Selasa, 15 September 2009

PERAN PADANGPANJANG SEBAGAI PUSAT PENDIDIKAN ISLAM DI MINANGKABAU

PERAN PADANGPANJANG SEBAGAI PUSAT PENDIDIKAN ISLAM DI MINANGKABAU

Oleh

Witrianto[1]

Padangpanjang merupakan kota yang menjadi tempat awal pembaharuan pendidikan Islam di Minangkabau. Kota kecil yang terletak di kaki Gunung Merapi dan Gunung Singgalang ini memiliki hawa yang sejuk dan berada persis di tengah-tengah Minangkabau sehingga letaknya sangat strategis karena berada di persimpangan jalan, baik jalan raya maupun jalan kereta api. Dari segi geografis Kota Padangpanjang berada di daerah dataran tinggi Minangkabau dan termasuk dalam kawasan Bukit Barisan yang berada pada posisi antara 760 m dan 790 m dari permukaan air laut. Padangpanjang berjarak 18 Km dari Bukittinggi, kota terbesar di daerah Darek dan 72 Km dari Padang, ibukota Provinsi Sumatera Barat.

Batas-batas Kota Padangpanjang sebelah timur adalah berbatasan dengan Nagari Batipuh Baruh, sebelah barat dengan Nagari Singgalang, sebelah selatan dengan Nagari Singgalang, dan sebelah utara dengan Nagari Panyalaian. Batas-batas ini pada mulanya merupakan batas wilayah Nagari Gunung IV Koto yang akhirnya menjadi Kota Padangpanjang.

Kota-kota lain di Minangkabau yang berada di sekeliling Padangpanjang ialah Bukittinggi di bagain utara, Batusangkar dan Solok di bagian timur, Padang di bagian selatan, dan Pariaman di bagian barat. Padangpanjang terletak pada posisi yang sangat strategis, yaitu pada persimpangan lalu lintas darat yang menghubungkan kota-kota penting di Sumatera Barat, baik jalan raya maupun jalan kereta api. Hampir semua route lalu lintas yang menghubungkan kota-kota penting di Sumatera Barat melewati Padangpanjang seperti route Padang – Bukittinggi, Padang – Payakumbuh, Padang – Batsangkar, Bukittinggi – Batusangkar, Bukittinggi – Solok, Bukittinggi – Pariaman, Batusangkar – Pariaman, Solok – Pariaman, dan sebaliknya. Lebih dari itu Padangpanjang terletak persis di perbatasan antara daerah Darek dan daerah Rantau Pesisir. Oleh karena itu Padangpanjang sekaligus merupakan pintu gerbang bagi wilayah Darek.

Wilayah Minangkabau secara umum dapat dibagi ke dalam dua kategori yaitu Luhak dan Rantau. Luhak merupakan wilayah inti Minangkabau dan merupakan pusat kebudayaan Minangkabau. Daerah Luhak dikenal juga dengan sebutan daerah Darek (Darat) karena terletak di dataran tinggi. Wilayahnya meliputi Luhak Nan Tigo yaitu Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota.

Daerah Rantau adalah tempat orang Minangkabau merantau yang berada di luar wilayah Luhak. Salah satu dari sekian banyak daerah Rantau ini adalah daerah-daerah yang berada di sepanjang pesisir pantai Sumatera Barat, seperti Indrapura, Painan, Padang, Pariaman, Tiku, danj Airbangis. Untuk daerah ini orang Minangkabau sering juga menyebutnya sebagai daerah pasisia (Pesisir). Padangpanjang sebagai bagian dari Minangkabau terletak di daerah perbatasan antara daerah Darek dan daerah Rantau Pesisir. Secara tradisional, Padangpanjang digolongkan ke dalam wilayah Luhak Tanah Datar.

Keadaan geografis sebuah kota, menurut Melville C. Brand, bukan hanya merupakan pertimbangan yang esensiil pada awal penentuan lokasinya, tetapi mempengaruhi fungsi dan bentuk fungsinya. Jika suatu kota dimaksudkan untuk mengembangkan niaga kelautan di dalam pemukimannya, yaitu sebagai tempat pertukaran barang antara daerah daratan dengan lautan, maka kota tersebut berlokasi di tepi pantai atau di sepanjang tepi sungai yang memiliki akses ke laut dengan menggunakan kapal. Contoh kota seperti yang dimaksud teori ini di Minangkabau di antaranya adalah Padang, Pariaman, Tiku, dan Airbangis. Jika suatu kota dimaksudkan untuk menampung para pekerja perusahaan galian di pegunungan, maka kota tersebut dibangun cukup dekat dengan daerah penambangan untuk menghemat waktu dan biaya. Kota yang sesuai dengan teori ini di Minangkabau adalah Sawahlunto yang terletak dekat perusahaan tambang batubara. Sebuah kota yang diharapkan menjadi pusat perbelanjaan dan pelayanan komersial untuk daerah pertanian, ditempatkan pada lokasi yang dekat dengan tempat tersedianya air bersih, pada persimpangan jalan, yaitu tempat yang dapat menyebarkan jalur pergerakan dari keempat penjuru yang merupakan daerah-daerah pertanian. Padangpanjang, Bukittinggi, dan Solok merupakan kota-kota di Minangkabau yang cocok dengan teori ini.

Kedudukan Padangpanjang baik sebagai sentral lalu lintas perhubungan darat maupun sebagai pintu gerbang antara daerah Darek dengan daerah Pesisir sudah berlangsung sejak lama. Dalam cerita-carita tradisional Minangkabau seperti cerita Cindua Mato dan Puti Bungsu yang berlatarkan Kerajaan Minangkabau, disebutkan peran penting dari daerah-daerah di sekitar Padangpanjang seperti Lembah Anai dan Bukit Tambuntulang sebagai route perhubungan lalu lintas pada waktu itu.

Cerita itu juga menggambarkan bahwa di sekitar Bukit Tambuntulang sering terjadi penyamunan atau perampokan terhadap para pedagang yang melewati daerah tersebut. Pada masa itu ada dua jalur jalan menuju daerah Padang. Pertama jalan Jawi-jawi yang sering digunakan oleh masyarakat VI-Koto menuju daerah Padang dan kedua adalah jalan Janjang Banyak atau Janjang Seratus yang sering digunakan oleh masyarakat IV-Koto. Jalan Janjang Banyak inilah yang kemudian dijadikan sebagai jalan raya yang dibangun oleh Van Den Bosch pada tahun 1833.

Ketika Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mulai berkuasa di Minangkabau sejak tahun 1837, jalur lalu lintas yang menghubungkan daerah Pesisir khususnya Padang dengan daerah Pedalaman secara berangsur-angsur dikerjakan dan diperbaiki. Jalan yang semula hanya berupa jalan setapak yang hanya dapat dilewati oleh para pejalan kaki atau kuda beban, setelah diperbaiki akhirnya dapat dilewati oleh berbagai jenis kendaraan seperti pedati, kendaraan bermotor, dan sebagainya.

Pada masing-masing kasus, bentuk fisik dan tata letak komunitas berbeda-beda. Kota-kota di sepanjang pantai menuntut pengembangan sesuai dengan lahan yang tersedia yang umumnya berbentuk menyerupai setengah lingkaran. Pemukiman di daerah pegunungan berjajar mengikuti kemiringan lereng atau sepanjang dasar lembah. Hampir seluruh pemukiman menggambarkan tata letak berpola memanjang, baik sejak awal mulanya, atau setelah pemukiman tersebut tumbuh. Kota yang berada di atas tanah yang datar memiliki keleluasaan di dalam pengembangan tata ruangnya. Kota seperti ini dapat berkembang secara merata ke segala arah.

Padangpanjang sebagai sebuah kota yang memiliki areal lebih kurang 2.300 Ha, terletak di daerah pegunungan. Secara keseluruhan dapat dikatakan keadaan fisik permukaan tanahnya terdiri dari mikro relief yang memanjang dari utara ke tenggara dan baratdaya. Sebagai sebuah kota yang terletak di persimpangan jalan, Padangpanjang berfungsi sebagai kota perdagangan, kota pendidikan, dan ibukota Afdeeling Batipuh dan X–Koto.

Penduduk yang mendiami Padangpanjang sebagaian besar merupakan etnis Minangkabau yang hampir keseluruhannya beragama Islam. Dalam lingkungan Alam Minangkabau antara adat, agama, dan alam adalah suatu keselarasan yang harmonis yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Keselarasan ini diekspresikan dalam tiga konsep raja Minangkabau, yakni “Raja Adat, Raja Alam, dan Raja Ibadat (Agama)”. Pada tingkat nagari fungsi agama juga termasuk hirarki adat. Kenyataan ini dapat dilihat dalam undang-undang nagari sepanjang adat Minangkabau mengenai syarat-syarat berdirinya suatu nagari, yaitu harus mempunyai balai adat tempat musyawarah, masjid tempat ibadah, jalan yang menghubungkannya dengan nagari yang lain, gelanggang (semacam alun-alun di Jawa), dan tempat pemandian umum.

Antara adat dan agama terdapat suatu keselarasan yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Keselarasan ini tercermin dalam falsafah adat Minangkabau yang berbunyi: “Adat basandi syara’, syara’basandi Kitabullah” (Adat bersendi syara’ (agama), syara’ bersendi Kitabullah (Al-Qur’an)). Dari ungkapan ini dapat diketahui bahwa masyarakat Minangkabau adalah masyarakat Islam. Dalam masalah adat, pada umumnya orang Minangkabau tidak akan menerima apabila dikatakan tidak beradat. Konsekwensi antara adat dan agama dapat dilihat pada masyarakat Minangkabau. Tidak jarang kita temui seorang pemangku adat yang kuat bergelar “Datuk” sekaligus dia juga seorang ulama besar dan bergelar “Haji”.

Pendidikan pada masyarakat Minangkabau dapat berlangsung secara formal dan non formal, seumur hidup, dan di mana saja. Alam atau lingkungan tempat tinggal pun dapat berfungsi sebagai “guru” sesuai dengan falsafah adat Minangkabau “Alam takambang jadi guru” (Alam Terkembang Jadi Guru), yang maksudnya adalah bahwa orang Minangkabau harus dapat mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian yang ada di sekitarnya.

Pendidikan semiformal yang pertama di Minangkabau adalah pendidikan yang diberikan di surau. Pendidikan diberikan melalui pengajian yang dibrikan oleh guru atau ulama dengan menggunakan huruf Arab-Melayu. Materi pelajaran yang diberikan terutama adalah hadits, fiqhi, dan ilmu syari’ah. Sistem pengajarannya berupa sistem halaqah, yaitu duduk melingkar mengelilingi guru tanpa adanya pembagian kelas. Yang menjadi tujuan pokok pengajaran adalah agar murid dapat memahami agama Islam dengan benar dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Surau yang sangat terkenal di Padangpanjang karena menjadi cikal bakal berdirinya sekolah Thawalib dan Diniyah adalah Surau Jembatan Besi. Surau ini sangat terkenal di seluruh Minangkabau karena guru-gurunya merupakan ulama-ulama yang sangat berpengaruh di Minangkabau. Pada mulanya, surau ini sebagaimana surau-surau lainnya di Minangkabau juga memberikan pelajaran agama dengan cara-cara tradisional yaitu dengan menggunakan sistem halaqah. Dengan masuknya Haji Abdullah Ahmad dan Haji Rasul mengajar di surau ini setelah mereka kembali dari Mekkah pada tahun 1904, pelajaran yang lebih ditekankan adalah pelajaran ilmu alat berupa kemampuan untuk menguasai bahasa Arab dan cabang-cabangnya. Tekanan pada pelajaran ini dimaksudkan untuk memungkinkan para pelajar mempelajari sendiri kitab-kitab yang diperlukan dan dengan demikian secara lambat laun dapat mengenal Islam dari kedua sumber utamanya, yaitu A-Qur’an dan Hadits.

Dalam perkembangan selanjutnya, sistem pelajaran yang diberikan di Surau Jembatan Besi telah mengilhami lahirnya lembaga-lembaga pendidikan yang bersifat lebih modern di Padangpanjang, yaitu Diniyah School (1916), Sumatera Thawalib (1918), dan Diniyah Puteri (1923). Sekolah-sekolah ini dianggap sebagai pelopor gerakan Islam modern di Indonesia, karena itu murid-muridnya selain dari Padangpanjang, juga banyak yang berasal dari daerah-daerah lainnya di Minangkabau, bahkan juga dari negeri-negeri yang jauh seperti Yogyakarta, Lombok, Ternate, Hlmahera, Sulawesi, dan Malaya.

Sementara itu, Pemerintah Hindia Belanda pada saat yang bersamaan sebagai perwujudan dari Politik Etis yang mereka lancarkan, ikut pula mendirikan sekolah-sekolah model Barat di Padangpanjang. Sekolah model Barat yang didirikan oleh Pemerintah Kolonial di antaranya ialah Normaal School pada tahun 1916. Pada tahun 1918 disusul kemudian oleh Sekolah Normaal khusus untuk wanita dan pada tahun 1921 didirikan pula sebuah sekolah dengan nama Schakel School yang lama tahun ajarannya lima tahun dan menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.

Sekolah model Barat yang memakai bahasa daerah (Melayu) sebagai bahasa pengantar yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda di Padangpanjang ialah Sekolah Bumiputera (Inlandsche School) yaitu Sekolah Kelas Dua yang lama pendidikannya lima tahun, Sekolah Desa (Volks School) dengan lama pendidikan tiga tahun, dan Sekolah Sambungan (Vervolg School) yaitu dari Sekolah Desa dengan lama pendidikan dua tahun.

Sekolah model Barat yang didirikan oleh Bumiputera di Padangpanjang ialah Sekolah Hollandsche School particulier oleh Vereniging Boedi Tjaniago, yaitu suatu perkumpulan anak negeri Bukitsurungan Padangpanjang. Sekolah ini mulai dibuka pada tanggal 9 Juli 1922. Sekolah ini diusahakan sendiri pendiriannya oleh anak negeri Bukitsurungan dengan tujuan untuk menampung anak-anak yang tidak diterima di Sekolah Kelas Dua di Padangpanjang.

Perkembangan sekarang menunjukkan bahwa Padangpanjang tetap merupakan tujuan utama pendidikan Islam di Minangkabau. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Yayasan Islam seperti Diniyah Puteri, Thawalib Putra, Thawalib Putri, Serambi Mekkah, dan sekolah yang dikelola oleh Yayasan Masjid Jihad merupakan sekolah yang cukup bergengsi di Padangpanjang. Untuk tingkat Sekolah dasar, lulusan sekolah-sekolah yang dikelola oleh Yayasan Perguruan Islam ini dianggap lebih baik dibandingkan sekolah yang dikelola oleh Yayasan Pendidikan agama lain, seperti Sekolah Xaverius. Pesantren-pesantren yang ada di Kota Padangpanjang seperti Diniyah Puteri, Thawalib Putra, dan Thawalib Putri, sampai saat ini masih tetap eksis dan lulusannya tersebar di seluruh Minangkabau. Para lulusan ketiga pesantren tersebut memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat Minangkabau. Pesantren yang usianya relatif masih muda seperti Serambi Mekkah juga sudah menunjukkan eksistensinya sebagai pesantren yang cukup diminati oleh kalangan generasi muda Minangkabau dan sekitarnya yang haus akan ilmu agama.

Sekolah agama yang dikelola oleh Pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama seperti MTsN Padangpanjang, saat ini juga diakui sebagai Tsanawiyah yang paling bagus di Sumatera Barat. Begitu pula untuk tingkat Aliyah, sekolah-sekolah Aliyah yang ada di Padangpanjang, seperti MAN Kotobaru, MAN Gunung, dan MAN 3 selalu diminati oleh murid-murid yang berdatangan dari berbagai daerah di Sumatera Barat dan dari provinsi tetangga terutama Jambi, dan Riau. Berbeda dengan daerah lainnya, di Padangpanjang siswa-siswa yang memasuki sekolah agama bukanlah sebagai pelarian atau alternatif kedua karena tidak diterima di sekolah umum negeri. Mereka memilih sekolah agama sebagai pilihan utama dan mereka merasa bangga menjadi murid sekolah agama.

Sebutan Padangpanjang sebagai pusat pendidikan Islam di Minangkabau juga turut dirasakan oleh daerah-daerah sekitar Kota Padangpanjang yang pesantrennya ikut menjadi maju karena mendompleng nama besar Padangpanjang. Hal ini bisa dilihat pada Pesantren Nurul Ikhlas yang terletak di Pincuran Tinggi Panyalaian Kec. X-Koto Kab. Tanah Datar, Pesantren Az-Zikra di Aie Angek Kec. X-Koto, dan Pesantren Jaho yang juga terletak di Kec. X-Koto. Pesantren-pesantren tersebut, meskipun berlokasi di Kabupaten Tanah Datar, tetapi karena letaknya tidak jauh dari Kota Padangpanjang, ikut terdongrak namanya. MAN Kotobaru yang pernah menjadi salah satu MAN terbaik di Indonesia pun sesungguhnya juga terletak di Nagari Kotobaru Kec. X-Koto Kab. Tanah Datar. Meskipun demikian, di mana-mana orang mengenal MAN ini sebagai MAN Kotobaru Padangpanjang, bukan MAN Kotobaru Kab. Tanah Datar. Untuk tingkat MTsN pun, MTsN Padangpanjang sebenarnya juga tidak terletak di wilayah Kota Padangpanjang. MTsN ini berlokasi di Gantiang yang merupakan bagian dari Nagari Panyalaian Kec. X-Koto Kab. Tanah Datar. Sama seperti MAN Kotobaru, MTsN ini dianggap orang berada di Kota Padangpanjang, apalagi nama resminya adalah MTsN Padangpanjang, bukan MTsN Panyalaian. Masyarakat Panyalaian beserta ninik mamak Nagari Panyalaian tidak pernah mempersoalkan nama MTsN ini karena mereka berpikir pemberian nama ini semata-mata adalah demi kepentingan kemajuan MTsN tersebut. dan juga demi kemajuan anak kemenakan mereka sendiri.



[1] Penulis adalah staf pengajar Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas, saat ini sedang menempuh pendidikan di Program S-3 Program Studi Pembangunan Pertanian Universitas Andalas Padang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar