Rabu, 16 September 2009

HUBUNGAN SALING KETERGANTUNGAN ANTARA PETANI DAN PEDAGANG PERANTARA DI PEDESAAN MINANGKABAU

HUBUNGAN SALING KETERGANTUNGAN ANTARA PETANI
DAN PEDAGANG PERANTARA DI PEDESAAN MINANGKABAU
Oleh
Witrianto

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kajian mengenai petani dan perilaku ekonomi modern dalam konteks budaya yang dilakukannya merupakan salah satu pokok kajian dalam bidang antropologi ekonomi. Dalam masyarakat tradisional, menurut Weiner (1980), perilaku ekonomi dalam kaitannya dengan produksi terdapat dalam unit-unit kekerabatan. Pertanian sederhana adalah yang paling utama; kegiatan-kegiatan lainnya, seperti kerajinan tangan, bersifat melengkapi pertanian, tetapi masih terikat pada kekerabatan dan desa. Hubungan pertukaran barang juga digariskan oleh sistem-sistem kekerabatan yang tradisional dan oleh kewajiban-kewajiban komunitas. Secara umum dapat dikatakan bahwa kegiatan ekonomi relatif tidak didiferensiasikan dari lingkungan kekeluargaan-komunitas tradisional.
Perkembangan ekonomi terutama berarti, pemisahan kegiatan-kegiatan ekonomi dari lingkungan tradisional ini. Dalam sektor pertanian, perkenalan dengan barang-barang yang bernilai uang berarti bahwa, sebagai suatu contoh perubahan dasar dari sistem pertanian sederhana, barang-barang hasil produksi suatu keluarga dipakai oleh keluarga-keluarga lain yang tidak menghasilkannya. Kerja upah dalam sektor pertanian, di mana orang-peroranganlah yang disewa dan bukan keluarga-keluarga, sering merusak unit-unit produksi keluarga (Mutakin & Pasya, 2003).
Pengaruh globalisasi yang melanda seluruh dunia, juga melanda daerah pedesaan. Dari berbagai pengaruh globalisasi tersebut, di antaranya adalah adanya kebutuhan terhadap pendidikan, masuknya berbagai barang elektronik ke desa, seperti televisi, kulkas, mesin cuci, telpon, dan terutama juga adalah listrik. Untuk mendapatkan semua keperluan tersebut dibutuhkan biaya yang besar, termasuk biaya bulanan yang harus mereka bayarkan dalam hal pendidikan, rekening listrik, dan telpon. Petani butuh uang setiap hari untuk membiayai berbagai keperluan tersebut, sementara panen hanya dua atau tiga kali saja dalam setahun. Untuk mengatasinya, petani kemudian meminjam uang kepada pedagang perantara, dengan konsekuensi hasil panen mereka hanya dijual kepada pedagang yang memberinya pinjaman, bukan kepada pedagang yang lainnya.
Bagi pedagang sendiri, hal ini juga menguntungkannya karena dia sudah mendapatkan kepastian pasokan padi atau hasil pertanian lainnya dari petani tersebut. Tanpa mengikat petani tersebut dengan pinjaman uang, ia akan kesulitan untuk mendapatkan barang dagangannya karena harus bersaing dengan pedagang-pedagang lainnya. Sebagai pedagang, dia harus selalu punya stok barang dagangan agar tidak mengecewakan pelanggan-pelanggannya dan tentu saja juga untuk kelancaran usahanya sendiri.
Hubungan saling ketergantungan antara petani dan pedagang perantara yang ada di pedesaan merupakan tema yang hendak diangkat dalam tulisan ini. Fokus kajian lebih diarahkan kepada petani dan pedagang perantara yang ada di Nagari Selayo, Kecamatan Kubuang, Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat (Minangkabau).

1.2. Permasalahan
Untuk mempermudah dan membantu jalannya penulisan, maka tulisan ini berangkat dari beberapa pertanyaan:
1. Bagaimana dinamika kehidupan petani sawah di daerah pedesaan Minangkabau dan hubungannya dengan dunia luar.
2. Bagaimana latar belakang munculnya pedagang perantara di daerah pedesaan, terutama di komunitas petani sawah.
3. Sejauhmana hubungan saling menguntungkan yang terjadi antara petani dan pedagang perantara.
4. Pengaruh-pengaruh apa saja yang terjadi akibat hubungan yang tercipta antara petani dan pedagang perantara dalam upaya meningkatkan taraf kehidupan mereka.



1.3. Kerangka Konseptual dan Pendekatan
Untuk memudahkan penulisan, beberapa konsep yang digunakan dalam tulisan ini perlu mendapat kejelasan. Konsep yang dimaksud adalah mengenai petani, pedagang perantara, dan desa. Petani adalah orang yang menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian sebagai mata pencaharian utamanya. Menurut Scott (1994), secara garis besar terdapat tiga jenis petani, yaitu petani pemilik lahan, petani pemilik yang sekaligus juga menggarap lahan, dan buruh tani. Secara umum, petani bertempat tinggal di pedesaan dan sebagian besar di antaranya hidup di bawah garis kemiskinan, terutama petani yang memiliki lahan sempit dan buruh tani.
Kehidupan petani identik dengan kehidupan pedesaan. Amri Marzali membedakannya menjadi peladang atau pekebun, peisan (dari bahasa Inggris Peasant), dan petani pengusaha atau farmer. Sebagian besar petani yang ada di Indonesia merupakan peisan atau petani pemilik yang sekaligus juga menggarap lahan pertanian yang mereka miliki. Petani yang dimaksud dalam tulisan ini pun lebih ditekankan pada kelompok petani yang tergolong sebagai peisan.
Konsep mengenai peasant sekurang-kurangnya mengacu pada tiga pengertian yang berbeda. Konsep pertama mengacu pada pandangan Gillian Hart (1986), Robert Hefner (1990), dan Paul Alexander dkk (1991) dalam Marzali (1997) yang menyatakan bahwa istilah peasant ditujukan kepada semua penduduk pedesaan secara umum, tidak peduli apapun pekerjaan mereka. Konsep kedua mengacu pada pandangan James C. Scott (1994) dan Wan Hashim (1984) dalam Marzali (1997), yang menyatakan bahwa peasant tidak mencakup seluruh pedesaan, tetapi hanya terbatas kepada penduduk pedesaan yang bekerja sebagai petani saja. Konsep ketiga atau terakhir mengacu pada pandangan Eric Wolf yang kemudian diikuti oleh Frank Ellis (1988) dalam Marzali (1997), yang menyatakan bahwa peasant ditujukan untuk menunjukkan golongan yang lebih terbatas lagi, yaitu hanya kepada petani yang memiliki lahan pertanian, yang menggarap sendiri lahan tersebut untuk mendapatkan hasil yang digunakan untuk memenuhi keperluan hidupnya, bukan untuk dijual, atau yang di Indonesia biasa disebut sebagai petani pemilik penggarap.
Konsep lainnya yang perlu mendapatkan kejelasan dalam tulisan ini adalah konsep mengenai pedagang perantara. Pedagang perantara adalah orang yang mencari nafkah sebagai pedagang pengumpul hasil pertanian dengan membelinya langsung kepada petani dan kemudian menjualnya, baik di daerah itu sendiri maupun untuk dibawa ke daerah lain, dalam jumlah sedikit ataupun banyak. Pada mulanya yang menjadi pedagang perantara adalah penduduk setempat atau dari desa tetangga yang memiliki lahan pertanian sempit atau bahkan tidak memiliki lahan sama sekali, sehingga untuk mencukupi kebutuhan hidupnya mereka melakukan pekerjaan alternatif sebagai pedagang perantara. Dalam perkembangan selanjutnya banyak pula petani kaya yang menjadi pedagang perantara, terutama dari kalangan muda, karena melihat prospek yang bagus dari usaha ini.
Konsep mengenai desa merupakan konsep lainnya yang juga perlu mendapatkan kejelasan dalam tulisan ini. Menurut Bintarto (1989), pengertian desa, terutama apabila ditinjau dari segi geografi adalah “suatu hasil perpaduan antara kegiatan sekelompok manusia dengan lingkungannya. Hasil dari perpaduan itu adalah suatu wujud atau kenampakan di muka bumi yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, sosial, politik, ekonomi, dan kultural yang saling berinteraksi antarunsur tersebut dan juga dalam hubungannya dengan daerah-daerah lain”.
Karakteristik budaya masyarakat pedesaan di Indonesia sangat beragam, bahkan dalam satu provinsi sekalipun, seperti Sumatera Barat misalnya, yang secara sekilas memiliki satu kebudayaan, yakni kebudayaan Minangkabau. Perbedaan tersebut terutama dipengaruhi oleh letak desa dan yang pada akhirnya juga matapencaharian penduduknya. Tipologi desa berdasarkan matapencaharian penduduknya adalah desa persawahan, desa perkebunan, desa peternakan, desa nelayan, desa jasa dan perdagangan, desa industri, serta desa perladangan (Mubyarto, 1994).
Sebagian besar desa yang ada di Minangkabau merupakan desa persawahan dan desa perladangan. Desa persawahan terletak di hampir semua wilayah Minangkabau, terutama di Solok yang merupakan salah satu gudang beras di Sumatera, Agam, Tanahdatar, 50 Kota, Padang Pariaman, sebagian Pasaman, sebagian Pesisir Selatan, dan sebagian Sawahlunto Sijunjung. Desa perladangan, terutama terletak di daerah-daerah perbatasan dengan Provinsi, Riau, Jambi, dan Sumatera Utara, seperti Kabupaten Solok Selatan, Darmasraya, Pasaman Barat, sebagian Pasaman Timur, sebagian Sawahlunto Sijunjung, dan sebagian 50 Kota. Desa nelayan terletak di sepanjang pesisir pantai Sumatera Barat, yaitu di Kabupaten Pesisir Selatan, Padang, Padangpariaman, Agam (Kec. Tanjungmutiara), Pasaman Barat, dan desa-desa yang terletak di pinggir Danau Singkarak dan Danau Maninjau yang merupakan dua danau terbesar di Minangkabau.
Pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini adalah pendekatan formalis yang cenderung melihat gejala ekonomi dari tinjauan formal, yaitu dari pengertian yang relatif bagi disiplin ilmu ekonomi yang mendefinisikan ekonomi sebagai suatu tindakan memilih antara tujuan-tujuan yang tidak terbatas dengan sarana-sarana yang terbatas (Sairin, et al., 2002).
Secara konvensional ilmu ekonomi kemudian mengasumsikan bahwa tindakan manusia bersifat rasional dalam melakukan aktivitas ekonomi tersebut. Asumsi tersebut merupakan asumsi dasar yang diterima sebagai suatu kebenaran. Gejala ekonomi dalam ilmu ekonomi tidak dilihat dari segi substantifnya, yaitu dari segi proses pemberian makna sumber daya ekonomi.

1.4. Metodologi Penulisan
Metode penulisan yang digunakan terutama adalah studi kepustakaan. Data-data di peroleh dari berbagai buku dan tulisan yang mendukung penelitian ini. Data yang diperoleh kemudian dipergunakan untuk melihat sejauhmana hubungan saling ketergantungan antara petani dan pedagang perantara dalam meningkatkan taraf kehidupan mereka. Data yang telah diolah tersebut kemudian diinterpretasi untuk melihat sejauh mana pengaruh munculnya pedagang perantara terhadap pola kehidupan petani dan perubahan sistem pertanian yang terjadi.
Langkah terakhir yang dilakukan dalam metode penelitian ini adalah dengan menuangkannya ke dalam bentuk tulisan dengan tujuan supaya hasil penelitian ini dapat pula dimanfaatkan untuk memperkaya pengetahuan mengenai dinamika kehidupan petani dan masyarakat desa secara umum, khususnya di Minangkabau. Selanjutnya, tulisan ini semoga dapat pula memberikan sumbangan terhadap perkembangan ilmu sosial di Indonesia, khususnya studi mengenai antropologi ekonomi.

II. PENDEKATAN TEORETIS
2.1. Tukar-menukar dan Pasar
Sebagai suatu lembaga tersendiri, tukar-menukar memasuki seluruh bangunan sosial dan dapat dipandang sebagai tali pengikat masyarakat. Jasa dan kewajiban merupakan dua hal yang saling berkaitan satu sama lain sebagai pencerminan nilai-nilai sosial, baik dalam sistem kapitalis maupun komunisme yang menentukan tukar-menukar dalam sistem harga. Dalam kenyataannya perubahan-perubahan ekonomi, seperti perkembangan ekonomi, terdiri atas perubahan dalam sistem tukar-menukar. Pertumbuhan ekonomi biasanya berdasarkan perubahan-perubahan kelembagaan, di mana makin kompleks dan makin meningkatnya sistem tukar-menukar merupakan indeks yang paling penting (Belshaw, 1981).
Sistem tukar-menukar merupakan salah satu aspek dari hubungan-hubungan sosial yang teratur. Jumlah sistem tukar-menukar sama dengan jumlah tipe-tipe masyarakat, karena pada dasarnya kedua-duanya merupakan pasangan. Salah satu bentuk tukar-menukar yang banyak mendapat perhatian para ahli adalah mengenai sistem pemasaran. Terdapat banyak pengertian mengenai arti sistem pemasaran, salah satunya adalah yang dikemukakan oleh L.M. Fraser (1937), sebagaimana dikutip oleh Belshaw (1981), yaitu:
“Kita tidak perlu terlalu lama menggumuli perkataan “pasar”. Dalam ekonomi, perkataan ini tidaklah berarti suatu gedung atau tempat tertentu, tetapi suatu keadaan. Ada “pasar” komoditi (yaitu segolongan komoditi), bila terdapat sejumlah pembeli dan penjual serta bila harga per kesatuan yang ditawarkan dan dibayar oleh masing-masing pembeli dan penjual, ditentukan oleh semua pembeli dan penjual lainnya. Pasaran dapat dikatakan “sempurna”, bila setiap pembeli sungguh-sungguh mengetahui permintaan setiap penjual serta dapat bertindak sesuai dengan apa yang diketahuinya, dan bila setiap penjual sungguh-sungguh mengetahui tawaran setiap pembeli serta dapat bertindak sesuai dengan apa yang dikehendakinya ....
Pengertian golongan komoditi dan pasaran yang sempurna kedua-duanya adalah istilah yang abstrak dan “fungsional”. Hanya di dunia keuangan, konsep-konsep tersebut sedikit banyak dapat kita terapkan .... tetapi di luar dunia tersebut syarat-syarat yang dimaksud oleh teori persaingan murni tidak akan diketemukan dalam wujud yang murni.”
Pendekatan lain terhadap pemasaran ialah dengan cara melihatnya sebagai sistem yang menghasilkan pengaturan harga-harga dengan sendirinya. Meskipun pendekatan ini mempunyai nilai empiris yang lebih tinggi, namun hanya merupakan alat penggolongan secara kasar tanpa ketajaman analitis dari konsep pola bangunan pasaran. Sistem tukar-menukar melalui pengaturan diri sendiri terjadi melalui interaksi antara pembeli dan penjual, yang bertindak tanpa pandang bulu, yaitu tanpa memandang faktor-faktor seperti kekerabatan, prestise, status, perasaan, atau faktor lain di luar kedudukannya sebagai pembeli dan penjual.
Pengertian pasar sendiri menurut Belshaw (1981), adalah tempat yang mempunyai unsur-unsur sosial ekonomis, kebudayaan, politis, dan lain-lainnya, tempat pembeli dan penjual (atau penukar tipe lain) saling bertemu untuk mengadakan tukar-menukar. Tingkat penggunaan prinsip pasaran ini sangat berbeda-beda, tetapi dapat dikatakan bahwa jarang sekali prinsip pasaran tersebut sama sekali tidak ada. Sudah umum pula prinsip pasaran diketemukan dalam konteks kelembagaan yang sangat berbeda.
Pendekatan secara penggolongan dapat diganti dengan suatu pendekatan yang meneliti seberapa jauh dan dalam bentuk apa prinsip pasaran tersebut memang terdapat dalam keadaan serta sistem tukar-menukar tertentu. Akan tetapi, yang dinamakan prinsip pasaran tidak hanya satu, melainkan suatu kumpulan dari beberapa prinsip. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana ciri-ciri sistem tukar-menukar tersebut dipandang dari: (1) sifat interaksi antara penjual dan pembeli, apakah tanpa pandang bulu atau tidak; (2) sistematisasi dari nilai tukar, sehingga dapat dilihat, apa dan bagaimana nilai-nilai tersebut saling mempengaruhi; (3) berapa jauh pembelian serta penjualan barang-barang dan jasa tertentu sudah merupakan fungsi tersendiri; (4) rangkaian barang-barang dan jasa-jasa, yang diperjualbelikan secara konvensional; (5) berapa jauh transaksi masuk ke tahap produksi dari bahan mentah ke produksi atau jasa yang dapat dikonsumsi; (6) tingkat dan sifat persaingan jual-beli; dan (7) tingkat di mana jual-beli dapat dibeda-bedakan menurut alat tukar-menukar.

2.2. Komunitas Petani Sawah di Minangkabau
Menurut De Rooy dalam Hanani (2002), nagari atau desa, yang merupakan tempat komunitas petani sawah di Minangkabau terbentuk melalui empat tahap pemukiman. Pertama, secara sosiologis, sejarah kehidupan manusia berawal dari kehidupan yang sangat sederhana yang terlihat melalui cara mereka menginterpretasikan lingkungan dan alam sekitarnya. Menurut keyakinan orang Minangkabau, kehidupan nenek moyang mereka berawal dari puncak bukit atau lereng gunung dengan bentuk rumah yang masih sangat sederhana dengan matapencaharian berburu dan berladang berpindah-pindah. Pada masa ini hubungan interaksi belum begitu luas. Kehidupan berpindah-pindah yang mereka jalani belum mampu mewujudkan format kesukuan yang utuh. Model tempat tinggal mereka adalah kampung yang terdiri dari satu suku.
Kedua, pertumbuhan penduduk otomatis mempengaruhi jumlah suku dan jumlah tempat tinggal, sehingga bentuk kehidupan penduduk mulai berbeda dibandingkan tahap pertama. Secara sosiologis perbedaan itu disebabkan oleh struktur dan bentuk sosial masyarakat yang semula kecil berangsur-angsur menjadi sebuah kelompok sosial yang berkembang.
Dalam kehidupan tahap kedua sudah dikenal hidup bertetangga antarsuku atau keluarga. Sekalipun masih hidup di lereng-lereng bukit, mereka sudah mulai hidup menetap dan meninggalkan kehidupan nomaden. Pemukiman penduduk pada tahap kedua ini dinamakan taratak, yaitu kampung yang terdiri dari dua suku asal yang merupakan cikal bakal terbentuknya suatu struktur masyarakat awal dalam komunitas masyarakat Minangkabau.
Ketiga, masyarakat sudah mulai bercocok tanam di sawah sambil mengerjakan perladangan di kaki bukit. Mereka sudah memiliki inisiatif untuk membangun rumah permanen, bahkan mulai membangun “rumah gadang” bergonjong dua atau tiga sebagai tempat tinggal bersama anggota suatu keluarga besar. Perkampungan yang terbentuk pada tahap ketiga ini dinamakan dengan koto, yaitu kampung yang sudah terdiri dari tiga suku asal.
Pada tahap ketiga ini masyarakat sudah hidup bertetangga dengan lebih dari dua kampung. Mereka sudah mempunyai interaksi-komunikasi yang sangat luas dengan sistem sosial yang berbeda dari semula karena perkembangan penduduk atau suku jelas menghendaki adanya sistem yang baru.
Keempat, setelah perkampungan meluas dan struktur masyarakat juga sudah menunjukkan komunitas tertentu maka lahirlah tempat kehidupan yang baru yang bernama nagari, yaitu pemukiman permanen yang sekurang-kurangnya terdiri dari empat suku asal (Hanani, 2002).
Pada saat ini, sebagian besar desa yang ada di Minangkabau merupakan tipe desa persawahan, termasuk Nagari Selayo yang menjadi fokus lokasi tulisan ini. Berdasarkan mata-pencaharian sebagian besar penduduknya, Nagari Selayo yang secara administratif pemerintahan terdiri dari empat jorong, dapat digolongkan sebagai desa persawahan, karena sebagian besar penduduknya adalah petani sawah yang menggantungkan hidupnya dari hasil sawah. Petani yang ada di Nagari Selayo, otomatis juga dapat digolongkan sebagai petani sawah, walaupun dalam kehidupan sehari-hari mereka tidak hanya menggarap sawah. Seorang petani di Nagari Selayo, dalam kenyataan menggarap tiga macam tanah pertanian, yaitu (1) kebun kecil di sekitar rumahnya; (2) tanah pertanian kering yang digarap dengan menetap, tetapi tanpa irigasi, yang disebut dengan istilah “hutan tinggi” dan (3) tanah pertanian basah yang menggunakan irigasi, yang disebut dengan istilah “hutan rendah”.
Luas lahan pertanian di Nagari Selayo berdasarkan beberapa kategori seperti yang disebutkan di atas adalah sebagai berikut:
TABEL 1: PENGGUNAAN TANAH DI SELAYO
No Nama Jorong Sawah Ladang/kebun Pekarangan Kolam
1
2
3
4 Galanggang Tangah
Sawah Sudut
Batu Palano
Lurah Nan Tigo 138,4
230
149
273,88 12,7
140
192
135,73 67,19
23
26,5
33,85 2,5
7,5
1,5
0,25
S E L A Y O 791,28 470,43 150,54 11,75
Sumber: Kantor Wali Nagari Selayo Kecamatan Kubuang Kabupaten Solok.
Di tanah kebun kecil sekitar rumah atau yang biasa disebut pekarangan, petani menanam kelapa, buah-buahan, sayur-mayur, bumbu-bumbu, umbi-umbian dan akar-akaran seperti berbagai jenis ubi dan singkong yang diperlukan dalam kehidupan rumahtangganya sehari-hari. Di pekarangan sering pula ada kolam ikan yang selain tempat pemeliharaan berbagai jenis ikan, tidak jarang pula dipakai sebagai tempat buang air. Hasil pekarangan sebagian besar dipergunakan untuk konsumsi sendiri, walaupun tidak sedikit pula yang dijual di pasar desa atau pada pedagang yang menawarnya.
Di tanah pertanian kering, yang di Minangkabau biasanya disebut hutan tinggi, petani menanam serangkaian tanaman yang kebanyakan dijual di pasar atau kepada pedagang. Tanaman itu antara lain jagung, kacang kedelai, berbagai jenis kacang tanah, tembakau, singkong, umbi-umbian, termasuk juga padi yang dapat tumbuh secara irigasi. Walaupun tidak diirigasi, tanah kering biasanya digarap secara intensif, dan tanaman-tanamannya dipupuk dan disiram secara teratur.
Bercocok tanam di tanah basah atau yang biasa disebut “sawah” merupakan usaha tani yang paling pokok dan paling penting bagi para petani di Minangkabau sejak beberapa abad lamanya. Dengan teknik penggarapan tanah yang intensif dan dengan cara-cara pemupukan dan irigasi yang tradisional, para petani tersebut menanam tanaman tunggal, yaitu padi. Berbeda dengan cocok-tanam di ladang, maka cocok-tanam di sawah dapat dilakukan di suatu bidang tanah yang terbatas secara terus-menerus, tanpa menghabiskan zat-zat kesuburan yang terkandung di dalamnya.
Bercocok-tanam di sawah sangat tergantung kepada pengaturan air, yang dilakukan dengan suatu sistem irigasi yang kompleks. Agar sawah dapat digenagi air, maka permukaannya harus mendatar sempurna, dan dikelilingi oleh pematang yang tingginya 20 sampai 25 sentimeter. Itulah sebabnya membuat sawah di lereng gunung memerlukan pembentukan susunan bertangga yang memerlukan investasi tenaga kerja yang tinggi. Akan tetapi, di daerah dataran rendah pun bercocok-tanam di sawah memerlukan banyak tenaga kerja di semua tahap produksinya.
Rangkaian tahap-tahap produksi dalam hal bercocok-tanam di sawah secara tradisional dimulai pada akhir musim kemarau, yang menurut teori jatuh pada bulan Oktober atau November. Dalam kenyataannya, saat ini, petani yang ada di Nagari Selayo memulai bercocok tanam tidak tergantung musim, apalagi dalam musim yang ada di Nagari Selayo dan tempat-tempat lainnya di Minangkabau tidak menentu. Hampir sepanjang tahun selalu ada hujan, hanya intensitasnya yang berbeda dalam bulan-bulan tertentu. Seorang petani, saat ini biasanya akan segera mengolah kembali sawah mereka untuk ditanami kembali dengan padi, segera setelah selesai panen, sehingga dalam satu tahun mereka bisa panen sampai tiga kali.
Tiap lingkaran tahap-tahap pekerjaan bercocok-tanam biasanya dimulai dengan memperbaiki bagian-bagian dari sistem irigasi, misalnya pematang, saluran dan pembuluh-pembuluh (pipa-pipa) bambu, dan kadang-kadang juga bendungan yang merupakan sumber dari sistem irigasi bagi sekelompok sawah yang ada di Nagari Selayo. Pekerjaan ini adalah khusus pekerjaan laki-laki.
Langkah selanjutnya adalah membuka saluran-saluran air sehingga air dapat mengalir dari bagian sungai yang dibendung ke sawah-sawah hingga merata. Sawah digenangi air selama beberapa waktu, yaitu antara satu hingga dua minggu. Sementara itu sisa-sisa tanaman padi dan tumbuh-tumbuhan lain di sawah dibersihkan. Setelah itu tanah dicangkul atau dibajak dengan menggunakan sapi, kerbau, atau mesin bajak.
Pekerjaan menanam dilakukan oleh tenaga perempuan. Setelah tumbuh, para petani harus memelihara dan menjaga tanaman mereka dari tumbuh-tumbuhan liar dengan cara menyianginya. Pekerjaan ini biasanya juga dilakukan oleh perempuan. Setelah dianggap cukup masak, padi siap dipanen dengan menggunakan sabit. Pekerjaan ini dilakukan oleh laki-laki.
Salah satu cara untuk mengerahkan tenaga tambahan untuk pekerjaan bercocok-tanam secara tradisional dalam komunitas pedesaan adalah sistem bantu-membantu yang di Minangkabau dikenal dengan istilah “julo-julo”. Sistem ini biasanya hanya dilakukan untuk pekerjaan mencangkul (laki-laki), bertanam, dan menyiangi tanaman (perempuan). Untuk pekerjaan lain seperti panen, biasanya dilakukan dengan sistem upah dengan padi berdasarkan hasil panen yang diperoleh (10% dari hasil panen adalah untuk pekerja).
Dengan masuknya teknologi baru di bidang pertanian, menyebabkan adanya lapisan-lapisan masyarakat desa yang bertambah kaya dan berkuasa atas sumberdaya. Potensi ekonomi lapisan yang dimaksud tersebut meningkat dan ekonomi uang lebih cepat berkembang dan mmasuki desa, sehingga tidak mengherankan gejala komersialisasi juga masuk ke masyarakat desa.
Sistem julo-julo yang sebelumnya diterapkan dalam menggarap sawah mulai banyak ditinggalkan para petani di pedesaan, berganti dengan sistem upah sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Segera setelah panen, banyak beras yang diperjual belikan, suatu pertanda bahwa komersialisasi meluas ke desa. Sebelum tersentuh oleh modernisasi, padi setelah dipanen disimpan di rangkiang (lumbung) untuk kebutuhan selama setahun sampai panen berikutnya. Untuk biaya hidup sehari-hari, petani biasanya mendapatkannya dari menjual hasil ladang dan pekarangan, seperti pisang, kelapa, durian, mangga, rambutan, atau ikan yang didapatkan dari kolam. Petani yang memiliki sawah luas, ada juga yang menjual sebagian hasil panennya setelah diolah terlebih dahulu menjadi beras di pasar, tetapi sebagian tetap di simpan di lumbung untuk keperluan setahun.
Pada waktu panen, para petani banyak berhubungan dengan pedagang perantara yang datang ke sawah untuk membeli padi dari para petani. Saat ini, banyak petani, bahkan menjual semua padi hasil panen kepada pedagang yang datang membelinya langsung di sawah pada saat panen. Hal ini dilakukan oleh petani tersebut karena mereka tidak mau repot membawa padi tersebut pulang, kemudian menjemurnya sebelum digiling menjadi beras. Penyebab lainnya adalah karena mereka ingin segera memiliki uang untuk memenuhi berbagai keperluan hidup sehari-hari. Akibatnya, untuk makan sehari-hari, para petani tersebut kemudian membeli beras di warung atau di huller (tempat penggilingan padi).
Petani biasanya menjual padi mereka kepada pedagang yang sudah memesannya terlebih dahulu atau kepada pedagang yang datang pertama kali ke saeah waktu tersebut. Tak jarang, padi tersebut dijual kepada beberapa orang pedagang jika pedagang yang datang bersamaan lebih dari satu orang, atau karena jumlah padi yang terlalu banyak sehingga satu orang pedagang tidak sanggup membeli semua sekaligus. Akhir-akhir ini, karena semakin banyaknya jumlah pedagang perantara yang ingin membeli padi, terjadi persaingan di antara sesama mereka dalam mendapatkan padi, sehingga beberapa di antaranya, terutama yang memiliki modal besar, sudah memberikan pinjaman uang kepada petani untuk biaya pengolahan sawah atau untuk keperluan lainnya sewaktu belum panen. Hal ini mereka lakukan dengan tujuan untuk mengikat petani tersebut supaya hanya menjual hasil panennya kepada mereka saja.


2.3. Permasalahan Homogenitas Sosial dalam Komunitas Petani
Kehidupan kaum tani biasanya ditandai oleh perbedaan sosial. Hanya sedikit keluarga petani yang mungkin sepanjang tahun bisa menyediakan kebutuhan bagi mereka sendiri tanpa mengirim anggota keluarga bekerja ke tempat lain untuk mendapatkan gaji dan tanpa memasarkan hasil pertaniannya kecuali untuk memenuhi kebutuhan yang tidak dapat dihasilkan oleh usaha tani. Beberapa keluarga petani situasinya akan menjadi lebih baik dengan merekrut pekerja dan menjual sebagian besar dari hasil pertanian mereka. Kebanyakan keluarga petani situasinya akan menjadi sedikit lebih baik, dan mereka mungkin mengirim beberapa anggota keluarga keluar untuk bekerja secara teratur. Tentu saja, beberapa anggota keluarga boleh bekerja di luar sehingga frekuensi yang lebih sesuai dengan kaum proletar (Roseberry, 1989) .
Antropolog yang mempelajari masyarakat desa belum banyak yang dihadapkan pada kaum tani. Dari kesungguhan sejak awal mereka juga telah mempelajari daerah perkebunan dengan populasi desa yang proletar. Sebelum masalah menjadi lebih kompleks, analisis pembedaan adalah mudah ketika kita membandingkan komunitas kaum tani dengan komunitas kaum proletar. Akan tetapi, perbedaan ini menjadi lebih sulit ketika peneliti mencoba untuk mengerti populasi dari sejumlah kecil tuan tanah yang tanah pertanian mereka secara teratur juga terlibat dalam perekrutan tenaga kerja. Dalam beberapa kasus, campuran dari buruh tani dan yang tidak bekerja lagi distribusinya tidak samarata dalam rumahtangga, dengan satu anggota bekerja di tempat lain, sementara anggota yang lain bekerja sebagai tukang cuci atau membuat renda untuk dijual kepada pedagang. Dalam kasus yang demikian, seorang proletar kelihatannya tersembunyi dalam komunitas kaum tani.
Akibat pengaruh globalisasi, saat ini, sebagian besar kaum tani berusaha mengikuti pola gaya hidup global yang terutama berasal dari gaya hidup negara-negara maju. Gaya hidup dari luar ini di antaranya ada yang bersifat positif, seperti pendidikan, pemakaian benda-benda elektronik, telepon, kelengkapan isi rumahtangga, dan kebutuhan terhadap rekreasi. Untuk memenuhi gaya hidup yang demikian, petani butuh biaya yang lebih besar, oleh karena itu mereka harus meningkatkan pendapatan mereka. Bagi sebagian petani, terutama petani kaya, mereka mungkin dengan mudah dapat mengikutinya, tetapi bagi petani yang lahannya sempit, atau bahkan tidak punya lahan sama sekali, mereka harus berusaha mencari peluang-peluang alternatif pekerjaan lain di samping sebagai petani. Salah satu di antaranya adalah sebagai pedagang perantara.

III. GAMBARAN UMUM NAGARI SELAYO
Nagari Selayo merupakan salah satu dari delapan nagari yang terletak di Kecamatan Kubuang Kabupaten Solok Sumatera Barat. Secara adat Nagari Selayo merupakan bagian dari Kubuang Tigo Baleh yang merupakan daerah rantau dari Luhak Tanah Datar. Berdasarkan tipologinya Nagari Selayo tergolong sebagai desa persawahan, karena sebagian besar arealnya terdiri dari sawah sehingga sebagian besar warganya juga bermatapencaharian sebagai petani sawah.
Nagari Selayo adalah pusat Kecamatan Kubuang yang merupakan salah satu dari 19 kecamatan yang ada di Kabupaten Solok. Saat ini Nagari Selayo terdiri atas empat buah jorong yaitu, Galanggang Tangah, Sawahsudut, Batupalano, dan Lurah Nan Tigo. Jarak Selayo dengan pusat Kabupaten Solok di Kayuaro adalah 21 Km, dari Kota Solok 2 Km, dan dari Kota Padang, ibukota Provinsi Sumatera Barat, 57 Km. Posisi Nagari Selayo terletak pada jalur lalu lintas yang menghubungkan Kota Padang dan Kota Solok serta dengan kota-kota besar di luar Sumatera Barat, seperti Jambi, Palembang, Bengkulu, Bandar Lampung, dan seterusnya dengan kota-kota yang ada di Pulau Jawa. Nagari Selayo juga merupakan nagari yang terletak di daerah perbatasan antara Kabupaten Solok dan Kota Solok (dulu Kotamadya Solok).
Pada tahun 2000, Nagari Selayo mempunyai penduduk sebanyak 14.062 orang penduduk yang tinggal menyebar pada empat jorong, yaitu Galanggang Tangah (4.278), Sawahsudut (3.431), Batupalano (2.784), dan Lurah Nan Tigo (3.569). Dengan luas wilayah 14,24 Km2, kepadatan penduduk Nagari Selayo adalah 988 orang per Km2. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel berikut ini:





TABEL 2: JUMLAH PENDUDUK NAGARI SELAYO TAHUN 2000
No. Nama Jorong Luas (Km2) Penduduk Kepadatan
1
2
3
4 Galanggang Tangah
Sawah Sudut
Batu Palano
Lurah Nan Tigo 2,28
3,15
4,61
4,20 4.278
3.431
2.784
3.569 1.876
1.089
604
850
S E L A Y O 14,24 14.062 988
Sumber: Kantor Wali Nagari Selayo Kecamatan Kubuang Kabupaten Solok
Dari tabel di atas terlihat bahwa kepadatan penduduk Nagari Selayo tergolong tinggi, terutama untuk ukuran Sumatera Barat. Hal ini erat kaitannya dengan tingkat kesuburan tanah di Selayo yang relatif subur karena terletak di kaki Gunung Talang, suatu gunung berapi yang masih aktif. Faktor lainnya adalah topografi daerahnya yang relatif datar dan adanya bebarapa buah sungai yang airnya selalu mengalir sepanjang tahun sehingga daerah ini sangat baik untuk dijadikan daerah persawahan.
Sungai yang mengalir di Nagari Selayo yang terbesar adalah Sungai Batanglembang yang mengalir di bahagian timur Nagari Selayo. Sungai ini berhulu di Danau Dibawah dan bermuara di Danau Singkarak. Air sungai ini hampir tiap tahun menyebabkan terjadinya banjir di Nagari Selayo, bahkan kadang-kadang dalam setahun terjadi beberapa kali banjir. Walaupun banyak menimbulkan kerugian, namun banjir ini juga menyebabkan keadaan tanah di Nagari Selayo menjadi sangat subur, karena lumpur berupa humus yang berasal dari daerah hulu. Setelah air surut, humus tersebut biasanya tetap tinggal di Selayo. Sampai sejauh ini belum pernah terdengar adanya korban jiwa akibat banjir yang terjadi di Selayo.
Sungai lainnya yang berukuran lebih kecil, tetapi mempunyai peran yang sangat penting untuk irigasi adalah Sungai Batanggawan yang mengalir di bagian barat Nagari Selayo. Sungai ini berhulu di bukit-bukit yang terletak di sebelah barat Nagari Selayo dan setelah sampai di Kota Solok kemudian bergabung dengan Sungai Batanglembang. Di samping untuk irigasi sungai ini juga digunakan oleh penduduk untuk mandi, mencuci, dan lahan mencari nafkah dengan menambang pasir dan kerikil dari sungai tersebut.
Akibat keberadaan kedua sungai tersebut, persediaan air untuk keperluan pengairan sawah-sawah yang ada di Nagari Selayo selalu terpenuhi, sehingga petani bisa memulai bercocok tanam kapan saja mereka mau tanpa harus tergantung musim. Selama ini kedua sungai tersebut belum pernah kering, walaupun pada musim kemarau sekalipun. Berkat keberadaan kedua sungai ini dan ditambah dengan topografi wilayahnya yang memiliki dataran yang relatif luas, memungkinkan adanya areal persawahan yang relatif luas di Nagari Selayo, sehingga daerah ini pun dikenal sebagai salah satu penghasil beras utama di Sumatera Barat.
Penanaman padi yang tidak serentak menyebabkan masa panen yang juga tidak serentak di Selayo. Hal ini menyebabkan tidak dikenalnya musim bertanam, musim bersiang, atau musim menyabit (panen) di kalangan petani Selayo. Hal ini terjadi karena proses-proses pekerjaan tersebut dapat berlangsung sepanjang tahun di sawah-sawah yang berbeda. Akibat dari ketidakserentakan ini juga berdampak pada pedagang perantara, tauke, dan pengusaha huller yang bisa mendapatkan padi sepanjang tahun tanpa dipengaruhi oleh musim, karena hampir setiap hari selalu ada petani yang memanen padinya.

IV. BENTUK-BENTUK HUBUNGAN SALING KETERGANTUNGAN ANTARA PETANI DAN PEDAGANG PERANTARA DI NAGARI SELAYO
Berdasarkan luas lahan yang dimiliki dan pekerjaan yang dilakukan, petani-petani yang ada di Selayo dapat dibagi atas beberapa golongan, yaitu (1) Petani pemilik atau yang biasa disebut sebagai petani kaya, yaitu petani yang menguasai lahan-lahan luas dalam nagari, baik sawah maupun ladang. Mereka adalah keturunan dari pembuka nagari dan karena itu mereka disebut Lantak Nagari; (2) Petani penggarap, yaitu petani yang menggarap sendiri sawah yang mereka miliki, atau menggarap sawah orang lain dengan sistem bagi hasil dari keuntungan yang diperoleh setelah panen; (3) Buruh tani, yaitu petani yang bekerja di sawah orang lain dengan sistem upah harian atau borongan. Biasanya buruh tani ini adalah para pendatang dari nagari-nagari lain di Kabupaten Solok yang topografis daerahnya tidak menguntungkan untuk bertani, seperti nagari-nagari yang berada di sekitar Danau Singkarak. Dalam masyarakat Selayo hampir tidak dijumpai adanya kaum proletar karena masyarakatnya tidak mengenal sistem tuan tanah. Hampir semua petani memiliki lahan pertanian, hanya luasnya yang berbeda-beda.
Di samping ketiga golongan tersebut, ada pula petani yang merangkap sebagai pedagang pengumpul hasil pertanian. Mereka di sebut “petani pedagang”, yang terutama berasal dari kalangan buruh tani atau petani penggarap untuk menambah penghasilan mereka. Istilah lain untuk kelompok pedagang ini adalah “pedagang perantara”, karena mereka membeli hasil pertanian langsung kepada petani dalam bentuk padi yang kemudian setelah diolah menjadi beras kemudian mereka jual lagi kepada pedagang penyalur atau dalam istilah setempat dikenal dengan sebutan tauke, yang akan membawa beras tersebut ke daerah lain. Pedagang perantara yang usahanya maju dapat berkembang menjadi tauke.
Untuk menjamin kelangsungan stok barang dagangan, tak jarang pedagang perantara memberikan bantuan kepada petani untuk membeli pupuk, upah pekerja, atau untuk kebutuhan hidup sehari-hari petani yang bersangkutan. Bagi petani yang berhutang tersebut, konsekuensinya dia hanya dibolehkan menjual hasil pertanian miliknya kepada pedagang yang meminjaminya uang. Hasil pertaniannya dihargai sesuai dengan harga pasaran sewaktu dia meminjam uang, dan bila masih bersisa, hasil pertanian tersebut dihargai sesuai dengan harga waktu terjadinya transaksi. Untuk mendapatkan modal dalam berdagang, pedagang perantara ini sebagian besar mendapatkannya dari tauke atas dasar saling percaya. Konsekuensinya mereka harus menjual beras kepada tauke yang memberikan mereka pinjaman uang.
Petani lebih suka meminjam uang kepada pedagang daripada bank atau rentenir, karena pedagang tidak memberi bunga pada uang yang mereka pinjamkan. Yang harus dibayar petani adalah sesuai dengan jumlah yang dipinjamnya dalam bentuk hasil pertanian. Pedagang sendiri, dengan jalan meminjamkan uang kepada petani, mendapatkan keuntungan pula karena dapat menjamin kelangsungan stok barang dagangan mereka.


V. DAMPAK HUBUNGAN ANTARA PETANI DAN PEDAGANG PERANTARA
Hubungan yang tercipta antara dua komponen, yaitu petani dan pedagang perantara tersebut dapat kita sebut sebagai hubungan yang saling menguntungkan dan antara satu dan yang lainnya terdapat saling ketergantungan. Tanpa adanya pedagang perantara ini, petani, terutama petani miskin, akan mengalami kesukaran dalam mengembangkan usaha pertaniannya. Sebaliknya, pedagang tanpa adanya petani yang menjadi “klien”nya, akan kesulitan untuk mendapatkan barang hasil pertanian.
Dalam kehidupan sehari-hari antara pedagang dan petani yang menjadi kliennya itu, terjalin suatu hubungan kekeluargaan yang sangat erat, bahkan sebagian di antaranya sudah seperti saudara kandung. Hubungan yang terjalin antara mereka lebih bersifat horizontal. Masing-masing saling menghormati satu sama lain, karena mereka punya kesadaran bahwa mereka sama-sama saling membutuhkan.
Petani yang dalam setiap panennya mempunyai pembeli tetap, yaitu seorang pedagang perantara, mempunyai banyak keuntungan dibandingkan petani yang tidak punya pembeli tetap dan menjual hasil panennya kepada pedagang mana saja yang mau membelinya. Petani yang punya pembeli tetap tersebut, sewaktu-waktu mereka bisa meminjam uang kepada pedagang tersebut tanpa bunga. Uang yang mereka pinjam tersebut biasanya untuk keperluan rutin seperti biaya sekolah anak, bayar listrik, telpon, air, atau untuk biaya membeli pupuk, racun, dan insektisida yang digunakan untuk pertanian mereka, atau ada juga untuk makan sehari-hari. Pola hubungan yang tercipta menyebabkan petani tidak perlu lagi pusing memikirkan uang, walaupun panen masih lama.
Bagi pedagang sendiri, dengan melakukan pola hubungan “patron-klien” ini, mereka juga sangat diuntungkan. Dengan terjaminnya stok beras atau hasil pertanian lainnya yang akan mereka dapatkan dari petani, kepercayaan tauke kepada mereka menjadi lebih besar, sedangkan bagi tauke yang memasarkannya langsung ke luar daerah, usaha mereka menjadi lebih lancar, karena dengan terjaminnya ketersediaan barang, mereka bisa mendapatkan banyak pelanggan di daerah lain, seperti pengusaha-pengusaha Rumah Makan Padang yang banyak terdapat di luar Minangkabau.
Dampak lainnya akibat hubungan saling kertegantungan antara petani dan pedagang perantara ini adalah semakin jarangnya petani yang mengolah sendiri padi mereka menjadi beras akhir-akhir ini. Mereka lebih senang menjual langsung semua padi hasil panen, dan untuk makan sehari-hari mereka lebih senang membeli beras di warung atau di pasar. Petani menganggap hal ini lebih praktis dan menguntungkan, karena mereka tidak perlu repot-repot menjemur padi, yang kadang-kadang jumlahnya tak seberapa, selama berhari-hari sampai kering. Pekerjaan lain seperti menggarap sawah pascapanen dianggap lebih menguntungkan daripada mengolah padi menjadi beras. Di samping itu pemilik penggilingan padi (huller atau dalam bahasa setempat disebut heller) juga kurang suka melayani petani yang menggiling padi dalam jumlah sedikit tersebut.
Bagi pedagang perantara, pekerjaan mengolah padi menjadi beras tidaklah terlalu merepotkan, karena mereka mengolahnya dalam jumlah banyak sekaligus dan tak jarang mereka biasanya juga dibantu oleh buruh jemur yang ada di heller tempat menggiling padi. Jadi salah satu dampak lain yang muncul akibat hubungan antara petani dan pedagang perantara ini adalah munculnya kelompok buruh jemur di Nagari Selayo.

VI. KESIMPULAN
Dinamika kehidupan petani sawah di Minangkabau, khususnya di Nagari Selayo, saat ini sangat dipengaruhi oleh globalisasi yang memasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat desa. Saat ini tidak lagi terlihat dengan sangat jelas perbedaan antara petani dan yang bukan petani dalam hal penampilan, sikap, tingkahlaku, dan pola makan sehari-hari. Petani saat ini juga sudah banyak yang mengecap pendidikan tinggi. Bukanlah suatu hal yang mengherankan jika banyak di antara putra-putri petani tersebut yang menuntut ilmu di berbagai perguruan tinggi. Dalam hal akses dengan dunia luar petani di Selayo juga sudah tidak terlalu ketinggalan. Banyak di antara petani tersebut yang punya televisi, parabola, telepon, ponsel, dan banyak pula di antara mereka yang setiap hari membaca suratkabar, baik dengan cara berlangganan maupun dengan cara menumpang baca di warung atau rumah tetangga. Gambaran umum bahwa petani adalah kelompok masyarakat yang berpendidikan rendah, dengan tingkat kesehatan yang rendah, dan kesadaran terhadap kebersihan yang juga rendah, menurut penulis tidaklah terlalu tepat.
Pedagang perantara di Nagari Selayo muncul akibat tingkat kebutuhan ekonomi yang semakin tinggi. Pada mulanya pekerjaan sebagai pedagang perantara merupakan pekerjaan alternatif bagi sebagian petani, terutama yang memiliki lahan sempit, untuk menambah penghasilan mereka dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup yang semakin hari semakin meningkat. Usaha ini ternyata sangat menguntungkan, sehingga kemudian banyak petani lainnya yang beralih profesi sebagai pedagang perantara. Bagi yang tidak memiliki modal besar, mereka bisa mendapatkannya dari tauke atau pedagang penyalur atas dasar saling percaya. Petani sendiri pun merasakan manfaat keberadaan pedagang perantara ini, karena mereka bisa meminjam uang kapan pun tanpa ada bunga kepada pedagang perantara tersebut. Pembayarannya biasanya dilakukan pada saat panen yang sekaligus juga menjual sisa hasil panen tersebut, bila masih ada, setelah dipotong hutang.
Bagi pedagang perantara, meminjamkan uang kepada petani dan baru dibayar setelah panen, tidaklah merugikan mereka. Mereka justru diuntungkan, karena dengan demikian mereka sudah mendapat jaminan akan mendapat padi dari petani tersebut setelah panen tanpa perlu berkeliling di sawah mencari padi yang hendak dijual oleh petani yang sedang panen.
Pengaruh yang timbul akibat hubungan saling ketergantungan antara petani dan pedagang perantara ini di antaranya adalah saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Perekonomian mereka meningkat menjadi lebih baik, tetapi di sisi lain juga menimbulkan budaya konsumtif di kalangan petani, karena mereka dapat meminjam uang dengan mudahnya tanpa ada bunga. Dampak lainnya yang muncul adalah timbulnya kelompok “buruh jemur” di heller-heller yang ada di Nagari Selayo karena sebagian besar petani saat ini langsung menjual semua padinya kepada pedagang perantara sehingga mereka tidak perlu lagi menjemurnya sendiri.

















DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, Harsja W. “Negeri Taram: Masyarakat Desa Minangkabau”, dalam Koentjaraningrat (ed.). 1984. Masyarakat Desa di Indonesia. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Belshaw, Cyril S. 1981. Tukar-Menukar Tradisional dan Pasar Modern. Penerbit PT Gramedia. Jakarta.
Bintarto, R. 1989. Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Idris, Soewardi. 1992. Selayo Kec Kubung, Kab. Solok. Ikatan Keluarga Selayo, Jakarta.
Junus, Umar. 2002. “Kebudayaan Minangkabau”, dalam Koentjaraningrat (ed.). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan. Jakarta.
Koentjaraningrat (ed.). 1984. Masalah-masalah Pembangunan Bunga Rampai Antropologi Terapan. LP3ES. Jakarta.
____________¬_ (ed.). 1984. Masyarakat Desa di Indonesia. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Marzali, Amri. !997. “Konsep Peisan dan Kajian Masyarakat Pedesaan di Indonesia” dalam Jurnal Antropologi No. 54.
Mubyarto, et al., 1994, Keswadayaan Masyarakat Desa Tertinggal, Aditya Media, Yogyakarta.
Mutakin, Awan & R. Gurniawan Kamil Pasya. 2003. Dinamika Masyarakat Pedesaan. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Naim, Mochtar. 1984. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Roseberry, William. 1989. “Peasants and the World” dalam Stuart Plattner (ed.). Economic Anthropology. Stanford University Press. Stanford, California
Sairin, Sjafri, Pujo Semedi, & Bambang Hudayana. 2002. Pengantar Antropologi Ekonomi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Sajogyo (ed.). 1982. Bunga Rampai Perekonomian Desa. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Scott, James C. 1994. Moral Ekonomi Petani Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. LP3ES. Jakarta.
Weiner, Myron. 1980. Modernisasi Dinamika Pertumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

1 komentar:

  1. PELUANG LAIN LAGI, APAKAH ANDA USAHA MAN / WANITA, A PEKERJA DI ORGANISASI, Wiraswasta? Membutuhkan pinjaman pribadi untuk bisnis tanpa stres, Jika demikian, hubungi kami hari ini, kami menawarkan pinjaman tahun baru pada tingkat bunga rendah dari 2%, Anda dapat memulai tahun baru dengan senyum di wajah Anda, keselamatan, kebahagiaan kami pelanggan adalah kekuatan kita. Jika Anda tertarik, mengisi formulir aplikasi pinjaman di bawah ini:
    Informasi Peminjam:

    Nama lengkap: _______________
    Negara: __________________
    Sex: ______________________
    Umur: ______________________
    Jumlah Pinjaman Dibutuhkan: _______
    Durasi Pinjaman: ____________
    Tujuan pinjaman: _____________
    Nomor ponsel: ________

    Untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi kami sekarang melalui email: gloryloanfirm@gmail.com

    BalasHapus