh Departemen Pekerjaan Umum, urusan pemerintahan desa oleh Departemen Dalam Negeri, pengkaplingan tanah hingga pembuatan sertifikat dilakukan oleh Jawatan Agraria, pendirian Puskesmas dan tenaganya oleh Departemen Kesehatan, sekolah dan gurunya oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Dalam pelaksanaan Pola Sitiung, transmigran tidak perlu membangun rumah dulu, karena rumah sudah disipkan oleh Depnakertranskop. Begitu berhasilnya pola ini, Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi, Prof. Soebroto bermaksud memperluas pola ini ke-14 provinsi lainnya di Indonesia. Akan tetapi, ternyata untuk menerapkan pola ini ke propvinsi lain kendalanya cukup banyak, antara lain kesiapan lokasi transmigrasi, dan koordinasi yang kurang berjalan dengan baik.
Pola Inti Rakyat Perkebunan (PIR Bun) mulai diperkenalkan pada Pelita III di lokasi-lokasi transmigrasi. Pola ini cukup berhasil menarik minat penduduk pedesaan di Pulau Jawa untuk ikut serta dalam program tarnasmigrasi ini. Melihat minat masyarakat yang cukup tinggi ini, pada Pelita IV Departemen Transmigrasi kemudian lebih banyak mendorong pelaksanaan transmigrasi spontan yang dibiayai sendiri oleh penduduk.
Orientasi program transmigrasi kemudian mengalami perubahan dari orientasi kuantitas ke orientasi kualitas pada Pelita V. Pemerintah juga mendorong agar masyarakat tergerak untuk melakukan transmigrasi swakarsa. Pada masa ini perhatian untuk mengembangkan daerah tujuan transmigrasi agar dapat menarik transmigran dari Jawa mulai dibangun. Hutan Tanaman Industri-Transmigrasi (HTI-Trans) mulai diperkenalkan yang merupakan kerjasama antra swasta pemegang Hak Penguasahan Hutan (HPH) dengan transmigran sebagai pemasok tenaga kerja. Selain memperkenalkan HTI-Trans, Departemen Transmigrasi juga mendorong terbentuknya pusat-pusat industrialisasi di luar Jawa, seperti agribisnis kelapa sawit atau tambak udang inti rakyat transmigrasi.
Provinsi-provinsi yang dijadikan daerah pemukiman transmigrasi dewasa ini adalah Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimanatan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua. Di daerah-daerah tersebut, pengaruh demografi cukup terasa oleh karena di masa lampau jumlah penduduk setempat relatif masih sedikit. Di samping itu perekonomian daerah tujuan kemungkinan juga terpengaruh dengan adanya pertambahan tenaga kerja dan pembukaan tanah-tanah pertanian baru.
Dalam kurun waktu 60 tahun (1930-1990), distribusi penduduk di Indonesia sedikit banyaknya juga dipengaruhi oleh pelaksanaan transmigrasi, walaupun tidak begitu besar. Pulau Jawa dan Madura yang pada tahun 1930 dihuni oleh 68,9% penduduk Indonesia, pada tahun 1990 “hanya” 59,9% dari keseluruhan penduduk. Meskipun demikian, karena angka pertumbuhan penduduk yang tinggi, kenaikan jumlah penduduk di Pulau Jawa jauh lebih besar dibandingkan yang bermigrasi kederah lain.
Tabel I:
Distribusi Penduduk Indonesia Menurut
Sensus Penduduk Tahun 1930 dan Sensus Penduduk Tahun 1990

Penduduk 1930 1990 Kenaikan/Perubahan
Jumlah (juta) % Jumlah (juta) % Jumlah (juta) %
Jawa + Madura
Sumatera
Kalimantan
Sulawesi
Pulau Lain 41,7
8,2
2,2
4,2
4,2 68,9
13,5
3,6
6,9
7,3 107,5
36,4
9,2
12,5
13,6 59,9
20,2
5,2
7,0
7,7 65,8
28,2
6,9
8,3
9,2 (8,8)
6,8
1,6
0,1
0,3
Jumlah 60,7 100 179,2 100 119,4 0

Sumber: Badan Pusat Statistik
Pada tahun 1996 terjadi sedkit perubahan. Proporsi penduduk Pulau Jawa berkurang menjadi 58,9 %, sedangkan pulau-pulau lainnya mengalami peningkatan, meskipun tidak terlalu besar.

Tabel II:
Perbandingan Kepadatan Penduduk Antarpulau pada Tahun 1996
Pulau Jumlah Penduduk (Juta)
% Luas Kepadatan per Pulau
(Km2) %
Jawa
Sumatera
Kalimantan
Sulawesi
Irian Jaya
Pulau Lainnya 114,773
40,831
10,470
13,372
1,943
13,006 58,9
20,9
5,4
7,1
1,0
6,7 132.186
473.481
539.460
189.216
421.981
162.993 6,9
24,7
28,1
9,8
22.0
8,5 868
86
19
73
5
80
INDONESIA 194,755 100 1.919.317 100 101
Sumber: Siswono Yudohusodo (1998: 31).
3.2. Transmigrasi dan Pembangunan Nasional
Seperti umumnya negara-negara sedang berkembang, dalam upaya pembangunan ekonominya, Indonesia masih bertumpu pada pemanfaatan sumber daya alam. Walaupun jumlahnya melimpah, tetapi karena terbatas maka akan berkurang arti dan manfaatnya jika tidak dikelola secara arif. Eksploitasi pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan, malampaui batas pemanfaatan secara lestari dan tak terencana baik, akan merusak lingkungan hidup dan untuk jangka panjang akan berakibat buruk terhadap penghuninya.
Pembangunan subsektor transmigrasi ikut memberikan andil yang cukup berarti bagi keberhasilan pembangunan nasional. Kontribusi subsektor transmigrasi bagi pembangunan nasional selama Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I meliputi bidang pembangunan daerah, pembangunan ekonomi, dan pembangunan sosial budaya.
Pembangunan transmigrasi pada hakikatnya merupakan pembangunan daerah melalui pembangunan pedesaan baru. Ada empat sasaran utama pembangunan pemukiman transmigrasi:
Pertama, membangun desa-desa baru melalui pembangunan unit-unit transmigrasi yang terintegrasi dalam Satuan Kawasan Pengembangan (SKP) dan Wilayah Pengembangan Parsial (WPP).
Kedua, membangun hinterland dari pusat-pusat pertumbuhan yang ada melalui pembangunan unit-unit pemukiman transmigrasi yang terintegrasi dengan pusat-pusat pertumbuhan tersebut.
Ketiga, mendorong pertumbuhan desa-desa yang kurang berkembang, melalui penambahan penduduk dan pembangunan prasarana, yang disebut Transmigrasi Swakarsa Pengembangan Desa Potensial (Transbangdep)
Keempat, membangun masyarakat transmigran dan penduduk di sekitarnya melalui pengembangan keswadayaan masyarakat, agar pada saat pembinaan Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) diserahkan kepada pemerintah daerah, masyarakat telah mandiri..
Pembangunan desa-desa transmigrasi di luar Jawa tidak hanya berperan dalam pembangunan SDM dan pengelolaan sumber daya alam yang sangat besar jumlahnya, tetapi juga memberikan sumbangan yang cukup besar dalam mempersiapkan pelaksanaan otonomi daerah.
Pembanguan transmigrasi pada dasarnya merupakan pelaksanaan kebijaksanaan kependudukan yang tidak hanya sekedar memindahkan penduduk. Di tempat yang baru, kualitas hidup penduduk yang dipindahkan itu ditingkatkan. Mereka memperoleh pelayanan-pelayanan yang pantas untuk memenuhi kebutuhannya, baik di bidang pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, fasilitas keagamaan, dan kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya. Oleh karena itu, pembangunan transmigrasi juga meliputi pembangunan Sekolah Dasar, Puskesmas pembantu, sarana peribadatan, penyediaan lapangan kerja, antara lain berupa lahan pekarangan, lahan pertanian, kebun, tambak, kapal penangkap ikan, bagan apung, perangkat industri, serta pembinaan keterampilan di bidang terkait.
3.3. Dampak Demografi Pelaksanaan Transmigrasi
Salah satu sasaran dari program tarnsmigrasi adalah penyebaran penduduk yang lebih serasi dan seimbang. Penduduk Jawa, Madura, dan Bali menurut Sensus 1990 mencapai 110.302.876 orang. Migrasi seumur hidup menunjukkan bahwa dari penduduk tersebut, 1656.215 orang lahir di luar Jawa, Madura, dan Bali. Jadi 1,5% dari penduduk Jawa, Madura, dan Bali merupakan migran masuk. Dari sudut lain, 5.142.505 orang lahir di Jawa, Madura, dan Bali, tetapi tinggal di provinsi lainnya. Dengan perkataan lain migrasi keluar dari Jawa, Madura, dan Bali sebesar 4,7%. Migrasi netto menunjukkan -3.486.290 orang atau -3,2%. Ini menunjukkan bahwa lebih banyak penduduk yang keluar Jawa, Madura, dan Bali daripada penduduk yang masuk..
Pelaksanaan transmigrasi memberi sumbangan yang besar dalam migrasi keluar dari Jawa, Madura, dan Bali, Kecuali penduduk Jawa, Madura, dan Bali berkurang karena ada penduduk yang berpindah ke provinsi lainnya, sumbangan lain dari transmigrasi adalah jumlah kelahiran yang lebih rendah di Jawa, Madura, dan Bali daripada tidak diterapkan program transmigrasi. Penyebabnya, kepala keluarga transmigran pada umumnya adalah penduduk muda sehingga jumlah bayi yang dilahirkan oleh mereka disumbangkan kepada daerah penerima transmigran dan bukan kepada daerah pengirim transmigran.
Kepala Keluarga transmigran pada umumnya adalah orang muda yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan mempunyai penghasilan rendah. Untuk para transmigran, terbuka kesempatan kerja dengan dimilikinya tanah pekarangan dan lahan pertanian untuk diolah dengan lebih produktif. Program transmigrasi telah membuka banyak kesempatan kerja di daerah penerimaan tidak saja bagi transmigran sendiri, tetapi juga untuk tenaga yang membuka yang menyiapkan pemukiman, lahan pertanian, dan infrastruktur lainnya. Dengan berpindahnya sebagian penduduk muda dari Jawa, Madura, dan Bali maka telah berkurang sedikit tekanan pencari kerja pada lapangan kerja yang tersedia di Jawa, Madura, dan Bali, dan telah bertambah kesempatan kerja di luar Jawa, Madura, dan Bali. Program transmigrasi dengan demikian tyelah memberi sumbangan cukup besar pada lapangan pekerjaan.
Di daerah pedesaan Jawa, Madura, dan Bali, program transmigrasi juga telah membantu mengurangi desakan penduduk daerah pedesaan pada lahan pertanian dan kesempatan pekerjaan yang tersedia dan pada mobilitas ke daerah perkotaan di Jawa, Madura, dan Bali. Penduduk pedesaan Jawa, Madura, dan Bali menurut Sensus Penduduk 1990 berjumlah 71.227.015 orang, dan 0,3% atau 207.029 orang dilahirkan di luar Jawa, Madura, dan Bali. Sebaliknya 4.066.900 penduduk pedesaan dari 21 provinsi lainnya dilahirkan di Jawa, Madura, dan Bali. Hal ini menunjukkan bahwa migrasi keluar dari daerah pedesaan sebesar 5,7%. Dengan demikian, migrasi netto dari daerah pedesaan Jawa, Madura, dan Bali menunjukkan -3.859.871 orang atau -5,4%. Perhitungan ini adalah dengan asumsi bahwa migran yang lahir di Jawa, Madura, dan Bali dan menetap di daerah pedesaan 21 provinsi lainnya juga berasal dari daerah pedesaan Jawa, Madura, dan Bali.

BAB IV
GAMBARAN BEBERAPA LOKASI TRANSMIGRASI
4.1. Punggur di Lampung
Punggur merupakan Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) yang terletak di Kabupaten Lampung Tengah yang kemudian menjadi nama kecamatan di derah tersebut. Pada tahun 1965, daerah ini mempunyai 27.425 penduduk yang tersebar di 14 desa dan menempati areal seluas  10.000 ha.. Bagi warga Punggur, desa-desa itu bukan merupakan satu kesatuan yang kuat. Desa-desa itu tidak dapt dibeda-bedakan, sedang batas-batasnya tidak menurutkan batas-batas alamiah. Dalam kesadaran penduduk yang jelas menjadi satuannya adalah kecamatan.
Kepindahan penduduk dari Jawa ke Punggur yang terbesar adalah pada tahun 1954. Transmigran tersebut, 67% di antaranya berasal dari Jawa Tengah dan 33% dari berasal Jawa Timur. Motif perpindahan penduduk ini adalah karena tidak memiliki tanah di tempat asal, ingin maju, adu untung, ikut keluarga, dan lain-lain. Kekurangan tanah merupakan faktor pendorong utama yang menyebabkan penduduk ikut transmigrasi. Faktor ingin maju merupakan faktor penarik yang bukan alasan utama transmigran untuk menetap di Punggur.
Setelah sampai di Punggur, sesuai ketentuan setiap transmigran seharusnya transmigran mendapatkan tanah dua hektar yang terdiri dari ¼ Ha tanah pekarangan, ¾ Ha tanah ladang, dan 1 Ha tanah sawah seperti yang ditetapkan Jawatan Transmigrasi. Dalam kenyataannya hanya 19% transmigran yang memiliki tanah demikian. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa daerah Punggur yang pada mulanya disediakn sebagai daerah hutan cadangan dibuka dan didiami secara illegal. Maka tanah-tanah yang dimiliki para migran dengan cara tersebut, acap kali lebih kecil dari 2 Ha areal resmi tersebut. Tanah yang sempit ini juga disebabkan karena para transmigran itu dahulu menjual sebagian tanahnya akibat butuh uang. Akibatnya taraf kesejahteraan para transmigran di Punggur tidak begitu baik. 37% transmigran di Punggur memperoleh tanah dari Jawatan Transmigrasi dan 63% lainnya memiliki tanah karena pembelian.
Setelah sekian lama menempati areal transmigrasi, para transmigran masih tetap menjalin hubungan yang baik dengan kampung halaman mereka. Sebanyak 59,6% transmigran masih mempunyai anggota keluarga di Jawa. 49,5% di antaranya tetap mengadakan hubungan surat-menyurat atau bentuk komunikasi lainnya dengan sanak saudaranya di Jawa, sedang 19,8% selalu mengunjungi keluarga di Jawa. Meskipun demikian, 67,8% transmigran di Punggur ternyata tidak rindu kembali ke Jawa, hanya 25,9% yang menyatakan mau pergi ke Jawa untuk mengunjungi sanak saudara. Untuk kembali ke Jawa selamanya, tidak seorang pun yang mau.
Di antara transmigran, ada yang sudah berkali-kali ke Jawa untuk menjemput sanak saudaranya supaya mau bertransmigrasi juga. Bahkan kepala-kepala desa pun menyediakan tanah khusus di desanya untuk keluarga-keluarga transmigran baru yang mereka jemput sendiri.
4.2. Tongar di Sumatera Barat
Tongar merupakan UPT yang terletak di Nagari Airgadang, Kecamatan Pasaman, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat. Meskipun secara kuantitatif jumlahnya tidak besar, namun karena berbagai alasan, daerah pemukiman transmigrasi orang Jawa yang merupakan repatrian Suriname ini perlu mendapat perhatian ahli sosiologi. Asal transmigran dan motif-motif migrasinya mempunyai perbedaan penting dengan asal dan motif-motif migran-migran Indonesia yang lain. Selanjutnya di sini dipraktekkan sistem berkolonisasi yang istimewa yang tegas-tegas menekankan penggarapan tanah secara kolektif, sehingga asimilai daerah pemukiman yang kebudayaannya sangat berbeda ini menimbulkan masalah-masalah khusus.
Gelombang pertama kuli kontrak dari Jawa untuk perkebunan-perkebunan di Suriname tiba di sana pada tahun 1890. sampai tahun 1939 jumlah orang Jawa yang mendarat di Suriname seluruhnya sebesar 32.886 orang. Meskipun setelah kontrak berakhir terbuka kemungkinan untuk repatriasi, namun keinginan kembali ini dapat diganti dengan bonus sebesar f. 100 Suriname. Dengan demikian hampir semua dari mereka yang karena berbagai hal kandas dalam hutang, terpaksa memilih bonus ini daripada pulang ke Jawa. Dalam jngka waktu tersebut jumlah yang kembali seluruhnya hanya 8.130 orang. Yang tidak kembali kebanyakan lalu keluar dari perkebunan dan menjadi petani kecil. Menurut sensus tahun 1950, orang Indonesia di Suriname berjumlah 35.194 orang.
Untuk mengkoordinasi persiapan-persiapan kembali ke tanah air, dibentuklah “Yayasan Ke Tanah Air” yang didirikan pada tanggal 1 Mei 1951. Dalam waktu pendek jumlah anggotanya telah mencapai lebih dari 3.000 orang. Pada bulan September 1953 delegasi yayasan ini mengunjungi Indonesia dengan tujuan untuk memeriksa daerah yang telah dipilih sebagai daerah pemukiman. Kelompok repatrian yang pertama dan satu-satunya sampai saat ini tiba pada tanggal 3 Februari 1954 di Padang dan beberapa waktu kemudian terus menuju Tongar, suatu tempat kecil di tepi jalan antara Talu dan Airbangis, 170 km di sebelah utara Bukittinggi, ibukota Propvinsi Sumatera Tengah pada waktu itu.
Daerah yang pada mulanya dipilih terdiri dari dataran seluas 5.200 ha yang sebagian besar tertutup oleh hutan. Daerah tersebut sulit ditempuh oleh traktor, karena topografinya tidak datar dilintsi oleh banyak anak sungai yang kecil. Palung-palung sungai itu dalamnya tiga sampai enam meter, sehingga harus dibangun jembatan agar traktor-traktor itu dapat lewat. Hasil penelitian tanah yang diadakan pada akhir tahun 1955 juga menunjukkan bahwa tanah di Tongar tidak begitu cocok untuk penanaman padi, seperti yang diduga semula.
Dalam waktu yang singkat keadaan keuangan para transmigran makin memburuk. Meskipun daerah pemukiman itu bukan tanggungan resmi dari Jawatan Transmigrasi, namun Jawatan Transmigrasi di Padang dapat menyediakan beras dan kebutuhan-kebutuhan lainnya, termasuk uang. Kekurangan uang paling mendalam dirasakan oleh teknisi dan tenaga-tenaga administratif yang sudah terbiasa hidup cukup mewah, karena mereka tidak dapat memperoleh penghasilan tambahan dari usaha pekarangannya sendiri seperti para petani. Banyak di antara mereka terpaksa menjual perhiasan kepada para pedagang keliling Minangkabau.
Hubungan antara pendatang dan penduduk asli dalam banyak hal dapat bersifat menentukan berhasil tidaknya suatu daerah pemukiman. Di Minangkabau, tempat pemukiman repatrian dari Suriname berada, berlaku ketentuan-ketentuan adat sehubungan dengan pembukaan dan pengolahan daerah hutan.
Nagari sebagai sataun teritorial dibagi dalam berbagai kampuang. Satu kampuang dikepalai oleh seorang penghulu. Hak untuk menetap di suatu kampuang tertentu hanya dapat diberikan oleh “kerapatan nagari”. Seorang luar yang mendapat hak mengolah tanah hrus membayar sejumlah retribusi, tetapi tidak berlaku bila orang luar tersebut diangkat sebagai “kemenakan” oleh penghulu. Dengan demikian penghulu bertindak sebagai mamak (paman) bagi pendatang baru tersebut yang kemudian memperoleh hak dan kewajiban yang sama seperti kemenakan yang lainnya, dengan syarat pendatang baru tersebut harus bertingkah laku seperlunya menurut adat.
Sistem ini akhirnya merupakan pemecahan untuk menampung kelompok repatrian Suriname ini. Mereka kemudian diterima sebagai keluarga oleh penghulu daerah bersangkutan dalam suatu upacara resmi pada bulan Mei 1954. Menurut hukum adat, dengan demikian mereka dan keturunannya memperoleh hak pakai atas tanah, tetapi tidak mempunyai hak untuk menjual tanah itu atau mewariskan hak pakainya kepada yang bukan kemenakan. Bila tanah itu tidak digarap atau tidak mempunyai keturunan laki-laki, maka tanah harus dikembalikan kepada nagari. Persetujuan ini memberi pemecahan yang dapat diterima kedua belah pihak terhadap persoalan mengenai hak atas tanah.
Beberapa bulan sebelum repatrian itu tiba, masyarakat Minangkabau rupanya sudah menyesal dan tiba-tiba para kepala adat menuntut kembali sebidang tanah seluas 400 ha yang termasuk dalam penyerahan semula dengan alasan akte penyerahan tidak sah, karena penghulu sebenarnya tidak berhak menyerahkan tanah kepada pihak ketiga, bahkan kepada pemerintah sekalipun. Menurut Schrieke (1955) hal ini sebenarnya dipicu oleh perasaan cemas di kalangan penghuni desa kalau-kalau di masa depan mereka akan kekurangan tanah.
Tuntutan ini sangat mengejutkan pemerintah setempat dan Jawatan Transmigrasi, karena beberapa barak penampungan sudah dibangun di atas tanah yang dituntut kembali itu. Suasana menjadi tegang ketika kelompok repatrian datang, dan ditambah pula dengan perbedaan-perbedaan kultural antara orang Jawa Suriname dengan orang Minangkabau yang jauh lebih besar daripada yang diduga orang semula.
Perbedaan yang paling tajam dirasakan adalah perbedaan agama. Sebanyak 129 orang atau 12,5% repatrian beragama Kristen dari jumlah keseluruhan 1.024 orang. Orang Jawa sendiri menganggap perbedaan agama sebagai suatu yang tidak penting. Mereka selalu sangat heran bila orang Minangkabau mengajukan pertanyaan kepada mereka: “Adakah dua partai di dalam kampung kalian?” Hal ini mungkin disebabkan oleh kenyataan bahwa pada mulanya sebagian besar orang-orang Jawa dari Suriname berasal dari lingkungan abangan.
Yang juga merupakan perbedaan kultural ialah bahasa. Orang Jawa Suriname menggunakan bahasa Jawa dalam bahasa pergaulan dan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang tidak cukup mereka kuasai karena sebelumnya mereka tidak memerlukannya. Penduduk asli sebaliknya menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan umum dan bahasa Minangkabau di antara mereka sendiri.
Perbedaan kebudayaan lain yang dirasakan sebagai hal yang sangat bertentangan dengan pola norma di Minangkabau adalah kebiasan melakukan dansa dan tari-tarian modern, seperti rumba dan tango yang dilakukan repatrian tersebut. Bagi orang Minangkabau, tarian tersebut sangatlah terkutuk sehingga pada berbagai kesempatan telah mengakibatkan terjadinya insiden karena pemuda-pemuda yang fanatik mengganggu acara-acara dansa. Hal yang sama terjadi pula untuk norma-norma pergaulan antar jenis kelamin, seperti berjalan bergandengan tangan yang tidak diperkenankan termasuk bagi suami-istri, ko-edukasi dalam olahraga, dan sebagainya. Semua corak dan pola kebudayaan Jawa Suriname ini sama sekali tidak dapat diterima oleh penduduk asli dan menimbulkan keluhan-keluhan yang mengatakan bahwa kelompok-kelonpok dari Suriname tidak bertindak sebagai kemenakan yang baik, sehingga karena itu penghulu menjadi malu.
Hal-hal yang disebutkan di atas menyebabkan posisi orang-orang Jawa yang berdiam di Tongar sangat sulit ketika meletusnya Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) melawan Pemerintah Pusat pada bulan Februari tahun 1958. Akhir Juli 1958, daerah pemukiman Tongar dikepung dan hanya diberi waktu dua jam sebagai persiapan mengungsi, setelah itu semua bangunan di sana dibumihanguskan. Sesudah menempuh perjalanan yang berat, 14 orang dari mereka kemudian meninggal dunia, sisanya sampai di Bukittinggi untuk memulai kehidupan baru.




BAB V
PENUTUP

Indonesia dewasa ini berada dalam proses transformasi dari masyarakat agraris tradisional rural, menuju masyarakat industri modern urban. Para pemikir berada dalam proses itu dan perlu ikut menyiasati berbagai perubahan yang sedang terjadi. Besarnya tekanan untuk melakukan orientasi agribisnis di bidang pertanian merupakan salah satu wujud dari perubahan wawasan dalam mengikuti arus perubahan itu.
Untuk memodernisasi usaha pertanian, sekaligus memeratakan penyebaran penduduk secara lebih seimbang, perlu diciptakan pusat-pusat produksi pertanian baru di luar Pulau Jawa. Upaya untuk mengubah sekitar 11 juta petani miskin menjadi produktif dan dan berkecukupan, merupakan tantangan yang perlu dijawab dengan pembukaan areal-areal pertanian baru dalam skala luas, lalu membagikannya kepada petani-petani gurem, buruh-buruh tani, peladang berpindah, dan perambah hutan. Mereka juga dilengkapi dengan mekanisasi pertanian dan usaha tani yang berorientasi agrobisnis dan agroindustri.
Untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia melalui pengolahan sumber-sumber daya alam, diperlukan upaya untuk mencptakan masyarakat Indonesia yang berjiwa pionir dan suka merantau, terutama pada suku-bangsa Jawa, Sunda, Madura, Bali, dan Sasak, untuk menggali potensi-potensi yang terpendam di luar kampung halamannya.
Untuk mengubah sikap mental sedentary menjadi sikap suka merantau, dan merangsang minat penduduk agar mau berpindah ke luar Pulau Jawa, pertama-tama perlu ditingkatkan kemampuan mereka dalam menangkap dan memanfaatkan peluang yang ditawarkan oleh daerah-daerah di luar Jawa. Saat ini, meskipun banyak orang Jawa dan Sunda yang telah tersebar di berbagai pelosok tanah air, bahkan sampai ke luar negeri, seperti Malaysia dan Arab Saudi, tetapi jika dibandingkan dengan mereka yang tinggal di daerah asalnya, jumlahnya masih sangat kecil. Oleh karena itu perlu diupayakan agar beban kependudukan di Pulau Jawa tidak terlalu berat. Orang-orang Jawa dan Sunda yang merantau perlu menggerakkan saudara-saudara atau teman-temannya untuk mengikuti jejak mereka.
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Sulistinah I., 1995, “Pelaksanaan Program Transmigrasi dan Permasalahannya”, dalam Warta Demografi, No. 2, Th. 25.

Heeren, H.J., 1979, Transmigrasi di Indonesia, PT Gramedia, Jakarta.

Mantra, Ida Bagus, 1987, “Migrasi Penduduk di Indonesia Berdasarkan Hasil Survey Penduduk Antar Sensus 1985”, Laporan Penelitian, Kerjasama Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Penelitian – Universitas Gadjah Mada dengan Biro Pusat Statistik.

Melalatoa, M. Junus & Hilarius S. Taryanto, 1997, “Perjalanan Budaya Transmigran”, dalam, M. Jumus Melalatoa, Sistem Budaya Indonesia, PT. Pamator, Jakarta.

Rusli, Said, 1995, Pengantar Ilmu Kependudukan, LP3ES, Jakarta.

Sahur, Ahmad, et al., 1988, Migrasi, Kolonisasi, Perubahan Sosial, PT Pustaka Grafika Kita, Jakarta.

Sajogyo & Pudjiwati Sajogyo (eds.), 2002, Sosiologi Pedesaan Kumpulan Bacaan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Swasono, Sri-Edi & Masri Singarimbun (eds.), 1985, Sepuluh Windhu Transmigrasi di Indonesia 1905-1985, Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Wiyono, Nur Hadi, 1995, “Pasang Surut Perjalanan Transmigrasi di Indonesia”, dalam Warta Demografi, No. 2, Th. 25.

Yudohusodo, Siswono, 1998, Transmigrasi Kebutuhan Negara Kepualauan Berpenduduk Heterogen dengan Persebaran Penduduk yang Timpang, PT Jurnalindo Aksara Grafika, Jakarta.











LAMPIRAN I
PENEMPATAN TRANSMIGRAN MASA KOLONISASI1905-1942
No. Tahun Penempatan KK Jiwa
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30 1905
1906
1907
1909
1912
1913
1914
1915
1916
1917
1918
1919
1920
1921
1922
1925
1928
1929
1930
1931
1932
1934
1935
1936
1937
1938
1939
1940
1941
1942 155
550
8
265
25
59
47
81
21
87
212
883
998
824
1.414
198
483
62
45
188
1.385
268
3.779
3.300
4.228
7.746
7.816
18.249
4.557
2.222 815
2.795
28
1.059
142
317
249
419
107
343
1.073
3.507
5.010
3.798
5.450
791
1.693
214
189
750
7.000
1.375
13.359
12.500
19.105
33.309
35.391
54.742
21.630
8.642
T O T A L 60.155 235.802

SUMBER: Siswono Yudohusodo, 1998, Transmigrasi Kebutuhan Negara Kepulauan Berpenduduk Heterogen dengan Persebaran yang Timpang, PT Jurnalindo Aksara Grafika,Jakarta, hlm. 73.






LAMPIRAN II
TARGET DAN REALISASI TRANSMIGRAN KEPALA KELUARGA
TAHUN 1969 – 1987
Tahun Taget Realisasi Persentase dari Target
PELITA I
1969/1970
1970/1971
1971/1972
1972/1973
1973/1974 46.566
4.489
3.865
4.600
11.200
22.412 46.268
3.933
4.338
4.171
11.414
22.412 99,4
87,6
112,2
90,7
101,9
100
PELITA II 1974/1975
1975/1976
1976/1977
1977/1978
1978/1979 82.959
11.000
8.100
13.910
22.949
27.000 82.959
11.000
8.100
13.910
22.949
27.000 100
100
100
100
100
100
PELITA III
1979/1980
1980/1981
1981/1982
1982/1983
1983/1984 500.000
50.000
75.000
100.000
125.000
150.000 535.474
79.861
78.359
100.552
127.970
148.732 107,1
159,7
104,5
100,6
110,4
99,2
PELITA IV 1984/1985
1985/1986
1986/1987 750.000
125.000
135.000
150.000 402.756*
101.888
166.347
134.521* 53,7
81,5
123,2
89,7
Jumlah 1.039.525 1.067.457 102,7

*) Sampai tanggal 31 Januari 1987
SUMBER: Ida Bagus Mantra (1987: 7); Martono (1987, Annex 15, Tabel 13).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar