Selasa, 15 September 2009

PERUBAHAN KEBUDAYAAN: MENGUATNYA PERAN AYAH DI MINANGKABAU

PERUBAHAN KEBUDAYAAN: MENGUATNYA

PERAN AYAH DI MINANGKABAU

Oleh
Witrianto[1]

ABSTRACT

Minangkabau society which embracing matrilineal system, traditionally place “mamak” or mother’s brother as the most influence person in the life of person, from child to adult. According to custom, Mamak is person who has strongest right to make a decision and it must be obeyed by all the member of the family. The Mamak’s role can be seen truly when a person will get married. In the moment, Mamak hold all the event, from asking for the hand to the woman, wedding party, to all traditional ceremony which must be held after the wedding party. Only in the “akad nikah”, father’s role can be seen, as an Islamic rule, father is the person who takes responsible in the bride. Tendency has become in this present begin exhibit presence there are some value transformations in the Minangkabau Society. The mamak’s role get weaker and the father’s role get stronger in the life of person. It caused by several factors, for instant the education rise, livelihood transformation from agricultural field to other sectors, a lot number of the member of Minangkabau Society come back to their own village, a lot of new comers in Minangkabau, and the renewal movement in the religion field which be held by Muhammadiyah and other religious movement.

( Key word: Mamak, nephew and niece, matrilineal system)

I. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Kebudayaan sebagai sistem pengetahuan, cara memandang dan merasakan, berfungsi sebagai pengarah dan pedoman bagi tingkah laku manusia sebagai warga dari komunitas dan kesatuan sosialnya. Dengan kebudayaan itulah manusia melakukan dan menjalani kehidupan ini dengan menginterpretasikan pengalaman hidup yang dialaminya.

Manusia memperoleh dan memiliki kebudayaan melalui proses belajar; belajar melalui proses pewarisan dan belajar dari kontak alam sekitarnya. Oleh karena proses transformasi selalu melalui dua jalur yang berbeda, maka ketika terjadi kontak dengan proses pembudayaan melalui sistem pewarisan dengan kontak budaya dengan lingkungan sekitar, terjadilah dialog yang bersifat dialektis dalam diri manusia yang menimbulkan bentuk baru dari kebudayaan tersebut. Dialog dialektis yang terjadi tidak akan pernah berhenti dan akan terus berlangsung selama manusia masih ada, bergerak dari satu generasi ke generasi berikutnya. Jika pada mulanya bentuk budaya baru itu mungkin hanya milik dari sekelompok individu saja, tetapi dalam proses sosial selanjutnya, kemungkinan bentuk budaya itu kemudian menjadi milik seluruh anggota kelompok masyarakat itu (Sairin, 2002).

Orang Minangkabau, sebagai masyarakat yang terbuka menyadari benar bahwa masyarakat dan kebudayaan itu selalu berubah. Pepatah Minangkabau yang berbunyi “sakali aia gadang sakali tapian baraliah”[2] merupakan refleksi dari kesadaran akan perubahan itu. Hal inilah yang menyebabkan orang Minangkabau memandang perubahan sebagai suatu peristiwa biasa dan wajar-wajar saja (Sairin, 2002).

Salah satu yang terlihat berubah pada masyarakat Minangkabau adalah perubahan dalam kekerabatan. Menurut Sjafri Sairin (2002), sesuai dengan konsep model for yang digunakan oleh Geertz, dalam masyarakat matrilineal Minangkabau, hubungan antara mamak (saudara laki-laki ibu) dan kemenakan (anak dari saudara perempuan) adalah hubungan yang saling mengikat. Mamak berkewajiban untuk mendidik kemenakannya sampai ia jadi “orang”, dan untuk itu kemenakan dikehendaki untuk mematuhi segala nasihat dan arahan yang dilakukan oleh mamaknya.

Dalam sebuah rumah gadang, mamak mempunyai tanggung jawab sebagai pemelihara dan pemberi kesejahteraan kepada warga rumah gadang itu. Segala yang berhubungan dengan kehidupan rumah gadang umumnya berada di bawah kontrol mamak. Kedudukan suami dalam adat Minangkabau hanyalah sebagai sumando. Dalam keluarga istrinya ia hanyalah seorang pendatang dan tidak memiliki hak dalam arti luas untuk menentukan corak kehidupan rumah keluarga istrinya.

Ajaran adat seperti itu ternyata kemudian secara evolutif telah mengalami perubahan. Hubungan mamak dengan kemenakan semakin melonggar, sedangkan hubungan ayah dengan anak semakin kuat. Perubahan itu diikuti pula dengan semakin berkurangnya peranan keluarga luas dalam rumahtangga Minangkabau. Sementara itu, kecenderungan untuk hidup dalam bentuk keluarga batih semakin meningkat.

Beberapa faktor menjadi penyebab perubahan itu, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Dengan dunia pendidikan misalnya, menyebabkan semakin erat pula hubungan ayah dengan anaknya. Hal ini antara lain disebabkan anak dipaksa oleh peraturan untuk mencantumkan nama ayahnya dalam berbagai kesempatan, seperti dalam rapor dan akte kelahiran, bukan nama mamaknya. Oleh karena itu, mamak menjadi tidak berfungsi sama sekali dalam administrasi modern seperti itu. Akibatnya ketergantungan anak kepada ayahnya semakin kokoh, dan hal ini merupakan salah satu faktor penting bagi terbentuknya kehidupan dalam keluarga batih. Akibat dari perubahan ini, fungsi dan peranan mamak sudah jauh berubah. Meskipun dalam beberapa hal mamak tetap mempunyai kedudukan khusus, paling tidak dalam berbagai kegiatan yang bersifat seremonial, tetapi dalam tanggung jawab mamak kepada kemenakannya sudah bergeser jauh.

1.2. Perumusan Masalah

Untuk memahami berbagai perubahan yang terjadi pada masyarakat Minangkabau, maka pertanyaan pokok yang berusaha dijawab adalah:

1. Bagaimana proses perubahan yang sedang berlangsung dalam masyarakat Minangkabau.

2. Pada tataran mana saja perubahan tersebut berlangsung.

3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya perubahan tersebut.

4. Bagaimana dampak yang muncul akibat perubahan peran mamak dan peran ayah di Minangkabau.

II. Kerangka Teoritis

2.1. Teori Perubahan Kebudayaan

Menurut perspektif historisisme, masyarakat sebagai suatu kesatuan holistik bersifat menentukan dengan sifat dan ketergantungannya sendiri yang tak dapat direduksi. Individu dipandang pasif, tergantung (dependent), dan merupakan komponen yang dibentuk. Untuk mengangkat aspek ideal ke tingkat peran sebagai faktor penentu, proses sejarah tak lagi dapat dibayangkan sebagai tindakan manusia yang bebas dan otonom yang berlangsung sendiri. Sebaliknya aktor yang bertindak harus dikembalikan menjadi inti teori sosiologi. Menurut Piotr Sztompka (1994), Weberlah yang pertama mengembalikan posisi individu menjadi inti teori sosiologi. Pendekatan Weber ini kemudian dilukiskan sebagai individualisme-metodologis.

Semua kesatuan sosial yang kompleks (ekonomi, sistem politik, organisasi sosial) tak lain adalah hasil akumulasi tindakan sosial yang lahir dalam perjalanan sejarah manusia. Faktor penjelas utama terletak di dalam ide, keyakinan kategoris, dan aturan normatif yang dianut orang.

Menurut perspektif evolusionisme atau developmentalisme, ide berstatus sebagai faktor sampingan (marginal) atau yang ditentukan. Weber menggunakan perspektif yang menempatkan ide dalam posisi sentral yakni sebagai faktor yang menentukan. Weber sendiri menyebut teorinya sebagai kritik positif terhadap materialisme- historis Marx. Menurutnya (dengan menggunakan istilah Marx) yang menjadi kekuatan aktif dan efektif dalam pembuatan sejarah bukanlah “basis struktur”, tetapi “super struktur”. Sistem “keyakinan lunak” (super-struktur) lebih menentukan sejarah ketimbang faktor “ekonomi” atau teknologi (basis struktur). Sebagian komentator kontemporer menyatakan bahwa tema utama seluruh karya Weber adalah pengakuan atas fungsi ideologi sebagai variabel indenpenden dalam perkembangan sosial.

Pokok-pokok pikiran Weber itu di antaranya adalah semangat kapitalisme dan etos Protestan. Kapitalisme menurut Weber dalam Sztompka (1994), identik dengan mengejar keuntungan dengan cara berusaha terus-menerus, rasional dengan perusahaan kapitalis dan organisasi kapitalis rasional tenaga kerja bebas. Ciri-ciri kapitalisme itu sendiri menurut Collins (1980) dalam Sztompka (1994) adalah organisasi kewirausahaan kapital, teknologi rasional, tenaga kerja bebas, pasar bebas, dan hukum yang dapat diperkirakan.

2.2. Peran Mamak Secara Tradisional di Minangkabau

“Mamak” dalam arti sempit bagi masyarakat Minangkabau adalah panggilan untuk saudara laki-laki ibu seorang ego. Dalam arti luas, semua laki-laki dari suku yang sama dengan suku ego yang sebaya atau setingkat dengan ibu menurut garis keturunan dipanggil “mamak” oleh para kemenakannya. Sejalan dengan pengertian mamak sebagai pelindung dan pembina keluarga menurut sistem matrilineal, maka mamak merupakan panggilan yang umum untuk seluruh jenjang kekerabatan. Seorang anak atau remaja akan memanggil mamak kepada seluruh laki-laki anggota sukunya yang lebih tua, apabila hubungannya dengan laki-laki tersebut tidak dapat ditelusuri lagi.

Sebagai seorang mamak, laki-laki di Minangkabau berkewajiban memenuhi kebutuhan materi saudara-saudara perempuannya beserta anak-anak mereka. Seorang mamak akan melarang keras saudara perempuan atau kemenakan perempuannya meminta uang belanja kepada suami mereka (kecuali jika diberi tanpa diminta), karena hal ini akan membuat kehormatan mamak jatuh di mata kerabat urang sumando-nya. Bahkan tidak jarang seorang mamak akan mengisi saku baju urang sumando-nya dengan tujuan agar urang sumando tersebut tetap datang mengunjungi saudara perempuan atau kemenakan perempuan mamak tersebut yang juga merupakan istri dari urang sumando tersebut.[3]

Tugas mamak yang terutama terhadap kemenakan perempuannya adalah mencarikan jodoh yang baik baginya. Sebagai mamak, dia akan merasa malu apabila ada di antara kemenakan perempuannya yang sudah cukup umur belum juga menikah. Dia akan dikatakan orang sebagai mamak yang tidak becus mengurus kemenakannya, sementara kemenakannya beserta keluarganya akan dijuluki orang sebagai keluarga yang tidak laku. Oleh karena itu, tugas mamaklah untuk mencarikan kemenakan perempuannya jodoh yang baik dan sepadan dengan kemenakannya. Mamaklah yang berkewajiban untuk mendatangi laki-laki yang dianggap pantas sebagai jodoh kemenakannya untuk menanyakan kesediaannya menikah dengan kemenakan perempuan mamak tersebut.

Setelah terjadi perkawinan antara kemenakan perempuan dengan laki-laki dari kaum lain, tanggungjawab mamak kepada kemenakan tersebut tidak beralih kepada suaminya. Mamak tetap berkewajiban menjaga kemenakannya yang telah menikah tersebut dan mencukupi kebutuhan materinya. Tugas untuk mengatur pengeluaran rumahtangga berada pada tangan kaum perempuan dalam keluarga itu, karena itu ia dikenal dengan istilah “umban puruak” (pemegang pundi-pundi).

2.3. Peran Ayah Secara Tradisional di Minangkabau

Seorang ayah di Minangkabau dipandang sebagai tamu dalam keluarga istrinya yang tujuannya terutama adalah untuk memberikan keturunan. Dia disebut sebagai sumando atau urang sumando. Tempatnya yang sah adalah dalam garis keturunan ibunya, tempat dia berfungsi sebagai anggota laki-laki dalam garis keturunan itu. Secara tradisi, setidak-tidaknya tanggungjawabnya berada di situ.

Ayah adalah wali dari garis keturunan keluarganya (berdasarkan garis ibu). Dia adalah pelindung atas harta benda garis keturunan itu sekalipun dia harus menahan dirinya dari menikmati hasil tanah kaumnya oleh karena dia tidak dapat menuntut bagian apa-apa untuk dirinya. Tidak pula dia diberi tempat di rumah orangtuanya oleh karena semua bilik (kamar) hanya diperuntukkan bagi anggota keluarga yang perempuan, yakni untuk menerima suami-suami mereka di malam hari.

Perkawinan yang terjadi, oleh karena itu, tidaklah menciptakan keluarga inti (nuclear family) yang baru, sebab suami atau istri masing-masingnya tetap menjadi anggota dari garis keturunan mereka masing-masing. Oleh karena itu, pengertian tentang keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak sebagai suatu unit tersendiri tidak terdapat dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau secara tradisional, karena dia selalu ternaung oleh garis-keturunan ibu yang lebih kuat. Sebagai akibatnya, anak-anak dihitung sebagai anggota garis-keturunan ibu dan selalu lebih banyak melekatkan diri kepada sang ibu serta anggota-anggota lainnya dalam garis keturunan itu. Ikatan lemah terhadap ayah akan lebih jelas terlihat apabila ayah melakukan poligami, sehingga dia bergilir mengunjungi istrinya, dan lebih jarang bertemu dengan anak-anaknya. Ikatan ini menjadi lebih berkurang lagi bila perceraian terjadi yang berakibat seorang ayah jarang sekali bertemu dengan anak-anaknya.

III. Analisis

Proses globalisasi yang berbentuk multi dimensional telah mulai mengalir deras dalam darah kehidupan dunia. Proses itu tidak hanya menyangkut aspek ekonomi, teknologi, dan politik, tetapi juga dimensi kebudayaan. Globalisasi telah membawa implikasi dalam kehidupan masyarakat. Dimensi kehidupan yang dibawa oleh sistem imformasi itu telah membawa berbagai implijasi pada kehidupan masyarakat, terutama komunitas negara-negara berkembang. Melalui teknologi canggih itu gagasan-gagasan baru dari seluruh pelosok dunia, terutama yang berasal dari masyarakat negara-negara maju, datang menyerbu kehidupan masyarakat dunia. Secara berangsur gagasan-gagasan itu telah berhasil mengubah pola gagasan budaya masyarakat yang tersentuh serbuan tersebut.

Menurut Soemardjan & Brezeale (1993), perubahan kebudayaan di pedesaan terjadi karena adanya pembangunan dari atas (top-down) dengan memperkenalkan program pembangunan yang sudah dirancang dari atas. Sairin (2002), menyatakan bahwa perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat masyarakat dipicu oleh perbedaan yang tumbuh akibat dorongan dan dinamika kehidupan internal dan eksternal masyarakat. Dinamika suatu masyarakat dapat dipicu karena adanya pengakuan akan perbedaan. Konflik yang muncul dari suatu perbedaan akan menumbuhkan dan mendorong dinamika kehidupan masyarakat untuk menuju kehidupan yang lebih baik.

Masyarakat Minangkabau yang menganut pola kekerabatan matrilineal pun, tidak luput dari perubahan ini. Globalisasi yang melanda pedesaaan termasuk di Minangkabau menyebabkan meningkatnya kebutuhan hidup, seperti biaya pendidikan, rekening listrik, air, telepon, dan berbagai biaya lainnya. Hal ini menuntut seseorang harus mempunyai penghasilan yang besar untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Keadaan ini menyebabkan seorang laki-laki di Minangkabau sudah tidak sempat lagi mengawasi saudara-saudara perempuan dan kemenakan-kemenakannya karena dia sendiri sudah cukup disibukkan dengan pekerjaan-pekerjaannya dalam mencari nafkah, di samping juga mengawasi dan mendidik anak-anak dan istrinya.

Keinginan seorang ayah untuk menjadikan anaknya sebagai orang yang berpendidikan dan meraih sukses dalam kehidupan selanjutnya akan menyebabkan sebagian besar penghasilannya akan dicurahkan untuk kepentingan anak-anak dan istrinya. Jika dia bukan orang yang sangat berkecukupan, untuk memenuhi kebutuhan saudara-saudara perempuan dan kemenakan-kemenakannya tentu akan terasa sangat berat baginya. Hal ini juga disebabkan karena anak-anaknya juga sudah jarang dibantu secara materi oleh mamak mereka yang pada umumnya pada saat ini juga lebih mementingkan biaya untuk anak dan istrinya terlebih dahulu daripada biaya untuk saudara dan kemenakannya.

Laki-laki yang terlalu sibuk dengan urusan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan anak dan istrinya, akan membuatnya semakin jarang pulang ke rumah orangtuanya untuk menengok saudara-saudara perempuan dan kemenakan-kemenakannya. Hal ini akan ditambah pula jika laki-laki tersebut punya konflik masalah harta dengan saudara-saudara dan kemenakan-kemenakannya, kehadirannya justru sangat tidak diharapkan. Tidak jarang dia akan diusir oleh kemenakannya karena merasa kehadirannya hanya menyusahkan mereka saja. Keberanian kemenakan tersebut melawan bahkan mengusir mamaknya karena mereka merasa yang membesarkan dan mendidik mereka dari kecil adalah ayah dan ibu mereka tanpa campur tangan mamak sedikitpun, sehingga mereka merasa tidak punya ikatan emosional yang kuat dengan sang mamak.

Faktor lainnya yang menyebabkan semakin menguatnya peran ayah di MInangkabau adalah kecenderungan pasangan-pasangan yang baru menikah untuk memilih pola menetap neolokal (menempati kediaman yang baru) dengan membentuk keluarga inti yang terpisah dari keluarga luas. Konsekuensi dari sistem ini adalah seorang laki-laki akan lebih sering berada di rumah anak-anak dan istrinya, apalagi jika rumah tersebut, dia sendiri yang membangunnya. Akibatnya dia akan semakin jarang berkunjung ke rumah saudara-saudara dan kemenakan-kemenakannya, walaupun siang hari yang menyebabkan hubungannya dengan kemenakan-kemenakannya menjadi tidak begitu rapat, sehingga tak jarang dia akan bersikap seperti seorang tamu ketika mengunjungi kemenakan-kemenakannya.

Perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat Minangkabau tersebut dapat dilihat dalam matriks berikut ini:

Matriks Perubahan yang terjadi

Penyebab Perubahan

Teknologi

Ideologi

Nilai-nilai

Tingkat pendidikan yang semakin tinggi

Tersedianya sarana pendidikan sampai ke tingkat desa

Cara berpikir masyarakat semakin terbuka untuk menerima pengaruh dari luar

Adanya keinginan untuk membalas jasa kepada ayah yang telah memberi biaya pendidikan

Adanya gerakan pembaharuan agama

Semakin kuatnya pengaruh Muhammadiyah di Minangkabau

Seorang laki-laki punya kewajiban memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya

Besarnya tugas dan tanggung jawab laki-laki terhadap istri dan anak-anaknya

Semakin beragamnya sumber mata-pencaharian

Terbukanya peluang untuk menjadi pedagang, PNS, tentara, polisi, dan lain-lain

Seorang laki-laki tidak lagi tergantung kepada tanah keluarga asalnya

Hubungan mamak dengan saudara perempuan dan kemenakannya menjadi renggang

Tingginya tingkat mobilitas penduduk

Sarana transportasi yang semakin lancar

Masuknya pengaruh budaya dari luar

Budaya asli mengalami proses perubahan secara perlahan-lahan

Berubahnya term of reference dan term of address

Berubahnya panggilan mamak menjadi “om” yang juga ditujukan kepada saudara laki-laki ayah

Anak memandang sama antara saudara laki-laki ibunya dengan saudara laki-laki ayahnya

Berubahnya pandangan anak terhadap mamak menjadi hanya sekedar “paman”

Berbagai faktor yang disebutkan di atas telah menyebabkan terjadinya penguatan peran ayah dalam keluarga di Minangkabau. Meskipun demikian, sampai sekarang masyarakat Minangkabau masih tetap memakai sistem kekerabatan matrilineal. Mereka tetap menarik garis keturunan berdasarkan garis ibu, sehingga seorang anak tetap memiliki suku yang sama dengan suku ibunya. Peran mamak dalam suatu keluarga saat ini biasanya baru nampak pada saat-saat upacara adat, seperti acara perkawinan, kematian, aqiqah, khatam al-qur’an, dan lain-lain.

Dari penjelasan di atas, dapat dikontruksikan kerangka teoritis tentang perubahan kebudayaan yang terjadi di Minangkabau, terutama mengenai gejala menguatnya peran ayah dalam keluarga akhir-akhir ini, beserta faktor-faktor yang menyebabkannya, sekaligus sasaran yang hendak diraih, sebagaimana terlihat di bawah ini:

Kerangka Pemikiran









Faktor-faktor penyebab terjadinya

perubahan peran mamak

dan ayah di Minangkabau

















Tingkat pendidikan

yang semakin

tinggi


Adanya gerakan

pembaharuan

agama


Semakin beragamnya sumber mata-pencaharian


Tingginya tingkat

mobilitas penduduk


Berubahnya term

of reference dan

term of adress









Peran ayah menjadi lebih kuat,

sedangkan peran mamak menjadi lebih lemah dalam keluarga




IV. Kesimpulan

1. Proses perubahan di Minangkabau, terutama dalam hal kekerabatan, saat ini sedang berlangsung secara linear menuju ke arah bilateral, walaupun dalam hal penarikan garis keturunan dan sistem warisan tetap mempertahankan prinsip-prinsip matrilineal.

2. Perubahan yang sedang berlangsung terjadi pada berbagai macam lapisan masyarakat, baik di perkotan maupun di pedesaan, pada tingkat individual, kelompok, kelembagaan, dan sampai ke tingkat komunitas.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan di antaranya ialah; tingkat pendidikan yang semakin tinggi, adanya gerakan pembaharuan agama, semakin beragamnya sumber matapencaharian, tingginya tingkat mobilitas penduduk, dan berubahnya term of reference dan term of adress. Faktor lainnya adalah kecenderungan pasangan muda untuk memilih pola tempat tinggal neolokal berbentuk keluarga inti (nuclear family) yang terpisah dari keluarga luas (extended family).

4. Dampak berubahnya peran mamak dan ayah di Minangkabau, adalah semakin dekatnya hubungan seseorang dengan ayahnya di satu sisi dan semakin jauh dengan mamaknya di sisi yang lain. Peran mamak saat ini terlihat terutama hanya pada upacara-upacara seremonial, seperti perkawinan, aqiqah, khatam al-qur’an, kematian, dan lain-lain. Sementara dalam membiayai kebutuhan hidup hidup sehari-hari sebagaian besar ditanggung oleh ayah, kecuali jika ibunya berasal dari keluarga yang sangat berkecukupan. Dalam hal ini anak-anak dalam keluarga tersebut tidak terlalu tergantung kepada ayah, karena keluarga besar ibu telah memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA

Amir M.S. 1997. Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. PT Mutiara Sumber Widya. Jakarta.

Arifin, Tajul. 1993. Pengantar Studi Sosiologi. Arie and Brother. Bandung

Bachtiar, Harsja W. 1984. “Negeri Taram: Masyarakat Desa Minangkabau” dalam Koentjaraningrat (ed.) Masyarakat Desa di Indonesia. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.

Chandra, Ade. (et al.). 2000. Minangkabau dalam Perubahan. Yasmin Akbar. Padang.

Etzioni-Halevy, Eva & Amitai Etzioni (eds.). 1973. Social Change Sources, Patterns, and Consequences. Basic Book, Inc. New York.

Herskovits, Melville J. 1999. “Organisasi Sosial: Struktur Masyarakat” dalam T.O. Ihromi (ed.). Pokok-pokok Antropologi Budaya. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Horton, Paul B. & Chester L. Hunt. 1996. Sosiologi. Erlangga. Jakarta.

Harper, Charles L. 1989. Exploring Social Change. Prentice Hall. New Jersey.

Hüsken, Frans. 1998. Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah Differensiasi Sosial di Jawa 1830-1980. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.

Idris, Soewardi (ed.). 1992. Selayo Kec. Kubung, Kab. Solok. Ikatan Keluarga Selayo. Jakarta.

Ihromi, T.O. (et al.). 1995. Kajian Wanita dalam Pembangunan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Junus, Umar. 2002. “Kebudayan Minangkabau” dalam Koentjaraningrat (ed.). Manusia dan Kebudayan di Indonesia. Djambatan. Jakarta.

Koentjaraningrat (ed.), 1984, Masyarakat Desa di Indonesia, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

______________. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. UI-Press, Jakarta.

Latief, Ch. N. Dt. Bandaro. 2002. Etnis dan Adat Minangkabau Permasalahan dan Masa Depannya. Angkasa. Bandung.

Lauer, Robert H. 2001. Perspektif tentang Perubahan Sosial. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.

Mubyarto (et al.). 1994. Keswadayaan Masyarakat Desa Tertinggal. Aditya Media. Yogyakarta.

Naim, Mochtar. 1984. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Sairin, Sjafri. 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia Perspektif Antropologi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Strasser, Hermann & Susan C. Rendall. 1981. An Introduction to Theories of Social Change. Routledge & Kegan Paul. London.

Sztompka, Piotr. 1994. The Sociology of Social Change. Blackwell Publishers.



[1] Staf Pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang.

[2] Arti pepatah ini secara harfiah adalah “sekali air besar/banjir, sekali tepian (tempat mandi di sungai) beralih/berpindah. Maksudnya suatu peristiwa besar yang terjadi dapat menyebabkan perubahan pada berbagai unsur yang terkena peristiwa tersebut.

[3] Kebiasaan seperti ini biasanya hanya terjadi pada keluarga-keluarga “bangsawan” yang mempunyai urang sumando yang juga dari kalangan bangsawan. Pada masyarakat biasa, kebiasaan ini jarang dilakukan.

1 komentar:

  1. Pak Pasya, bagus sekali tulisannya. Sebagai anak keturunan Orang Minang yang lahir dan besar di Jakarta, keluarga besar saya juga semua di Jakarta sejak jaman perang dulu, terus terang kami seperti "the lost kids" yang tidak tahu secara pasti mengenai sejarah asal usul nenek moyang kami.

    Sebelumnya salam kenal. Saya Chris lahir thn 1966 di Jakarta. Inyiak dan nenek saya dari kedua belah pihak asli dari Minangkabau.

    Itu sebabnya, ketika mengobrol dengan papa saya yang sekarang berusia 79 thn, mengenai kampung halamannya KOTOTUO AMPEKKOTO dekat Bukittinggi, saya tergerak ingin tahu lebih dalam.
    Saya browsing, dengan menggunakan kata kunci tersebut diatas, dan terus terang kaget karena ada beberapa nama yang berhubungan dengan KOTOTUO. Akhirnya bingung, yang mana informasi mengenai sejarah KOTOTUO saya itu.

    Mungkin pak Pasya bisa bantu saya, refrensi-refrensi dari mana saja yang bisa cari. Atau kalau boleh bisa saya kontak japri via email?

    Terima kasih banyak sebelumnya.

    BalasHapus