Rabu, 16 September 2009

DESA DI INDONESIA

DESA DI INDONESIA
Oleh: Witrianto, SS.,M.Hum.,M.Si.

I. Pendahuluan
Desa, jika dipahami sebagai organisasi kekuasaan yang pertama sebelum berkembangnya organisasi kekuasaan yang lebih besar, seperti kerajaan, kekaisaran, dan negara, merupakan hasil perkembangan dari individu menuju kelompok. Dimulai dari unit yang terkecil, keluarga batih (suami, isteri, dan anak-anak). Ketika keluarga menjadi besar (bertambah banyak), maka sebagian ada yang memisahkan diri dan memebuat tempat tinggal sendiri. Tempat pemukiman pada akhirnya menjadi bertambah luas, baik wilayah maupun komunitasnya. Orang yang dipilih sebagai pemimpin mereka biasanya adalah yang tertua atau yang mempunyai kemampuan paling tinggi di antara mereka, sehingga dari sanalah kemudian lahir kesatuan masyarakat hukum yang mandiri.
Komunitas desa semula terbentuk dari sekelompok orang yang masih mempunyai ikatan darah (keluarga), yang dengan bebas bermukim secara menetap pada suatu lokasi tertentu setelah membuka tanah (bertani). Dari sanalah kemudian keluarga tersebut berkembang dan mengembangkan kekuasaan politik untuk pengaturan lebih lanjut, baik dalam mengatur komunitas maupun mengatur sumberdaya yang terbatas.
Dalam kasus Indonesia, banyak desa yang terbentuk sebagai bagian dari proses politik kerajaan. Sebaliknya, politik kolonial membentuk desa dalam ikatan administratif-teritorial untuk penarikan pajak dan tenaga kerja. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses tumbuh dan berkembangnya desa mempunyai bentuk dan karakter tersendiri, sesuai dengan sejarah masing-masing daerah.

II. Pengertian Desa
Penyebutan desa terasa lebih akrab di telinga orang Jawa. Menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo (1984) perkataan desa, dusun, desi, seperti juga perkataan negara, negeri, negari, negaro, negory (negarom), asalnya dari bahasa Sansekerta, yang artinya tanah air, tanah asal, tanah kelahiran. Desa memiliki arti ‘daerah pedalaman’, ‘daerah’, atau ‘daerah yang diperintah’.
Perkataan desa hanya dipakai di Jawa, Madura, dan Bali; dusun dan marga (Sumatera Selatan), dusundati (Maluku), kuta, uta, atau huta (Batak), nagari (Minangkabau), Gampong dan Meunasah (Aceh) untuk daerah hukum yang paling rendah. Penyebutan ini secara jelas menunjukkan karakter tersendiri, yang bersesuaian dengan adat, bahasa, dan kewilayahan. Pengertian desa sangat beragam, sesuai dengan maksud dan sudut pandang yang hendak digunakan. Sebutan desa dapat berupa konsep tanpa makna politik, namun juga dapat berarti suatu posisi politik dan sekaligus kualitas posisi di hadapan pihak atau kekuatan lain (supra desa). Burger (1962), mengatakan bahwa desa mempunyai ikatan horizontal dan vertikal.
Menurut Mubyarto (1989), pengertian desa, terutama apabila ditinjau dari segi geografi adalah “suatu hasil perpaduan antara kegiatan sekelompok manusia dengan lingkungannya. Hasil dari perpaduan itu adalah suatu wujud atau kenampakan di muka bumi yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, sosial, politik, ekonomi, dan kultural yang saling berinteraksi antarunsur tersebut dan juga dalam hubungannya dengan daerah-daerah lain”.
Menurut UU 1948/22 pasal 1, desa adalah “daerah yang terdiri dari satu atau lebih (di Sumatera: nagari, marga, dan sebagainya) yang digabungkan hingga mempunyai syarat-syarat cukup untuk berdiri menjadi daerah otonom yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri”. Sementara itu Sutarjo Kartohadikusumo (1953), menyatakan bahwa desa adalah “suatu kesatuan hukum di mana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri”.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993: 2000), desa adalah (1) sekelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan, kampung, dusun; (2) udik atau dusun (dalam arti daerah pedalaman) sebagai lawan kota; (3) tempat, tanah, daerah. Pengertian ini berangkat dari kontras pemahaman mengenai kota.
Selain pengertiannya, hal yang perlu diperhatikan ialah unsur-unsur desa. Menurut Bintarto (1989), unsur-unsur desa adalah (a) Daerah, dalam arti tanah-tanah yang produktif dan tidak, beserta penggunaannya, termasuk juga unsur lokasi, luas, dan batas yang merupakan lingkungan geografi setempat; (b) Penduduk, yang meliputi jumlah, pertambahan, kepadatan, persebaran, dan mata pencaharian penduduk desa tersebut; (c) Tata Kehidupan, yaitu pola tata pergaulan dan ikatan-ikatan pergaulan warga desa.
Ketiga unsur desa ini tidak lepas satu sama lain, tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan satu kesatuan. Unsur daerah, penduduk, dan tata kehidupan merupakan satu kesatuan hidup atau living unit. Daerah menyediakan kemungkinan hidup, penduduk menggunakan kemungkinan yang digunakan oleh daerah itu guna mempertahankan hidup, sedang tata kehidupan memberikan jaminan akan ketentraman, dan keserasian hidup bersama di desa.
Unsur lain yang termasuk unsur desa yaitu, unsur letak. Letak suatu desa pada umumnya selalu jauh dari kota atau dari pusat-pusat keramaian. Desa-desa yang letaknya pada perbatasan kota mempunyai kemungkinan berkembang yang lebih banyak daripada desa-desa di pedalaman. Desa yang terletak jauh dari perbatasan kota merupakan lahan pertanian yang luas, karena penggunaannya lebih banyak dititikberatkan pada tanaman pokok dan beberapa tanaman perdagangan daripada untuk gedung-gedung atau perumahan.
Corak kehidupan di desa didasarkan pada ikatan kekeluargaan yang erat. Masyarakat merupakan suatu “gemeinschaft” yang memiliki unsur gotong royong yang kuat. Hal ini disebabkan karena penduduk desa merupakan “face to face group” sehingga mereka saling mengenal betul seolah-olah dirinya sendiri. Faktor lingkungan geografis juga memberi pengaruh terhadap kegotong-royongan ini, seperti faktor topografi, faktor iklim, dan faktor bencana alam

III. Fungsi dan Potensi Desa
Fungsi desa di antaranya adalah; Pertama, sebagai hinterland atau daerah dukung yang berfungsi sebagai pemberi makan bahan pokok yang berasal dari hasil pertanian dan peternakan; Kedua, dari sudut potensi ekonomi berfungsi sebagai lumbung bahan mentah dan tenaga kerja yang tidak kecil artinya; Ketiga, dari segi kegiatan kerja, desa merupakan desa agraris, desa manufaktur, desa industri, desa nelayan, dan sebagainya.
Desa-desa di Jawa banyak berfungsi sebagai desa agraris. Beberapa desa di Jawa sudah pula menunjukkan perkembangan-perkembangan yang baru, yaitu dengan munculnya industri-industri kecil di daerah pedesaan dan merupakan rural industries. Salah satu peranan pokok desa terletak di bidang ekonomi. Daerah pedesaan merupakan tempat produksi pangan dan produksi komoditi ekspor.
Desa perkebunan adalah produsen komoditi ekspor yang berperan meningkatkan volume dan kualitas komoditi seperti kelapa sawit, lada, kopi, teh, karet, dan sebagainya. Desa pantai juga tidak kalah penting peranannya sebagai produsen bahan pangan protein tinggi. Hasil usaha berupa ikan dan udang tidak hanya melayani kebutuhan konsumsi dalam negeri, tetapi juga untuk ekspor.
Potensi desa yang ada berupa potensi fisis dan potensi nonfisis. Potensi fisis meliputi antara lain; (1) Tanah, dalam arti sumber tambang dan mineral, sumber tanaman yang merupakan sumber mata pencaharian dan penghidupan. (2) Air, dalam arti sumber air, keadaan atau kualitas air dan tata air lainnya untuk kepentingan irigasi, pertanian, dan keperluan sehari-hari. (3) Iklim, yang merupakan peranan penting bagi desa agraris.(4) Ternak, dalam artian fungsi ternak di desa sebagai sumber tenaga, sumber bahan makanan, dan sumber keuangan. (5) Manusia, dalam arti tenaga kerja sebagai pengolah tanah dan sebagai produsen.
Potensi nonfisis yang dimiliki oleh desa meliputi antara lain: (1) Masyarakat desa yang hidup berdasarkan gotong-royong dan dapat merupakan suatu kekuatan berproduksi dan kekuatan membangun atas dasar kerja sama dan saling pngertian. (2) Lembaga-lembaga sosial, pendidikan dan organisasi-organisasi sosial desa yang dapat memberikan bantuan sosial serta bimbingan dalam arti positif. (3) Aparatur atau pamong desa yang kreatif dan berdisiplin sumber kelancaran dan tertibnya pemerintahan desa. (Bintarto, 1977).
Potensi desa tidak sama, karena lingkungan geografis dan keadaan penduduknya berbeda, luas tanah, macam tanah, dan tingkat kesuburan tanah yang tidak sama. Sumber air dan tata air yang berlainan menyebabkan cara penyesuaian atau corak kehidupannya berbeda. Keadaan penduduk dan dasar hidup masyarakat desa yang berbeda mengakibatkan adanya pelbagai karakteristik dan pelbagai tingkat kemajuan desa, yaitu: (1) Desa yang kurang berkembang atau terbelakang; (2) Desa yang sedang berkembang; dan (3) Desa berkembang atau desa maju (Ibid.).
Maju mundurnya desa dapat tergantung pada beberapa faktor, antara lain adalah (a) Potensi desa yang mencakup sumberdaya alam dan potensi penduduk warga desa beserta pamongnya; (b) Interaksi antara desa dengan kota, antara desa dengan desa tercakup di dalamnya perkembangan komunikasi dan transportasi; (c) Lokasi desa terhadap daerah-daerah di sekitarnya yang lebih maju.

IV. Masyarakat Desa di Indonesia
Karakteristik budaya masyarakat pedesaan di Indonesia sangat beragam, bahkan dalam satu provinsi sekalipun. Perbedaan tersebut terutama dipengaruhi oleh letak desa dan yang pada akhirnya juga matapencaharian penduduknya. Tipologi desa berdasarkan matapencaharian penduduknya adalah desa persawahan, desa perkebunan, desa peternakan, desa nelayan, desa jasa dan perdagangan, desa industri, serta desa perladangan (Mubyarto, 1994).
Kuntjaraningrat (1984), membagi komunitas desa menjadi dua golongan berdasarkan usaha taninya, yaitu (1) desa-desa yang berdasarkan cocok-tanam di ladang, dan (2) desa-desa yang berdasarkan cocok-tanam di sawah. Desa-desa golongan pertama terletak di sebagaian besar Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Irian, dan Timor, dengan perkecualian beberapa daerah di Sumatera Utara dan Barat, daerah pantai Kalimantan, daerah Sulawesi Selatan serta Minahasa, dan beberapa daerah terbatas yang terpencar di Nusa Tenggara dan Maluku. Desa-desa golongan kedua terutama terletak di Jawa, Madura, Bali, Lombok, dan merupakan tempat bermukim hampir 65% penduduk Indonesia, sedangkan areal tempat desa-desa itu hanya meliputi 7% dari seluruh wilayah Indonesia.

A. Bercocok Tanam di Ladang
Teknologi bercocok tanam di ladang menyebabkan suatu komunitas desa berpindah-pindah yang sangat berbeda dengan komunitas desa menetap yang didasarkan pada teknologi bercocok tanam di sawah. Teknologi bercocok tanam di ladang memerlukan tanah yang luas, di suatu daerah yang masih merupakan hutan rimba yang sedapat mungkin masih perawan. Para petani mulai membuka suatu ladang dengan membersihkan belukar bawah di suatu bagian tertentu dari hutan, kemudian menebang pohon-pohon besar. Batang-batang, cabang-cabang, dahan-dahan, serta daun-daun dibakar, dan dengan demikian terbukalah suatu ladang yang kemudian ditanami dengan berbagai tanaman tanpa pengolahan tanah yang berarti, yaitu tanpa dicangkul, diberi air atau pupuk secara khusus. Abu yang berasal dari pembakaran pohon dianggap cukup untuk memberi kesuburan pada tanaman. Air pun hanya yang berasal dari hujan saja, tanpa suatu sistem irigasi yang mengaturnya. Metode penanaman biji juga sangatlah sederhana, yaitu hanya dengan menggunakan tongkat tugal. Dengan tongkat itulah para petani laki-laki menusuk lubang ke dalam tanah tempat biji-biji tanaman dimasukkan oleh para perempuan yang berjalan di belakang mereka. Pekerjaan selanjutnya adalah membersihkan ladang dari tanaman liar dan menjaganya terhadap serangan babi hutan, tikus, dan hama lainnya.
Petani ladang meninggalkan ladangnya setiap dua-tiga kali panen, dan dalam waktu sepuluh tahun mereka sudah berpindah tempat sebanyak lima-enam kali. Selama waktu itu ladang yang pertama sudah kembali menjadi hutan, yang kemudian ditempati lagi. Serangkaian ladang baru yang dibuka oleh para petani ladang itu, seringkali makin jauh letaknya dari komunitas desa pemukimannya. Oleh karena itu, para petani biasanya mendirikan gubuk-gubuk sementara dekat ladang yang mereka kerjakan, agar pada musim-musim yang sibuk mereka dapat tinggal dekat pada lingkaran usaha tani mereka. Hanya dalam musim-musim ketika kesibukan bercocok-tanam berkurang mereka pulang ke desa induk mereka untuk melakukan pesta-pesta dan upacara bersama warga komunitas yang lain.
Cara bercocok-tanam di ladang hanya dapat dilakukan pada daerah-daerah yang kepadatan penduduknya masih rendah, seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Daerah-daerah yang memiliki kepadatan pnduduk yang tinggi, seperti Jawa, Madura, dan Bali, sistem bercocok-tanam ladang tidak mungkin dilakukan. Cara bercocok-tanam di daerah-daerah ini sebagian besar dilakukan dengan irigasi di tanah basah, atau “sawah”.

B. Bercocok Tanam di Sawah
Seorang petani di Jawa, Madura, atau Bali, dalam kenyataan menggarap tiga macam tanah pertanian, yaitu (1) kebun kecil di sekitar rumahnya; (2) tanah pertanian kering yang digarap dengan menetap, tetapi tanpa irigasi, dan (3) tanah pertanian basah yang menggunakan irigasi.
Di tanah kebun kecil sekitar rumah atau yang biasa disebut pekarangan, petani menanam kelapa, buah-buahan, sayur-mayur, bumbu-bumbu, umbi-umbian dan akar-akaran seperti berbagai jenis ubi dan singkong yang diperlukan dalam kehidupan rumahtangganya sehari-hari. Di pekarangan sering pula ada kolam ikan yang selain tempat pemeliharaan berbagai jenis ikan, tidak jarang pula dipakai sebagai tempat buang air. Hasil pekarangan sebagian besar dipergunakan untuk konsumsi sendiri, walaupun tidak sedikit pula yang dijual di pasar desa atau pada pedagang yang menawarnya.
Di tanah pertanian kering, yang di Jawa biasanya disebut tegalan, petani menanam serangkaian tanaman yang kebanyakan dijual di pasar atau kepada pedagang. Tanaman itu antara lain jagung, kacang kedelai, berbagai jenis kacang tanah, tembakau, singkong, umbi-umbian, termasuk juga padi yang dapat tumbuh secara irigasi. Walaupun tidak diirigasi, tanah tegalan biasanya digarap secara intensif, dan tanaman-tanamannya dipupuk dan disiram secara teratur.
Bercocok tanam di tanah basah atau yang biasa disebut “sawah” merupakan usaha tani yang paling pokok dan paling penting bagi para petani di Jawa dan Bali sejak beberapa abad lamanya. Dengan teknik penggarapan tanah yang intensif dan dengan cara-cara pemupukan dan irigasi yang tradisional, para petani tersebut menanam tanaman tunggal, yaitu padi. Berbeda dengan cocok-tanam di ladang, maka cocok-tanam di sawah dapat dilakukan di suatu bidang tanah yang terbatas secara terus-menerus, tanpa menghabiskan zat-zat kesuburan yang terkandung di dalamnya.
Bercocok-tanam di sawah sangat tergantung kepada pengaturan air, yang dilakukan dengan suatu sistem irigasi yang kompleks. Agar sawah dapat digenagi air, maka permukaannya harus mendatar sempurna, dan dikelilingi oleh pematang yang tingginya 20 sampai 25 sentimeter. Itulah sebabnya membuat sawah di lereng gunung memerlukan pembentukan susunan bertangga yang memerlukan investasi tenaga kerja yang tinggi. Akan tetapi, di daerah dataran rendah pun bercocok-tanam di sawah memerlukan banyak tenaga kerja di semua tahap produksinya.
Lamanya padi berbuah dan masak, tergantung pada jenis padi dan berbagai faktor lain, seperti musim, suhu, dan hama. Sebelum panen, sering diadakan upacara slametan yang dipimpin oleh seorang dukun. Selanjutnya, tiga atau empat bulan setelah panen, sementara menunggu penanaman padi yang berikutnya, para petani menanam berbagai tanaman lain, seperti ubi-ubian, singkong, berbagai jenis kacang, kedelai, jagung, dan juga padi gogo (padi lahan kering), sayur-mayur, tembakau, tebu, dan bumbu-bumbu yang jumlahnya lebih dari 20 macam. Tanaman sekunder ini oleh orang Jawa disebut palawija.

V. Desa dan Komunitas Petani
Masa lampau pedesaan Indonesia, terutama Jawa sering digambarkan sebagai komunitas agraris yang tertutup, berbudaya homogen, dan didominasi oleh ikatan tradisional dengan struktur supra-desa yang bersifat feodal dan kolonial (Kuntowijoyo: 1994, 3). Hubungan feodal yang membagi masyarakat ke dalam dua kelas, yaitu kelas produktif dan kelas konsumtif, menjadikan petani sebagai pemasok barang dan layanan kepada kelas atasan. Ketika hubungan feodal ini diputus oleh pemerintah kolonial, sebagai gantinya disusunlah hubungan kolonial yang pada hakekatnya tidak banyak mengubah nasib petani. Sisa-sisa feodal pun masih pula melekat pada sistem status dalam masyarakat. Demikianlah masyarakat terbagi lagi ke dalam dua golongan, yaitu priyayi sebagai kelas atasan dan wong cilik sebagai kelas bawahan. Desa ialah tempat tinggal wong cilik dan kota tempat tinggal priyayi.
Administrasi lokal di pedesaan diwakili oleh perangkat desa yang anggota-anggotanya, terutama lurah, sering dianggap sebagai priyayi juga. Di depan para petani mereka adalah priyayi sekalipun di depan pejabat di atas mereka hanyalah pejabat desa biasa. Pejabat desa digaji dengan tanah, dan tanah itu kadang-kadang begitu luasnya jika dibandingkan dengan rata-rata tanah petani desa, sehingga mereka dapat nampak sebagai tuan tanah di pedesaan.
Sepanjang masa, sebagian besar komunitas desa di Indonesia, dari Aceh hingga Papua, telah didominasi oleh suatu kekuasaan pusat tertentu. Banyak di antaranya telah mengalami dominasi itu sejak zaman kejayaan kerajaan-kerajaan tradisional; banyak yang mengalaminya sejak zaman penjajahan Belanda atau Inggris, dan banyak pula lainnya yang baru mengalaminya sejak beberapa waktu terakhir ini. Semakin berkembangnya kesempatan dan prasarana untuk suatu gaya hidup dengan mobilitas geografikal yang tinggi, telah menyebabkan perubahan yang besar. Pada waktu sekarang ini hampir tidak ada lagi komunitas desa bersahaja yang terisolasi di Indonesia. Sehubungan dengan hal itu, terhadap banyak komunitas desa di Indonesia kita dapat menerapka konsep Redfield (1956) mengenai masyarakat petani yang warganya berupa “ ....... orang pedesaan, bagian dari peradaban-peradaban kuno, ...... yang menggarap tanah mereka sebagai mata pencaharian hidup dan sebagai suatu cara hidup tradisional. Mereka itu berorientasi terhadap serta terpengaruh oleh suatu golongan priyayi di kota yang mempunyai cara hidup yang sama seperti mereka walaupun dalam bentuk yang lebih beradab.
Seorang petani pedesaan tertentu mungkin mempunyai kesadaran akan adanya suatu dunia yang luas di luar batas komunitasnya sendiri; ia malahan mungkin mempunyai perhatian serta pengertian besar mengenai beberapa masalah yang ada di dunia luar tersebut, padahal ruang lingkup hubungannya dengan individu-individu atau kelompok-kelompok di kota terbatas sekali. Sebaliknya, seorang petani tetangganya, walaupun juga memiliki kesadaran tadi, mungkin saja tidak mempunyai perhatian banyak serta pengertian mengenai dunia di luar desanya, meskipun ia mungkin mengenal banyak orang di kota, bahkan di beberapa kota lain yang jauh letaknya.
Walaupun penduduk desa biasanya terlibat dalam sektor pertanian, dalam komunitas desa di seluruh Indonesia juga banyak terdapat sumber mata-pencaharian hidup yang lain. Penduduk desa pada umumnya juga terlibat dalam bermacam-macam pekerjaan di luar sektor pertanian, dan mengerjakan kedua sektor tersebut pada waktu yang bersamaan, sebagai pekerjaan primer dan sekunder.
Dalam hampir semua komunitas desa, semua anggota pamong desa, dan para guru desa, juga memiliki tanah sawah dan tegalan. Sebagian dari tanah itu mereka sewakan, mereka bagi hasilkan, atau mereka gadaikan kepada petani lain yang tidak atau hanya memiliki tanah yang terbatas luasnya, tetapi sebagian lagi biasanya mereka kerjakan sendiri. Dengan demikian mereka lebih sering berada di sawah atau tegalan mereka daripada di belakang meja tulis atau di ruang kelas. Meskipun demikian mereka lebih senang mengidentifikasikan dirinya sebagai pegawai negeri atau sebagai guru, karena pada kebudayaan Indonesia pada umumnya, dan kebudayaan petani Jawa pada khususnya, menjadi pegawai dianggap lebih bergengsi daripada menjadi petani.
Banyak pula di antara petani yang mempunyai mata-pencaharian sebagai penjaja buah-buahan atau sayur-mayur, atau menjadi pedagang barang kerajinan tangan atau kebutuhan rumahtangga di pasar. Kecuali kaum kerabatnya, tetangga-tetangganya, dan teman-temannya, para petani dari golongan ini juga mempunyai hubungan dalam lapangan sosial para pembelinya dan langganannya, yang biasanya berasal dari desa lain, atau dengan para tengkulak yang memang mungkin berasal dari desanya sendiri, tetapi lebih lazim dari desa dan bahkan kota lain.
Banyak petani yang dalam bulan-bulan saat kesibukan pertanian sedang menurun, seringkali pergi merantau secara musiman untuk bekerja menjadi buruh pekerjaan umum dalam proyek-proyek pemugaran atau pembangunan jalan raya, jembatan, bendungan, serta saluran irigasi, atau untuk menjadi buruh bangunan dalam proyek-proyek perumahan di kota-kota, atau menjadi tukang becak di kota-kota. Mereka ini biasanya mempunyai hubungan yang lebih ekstensif lagi, dan yang melingkupi lapangan-lapangan yang lebih luas.
Loyalitas para petani terhadap orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu ditentukan oleh perhatian mereka terhadap orang-orang atau kelompok-kelompok itu. Perhatian itu sebaliknya ditentukan oleh sifat dari “lapangan sosial” yang menjadi lapangan hidup serta lapangan orientasi mereka. Semua penduduk pedesaan di Indonesia secara primordial juga memiliki loyalitas etnik terhadap suku-bangsanya masing-masing, karena sejak kecil mereka di sosialisasikan dan dibudayakan dalam suku-bangsa itu. Komunitas pedesaan di Indonesia biasanya dihuni oleh penduduk dari satu suku-bangsa tertentu; apabila ada warga suku-bangsa lain, maka mereka itu akan merupakan minoritas dalam masyarakat desa itu. Dengan demikian, dalam masyarakat desa hubungan antara suku-bangsa jarang menimbulkan masalah.

VI. Penutup
Dari berbagai uraian di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan mengenai beberapa ciri umum desa, yaitu:
1. Desa umumnya terletak di atau sangat dekat dengan pusat wilayah usaha tani.
2. Di desa, pertanian merupakan kegiatan ekonomi dominan.
3. Faktor penguasaan tanah menentukan corak kehidupan masyarakatnya.
4. Tidak seperti di kota yang sebagian besar penduduknya merupakan pendatang, populasi penduduk desa lebih bersifat “terganti dari dirinya sendiri”.
5. Kontrol sosial lebih bersifat informal, dan interaksi antara warga desa lebih bersifat personal dalam bentuk tatap muka.
6. Mempunyai tingkat homogenitas yang relatif tinggi dan ikatan sosial yang relatif lebih ketat daripada kota.
Berdasarkan pada beberapa karakteristik desa yang ada di Indonesia, usaha yang penting dilakukan oleh para perencana pembangunan masyarakat desa adalah untuk selalu mengembangkan kepentingan-kepentingan lokal, yang dapat mengembangkan lapangan-lapangan sosial dengan ruang lingkup lokal. Dengan demikian, maka kecenderungan orang desa untuk ke kota dapat terjaga. Juga usaha pengembangan loyalitas nasional pada penduduk desa di Indonesia sebaliknya merupakan usaha pengembangan lebih lanjut dari perhatian mereka terhadap masalah-masalah lokal. Dalam hal ini loyalitas nasional merupakan ekstensi dari loyalitas lokal.

DAFTAR PUSTAKA

Bintarto, R., (1989), Interaksi Desa Kota dan Permasalahannya, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Mubyarto, et al., (1994), Keswadayaan Masyarakat Desa Tertinggal, Aditya Media, Yogyakarta.
Koentjaraningrat (ed.), (1982), Masalah-masalah Pembangunan Bunga Rampai Antropologi Terapan, LP3ES, Yogyakarta.
______________ (ed.), (1984), Masyarakat Desa di Indonesia, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
______________ (ed.), (2002), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, Jakarta.
Kuntowijoyo, (1994), Radikalisasi Petani, Bentang, Yogyakarta.
Pranoto, Suhartono W., (2001), Politik Lokal Parlemen Desa: Awal Kemerdekaan sampai Jaman Otonomi Daerah, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar