Rabu, 16 September 2009

SISTEM KEKERABATAN MATRILINEAL DI MINANGKABAU: TANGGAPAN TERHADAP TEORI EVOLUSI KELUARGA BACHOFEN

SISTEM KEKERABATAN MATRILINEAL DI MINANGKABAU:
TANGGAPAN TERHADAP TEORI EVOLUSI KELUARGA BACHOFEN
Oleh: Witrianto

I. Pendahuluan
Orang Minangkabau merupakan satu di antara kelompok etnis utama bangsa Indonesia yang menempati bagian tengah Pulau Sumatera sebelah barat sebagai kampung halamannya, yang sebahagian besarnya sekarang merupakan Propinsi Sumatera Barat. Sekalipun secara statistik orang Minangkabau hanya berjumlah 3% dari seluruh penduduk Indonesia, mereka adalah kelompok etnis utama yang ke-empat sesudah orang Jawa, Sunda, dan Madura; sedangkan di Pulau Sumatera sendiri mereka merupakan kelompok etnis yang terbesar (Mochtar Naim: 1984, 14).
Nama Minangkabau konon berasal dari peristiwa “adu kerbau” dengan orang-orang dari Kerajaan Majapahit yang akhirnya dimenangkan oleh orang “Minangkabau”. Hal ini tentu saja hanya merupakan legenda yang sulit untuk dibuktikan kebenarannya. Purbatjaraka mengatakan berasal dari Minanga Kabawa, yang artinya pertemuan dua muara sungai, yaitu Sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri. H.N. van der Tuuk menyatakan berasal dari Pinang Khabu yang artinya “tanah asal”. Selanjutnya Sutan Muhammad Zain berpendirian kata itu berasal dari Binanga Kanvar, artinya “Muara Kampar”. Muhammad Hussein Nainar, Guru besar dari Universitas Madras, menyatakan berasal dari Menon Khabu yang berarti “tanah pangkal”, “tanah mulia”, atau “tanah permai” (M. Rasyid Manggis Dt. Radjo Penghulu, 1982).
Masyarakat Minangkabau dengan kekhasan budayanya telah banyak menarik perhatian peneliti dari dalam dan luar Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari bibliografi mengenai Minangkabau yang disusun oleh Joustra (1924, 1936), Kennedy (1945), Naim (1973), dan sumber kepustakaan lain. Publikasi itu ada yang mengenai antropologi fisik, struktur masyarakatnya yang matrilineal, kedudukan istimewa dari Islam dan ajaran yang bersifat patriarkat dalam suatu masyarakat yang matrilineal, mengenai bahasanya yang indah, munculnya kesusasteraan kontemporer dengan tema-tema yang menyangkut adat Minangkabau, budaya merantau dan lain sebagainya.
Orang Minangkabau menamai negerinya “Alam Minangkabau”. Mereka memahamkannya jauh lebih luas daripada batas-batas Sumatera Barat dewasa ini, oleh karena mereka juga memasukkan berbagai rantau dari sungai-sungai besar di sebelah timur, yakni Rokan, Tapung, Siak, Kampar, Kuantan atau Indragiri, dan Batanghari. Rantau Minangkabau ini juga merupakan bagian Kerajaan Minangkabau di zaman dahulu (Mochtar Naim: 1984, 16). Alam Minangkabau adalah suatu konsep yang mempunyai beberapa pengertian. Di samping mengandung pengertian geografis, konsep Alam Minangkabau juga mengandung pengertian politis (Gusti Asnan: 1995/1996, 62).
Orang Minangkabau menarik garis keturunan menurut garis ibu (matrilineal). Seseorang yang lahir dalam suatu keluarga akan masuk dalam kelompok kerabat ibunya, bukan kelompok kerabat ayahnya. Bagi seorang anak, kaum kerabat dari pihak ayahnya disebut bako. Seorang ayah berada di luar kelompok kerabat istri dan anak-anaknya. Menurut adat seorang perempuan tidak meninggalkan rumah keluarganya setelah menikah. Sementara seorang laki-laki bila menikah tidak tinggal di rumah istrinya, melainkan tetap tinggal dalam rumah keluarganya. Pada masa lalu suami mengunjungi istrinya pada malam hari saja dan ia diharapkan menggarap sawah milik istrinya. Pola menetap sesudah nikah seperti di atas dalam ilmu antropologi lazim disebut duolokal.
Dalam sistem keturunan matrilineal ini, seorang ayah dipandang dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga, yang tujuannya terutama untuk memberi keturunan. Dia disebut sumando atau urang sumando. Tempatnya yang sah adalah dalam garis keturunan ibunya tempat dia berfungsi sebagai anggota keluarga laki-laki dalam garis keturunan itu. Secara tradisi, tanggung-jawabnya setidak-tidaknya berada di situ. Dia adalah wali dari garis keturunannya dan pelindung atas harta benda garis keturunan itu sekalipun dia harus menahan dirinya dari menikmati hasil tanah kaumnya oleh karena dia tidak dapat menuntut bagian apa-apa untuk dirinya. Dia tidak pula diberi tempat di rumah orang tuanya (garis ibu) oleh karena semua bilik (kamar di rumah gadang) hanya diperuntukkan bagi anggota yang perempuan, yakni untuk menerima suami-suami mereka di malam hari.

II. Teori Evolusi Keluarga
Teori evolusi yang berkaitan dengan keluarga, pertama kali dikemukakan oleh J.J. Bachofen dalam bukunya Das Mutterecht (1861), yang berarti hukum ibu dengan bahan bukti yang tidak hanya diambilnya dari masyarakat Romawi Klasik dan Yunani Kuno, tetapi juga bahan etnografi dari masyarakat bangsa-bangsa di asia, Afrika, dan suku-suku bangsa Indian di Amerika (Koentjaraningrat: 1987, 38).
Menurut Bachofen, di seluruh dunia keluarga manusia berkembang melalui empat tingkat evolusi. Dalam zaman yang telah jauh dalam kehidupan masyarakat manusia ada keadaan promiskuitas, manusia hidup serupa sekawan binatang berkelompok, dan laki-laki serta wanita berhubungan dengan bebas dan melahirkan keturunannya tanpa ikatan. Kelompok keluarga inti sebagai inti masyarakat belum ada pada waktu itu. Keadaan ini dianggap merupakan tingkat pertama dalam proses perkembangan masyarakat manusia. Lambat laun manusia sadar akan hubungan antara si ibu dengan anak-anaknya sebagai suatu kelompok keluarga inti dalam masyarakat karena anak-anak hanya mengenal ibunya, dan tidak mengenal ayahnya. Dalam kelompok-kelompok keluarga inti serupa itu, ibulah yang menjadi kepala keluarga. Perkawinan antara ibu dengan anak laki-laki dihindari dan dengan demikian timbullah adat eksogami. Kelompok-kelompok keluarga ibu tadi menjadi luas karena garis keturunannya untuk selanjutnya diperhitungkan menurut garis ibu, maka timbul suatu keadaan masyarakat yang oleh para sarjana waktu itu disebut matriarchate. Ini adalah tingkat kedua dalam proses perkembangan masyarakat manusia. Tingkat selanjutnya terjadi karena para pria tak puas dengan keadaan ini, lalu mengambil calon-calon istri mereka dari kelompok-kelompok lain dan membawa gadis-gadis itu ke kelompok-kelompok mereka sendiri. Dengan demikian keturunan yang dilahirkan juga tetap dalam keturunan pria. Kejadian ini menyebabkan timbulnya secara lambat-laun kelompok-kelompok keluarga dengan ayah sebagai kepalanya dan dengan meluasnya kelompok-kelompok serupa itu timbullah keadaan patriarchate. Ini adalah tingkat ketiga dalam proses perkembangan masyarakat manusia. Tingkat terakhir terjadi waktu perkawinan di luar kelompok, yaitu eksogami, berubah menjadi endogami karena berbagai sebab. Endogami atau perkawinan di dalam batas-batas kelompok menyebabkan anak-anak sekarang senantiasa berhubungan langsung dengan anggota keluarga ayah maupun ibu. Dengan demikian patriarchate lambat laun hilang, dan berubah menjadi suatu susunan kekerabatan yang oleh Bachofen disebut susunan parental.
Ahli antropologi lainnya yang mengemukakan tentang teori evolusi keluarga adalah J. Lublock dan G.A. Wilken yang menyatakan bahwa manusia pada mulanya hidup berkelompok, hidup bersama, dan melahirkan keturunan tanpa ikatan. Kelompok keluarga batih (Nuclear family) yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak seperti sekarang belum ada.
Lambat-laun manusia sadar akan hubungan antara “ibu dan anak-anaknya” sebagai suatu kelompok keluarga, karena anak-anak hanya mengenal ibunya, dan tidak tahu siapa dan di mana ayahnya. Dalam kelompok keluarga batih “ibu dan anak-anaknya” ini, si ibulah yang menjadi Kepala Keluarga.
Dalam kelompok ini mulai berlaku aturan bahwa persenggamaan antara ibu dan anak lelakinya dihindari dan dipantangkan (tabu). Inilah asal mula perkawinan di luar batas kelompok sendiri yang sekarang disebut dengan istilah “adat eksogami”. Artinya perkawinan hanya boleh dilakukan dengan pihak luar, dan sebaliknya perkawinan dalam kelompok serumpun tidak diperkenankan sepanjang adat.
Kelompok keluarga itu tadi makin lama makin bertambah banyak anggotanya karena garis keturunan selalu diperhitungkan menurut”Garis Ibu”, dengan demikian terbentuk suatu masyarakat yang oleh para sarjana seperti Wilken disebut masyarakat “matriarchat”. Istilah matriarchat yang berarti ibu yang berkuasa ini, sekarang sudah ditinggalkan. Para ahli se\udah menyadari bahwa sistem “ibu yang berkuasa” itu tidak ada. Yang ada ialah keluarga yang menganut prinsip silsilah keturunan yang diperhitungkan menurut garis ibu atau dalam bahasa asing disebut garis “matrilineal”.
Dalam sistem kekerabatan matrilineal terdapat tiga unsur yang paling dominan, yaitu; (i) garis keturunan menurut garis ibu, (ii) perkawinan harus dengan kelompok lain, di luar kelompok sendiri yang sekarang dikenal dengan istilah “eksogami matrilineal”, dan (iii) ibu memegang peranan yang sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan, dan kesejahteraan keluarga.

III. Sistem Kekerabatan Minangkabau
Sistem kekerabatan yang berlaku di Minangkabau, termasuk dalam sistem kekerabatan yang bersifat ”unilineal” atau “unilateral” yaitu suatu sistem yang dalam menghitung garis keturunan hanya mengakui satu pihak orang tua saja sebagai penghubung keturunan. Dalam hal ini di Minangkabau hanya memakai ibu, karena itu disebut dengan sistem “matrilineal” atau garis keturunan ibu, atau sako-indu (Amir M.S.: 1997, 43).
Penelusuran nenek moyang serta ketentuan hubungan keluarga dalam sistem matrilineal (atau unilineal) agak mudah dan penempatan keluarga inti dalam struktur hubungan kekerabatan yang lebih luas menjadi lebih sederhana. Menurut Prof. Dr. T.O. Ihromi, S.H., M.A. dalam buku Pokok-pokok Antropologi Budaya, hubungan-hubungan yang terjadi dalam sistem kekerabatan matrilineal ini adalah:
1. Yang termasuk dalam keluarga seseorang adalah; ibu, saudara kandung, saudara seibu, anak dari saudara perempuan ibu, saudara kandung ibu, saudara seibu dengan ibu, ibu dari ibu beserta saudara-saudaranya dan anak dari saudaranya yang perempuan, anak-anak dari saudara perempuannya, dan anak dari saudara sepupu atau saudara seneneknya yang perempuan.
2. Ia sama sekali tidak punya hubungan kekerabatan dengan anak saudara laki-lakinya, anak dari saudara laki-laki ibunya, saudaranya yang seayah, bahkan juga dengan ayah kandungnya sendiri.
Dalam suatu keluarga, tanggung jawab lebih banyak berada di tangan ninik-mamak (saudara laki-laki ibu atau saudara laki-laki dari ibunya ibu). Ninik-mamak wajib mengurusi kemenakannya dan mengawasi segala sesuatu yang berhubungan dengan harta pusaka dan warisan. Hal yang sama juga menjadi peranan seorang suami di dalam keluarganya sendiri, yaitu mengawasi saudara perempuan dan kemenakan-kemenakannya. Namun pada masa sekarang, peranan ninik-mamak semakin kecil karena ia cenderung untuk mengurusi istri dan anak-anaknya sendiri dan seorang suami pun lebih banyak berperan dalam rumahtangganya. Perubahan ini terutama terlihat pada keluarga Minangkabau di perantauan.
Apabila laki-laki memiliki istri lebih dari satu (poligini) ia harus adil membagi waktu di antara istri-istrinya. Kalau terjadi perceraian, anak-anak hasil perkawinan tetap tinggal bersama ibunya. Seorang laki-laki yang mengawini seorang perempuan dari satu paruik disebut urang sumando, sedangkan keluarga si perempuan disebut pasumandan.
Sesudah nikah, yang sudah melalui suatu rangkaian upacara, sang istri tidak meninggalkan rumah kaum kerabatnya, demikian pula sang suami tetap tinggal di rumah keluarganya sendiri, kecuali dalam keadaan yang luar biasa, misalnya si suami tidak mempunyai rumah di desa itu atau keduanya mau tinggal di tempat lain. Dalam keadaan yang biasa, sang suami hanya bertemu dengan istrinya sesudah senja, atau bertemu di ladang pada siang hari, karena sang istri mengantarkan makanan pada sang suami yang bekerja di tanah milik sang istri.
Keluarga batih tadi yang kemudian mempunyai anak, sesungguhnya tidak banyak kesempatan untuk berkumpul. Sang suami hanya dianggap sebagai tamu tetap dalam keluarga itu, yaitu sebagai sumando. Keluarga batih menjadi kabur dalam sistem kekeluargaan Minangkabau di masa lalu. Masalah-masalah yang timbul dalam keluarga ditangani oleh saudara laki-laki sang istri yang dianggap sebagai majikan rumah dan itulah yang disebut mamak bagi anak-anaknya. Kelompok kerabat keluarga luas matrilokal itu disebut kaum yang berdiam dalam sebuah rumah gadang. Satu kaum dilihat dari seorang anak sebagai ego, terdiri dari saudara laki-laki dan saudara perempuannya, ibunya, saudara ibunya serta keturunan dari saudara perempuan ibunya, neneknya, serta saudara sekandung neneknya yang masih hidup beserta keturunannya. Kalau ada anggota satu kaum yang memisahkan diri mereka mendirikan rumah gadang sendiri dan memiliki sebidang tanah serta tanah pusaka. Pimpinan dari kaum yang mengatur harta kekayaan keturunannya adalah Mamak Kepala Waris.
Suatu hal yang perlu dijernihkan ialah bahwa masyarakat Minangkabau bukan masyarakat “matriarkat”, artinya bukan masyarakat yang dikuasai oleh kaum wanita. Dalam kenyataannya Kerapatan Nagari, lembaga yang menjalankan peranan utama dalam pertukaran pikiran untuk membuat keputusan yang mengikat seluruh masyarakat nagari dilakukan oleh kaum pria. Sebaliknya, orang Minangkabau pada dasarnya memang merupakan masyarakat yang matrilineal, yang menarik garis keturunan dari pihak ibu. Selain daripada itu, mereka juga mengamalkan adat matrilokal, artinya sesudah menikah menetap di lingkungan kerabat istri atau yang berpusat di rumah gadang pihak istri. Adat sesudah nikah menurut adat Minangkabau ini lebih tepat lagi disebut duolokal. Namun sekarang pasangan-pasangan yang baru menikah banyak yang memilih tempat lain di luar lingkungan kerabatnya (neolokal). Mereka menetap di rumah sendiri, atau rumah sewa, sehingga terwujud suatu keluarga batih yang menyebabkan anak-anak mereka dapat melakukan hubungan erat dengan ibu dan ayahnya (Bachtiar: 1984, 17).

IV. Hubungan dalam Lingkungan Suku
Suku atau matriclan, merupakan unit utama dari struktur sosial Minangkabau, dan seseorang tidak dapat dipandang sebagai orang Minangkabau kalau dia tidak mempunyai suku. Suku sifatnya eksogamis, kecuali bila tidak dapat lagi ditelusuri hubungan keluarga antara dua buah suku yang senama, tetapi terdapat di kampung yang berlainan. Oleh karena orang dari suku yang sama biasanya menempati lokasi yang sama, suku bisa berarti geneologis maupun teritorial, sedangkan kampung tanpa dikaitkan ke dalam salah satu suku tertentu hanyalah mengandung arti territorial semata-mata (Mochtar Naim: 1984, 18).
Pada mulanya terdapat empat suku pokok di Minangkabau, berpasang-pasangan menjadi dua kelarasan (moety): Suku Koto dan Suku Piliang termasuk Kelarasan Koto-Piliang, sedangkan Suku Bodi dan Suku Caniago termasuk Kelarasan Bodi Caniago. Dewasa ini empat suku asal ini , menurut L.C. Westenenk, telah bercabang-cabang menjadi kira-kira 96 suku yang berbeda-beda yang tersebar di seluruh nagari di Minangkabau (Ibid.). Unsur-unsur suku Koto-Piliang dan Bodi-Caniago kedua-duanya mungkin ditemukan dalam nagari yang sama sekalipun nagari itu biasanya ditandai oleh suku yang lebih dominan. Oleh sebab itu orang dapat mengatakan, umpamanya, bahwa nagari di Luhak Agam lebih banyak dikuasai oleh Suku Bodi-Caniago, nagari di Luhak Lima Puluh Kota oleh Koto-Piliang, dan nagari di Luhak Tanah Datar oleh suku campuran. Pengelompokan ke dalam Koto-Piliang dan Bodi-Caniago tidak lagi dirasakan pentingnya di masa sekarang ini oleh karena beda yang tinggal dari keduanya cuma sedikit. Dari sudut sejarah, bagaimanapun, keduanya menggambarkan dua buah sistem sosial menurut legenda yang ternukil di dalam tambo (Dt. Batuah Sango: 1954) berasal dari dua orang bersaudara tiri yang bersengketa. Keduanya dilahirkan dari satu ibu tapi lain ayah: Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Yang pertama berciri lebih aristokratis, sedang yang kedua lebih demokratis.
Suku dikepalai oleh seorang penghulu. Tiap suku biasanya terdiri dari beberapa paruik dan dikepalai oleh kapalo paruik atau tungganai. Paruik dapat dibagi lagi ke dalam jurai dan jurai terbagi lagi dalam samande (satu ibu). Cara pembagian suku seperti demikian ke dalam berbagai tingkat garis keturunan, berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya. Jurai misalnya adalah istilah yang kabur yang mungkin menunjukkan persamaan consanguinealitas saja atau pertalian kelompok di bawah atau di atas paruik. Samande, sebaliknya sukar dipandang sebagai unit yang berdiri sendiri oleh karena dua atau tiga samande bisa sama mendiami rumah yang satu dan sama memiliki harta-benda tidak bergerak lainnya. Anggota dari paruik yang biasanya memiliki harta bersama, seperti tanah bersama, termasuk sawah-ladang, rumah gadang, dan pandam pekuburan bersama. Oleh karena paruik berkembang, ia mungkin memecah diri menjadi dua paruik atau lebih, sekalipun masih dalam suku yang satu. Dan dengan berkembangnya suku ia mungkin pula terbagi ke dalam dua atau lebih suku baru yang bertalian.
Dalam satu nagari, orang yang sesuku tidak selalu terdiri dari orang-orang yang seketurunan. Hal ini dimungkinkan oleh dua hal pokok: Pertama, karena tiap nagari merupakan satu wilayah adat yang indenpendent, yang tidak terikat dengan nagari lain. Sedangkan di lain pihak terdapat mobilitas penduduk yang bebas dari satu nagari ke nagari lain. Kedua, adalah adanya pendatang baru dari luar Minangkabau yang menetap di salah satu nagari yang ada di Minangkabau. Kedua hal ini mengakibatkan keragaman (heterogenitas) dari penduduk dalam satu nagari yang tidak lagi terbatas pada ke-empat suku asal, tetapi sudah diragami oleh pendatang baru yang harus dimasukkan ke dalam struktur pesukuan yang terdapat dalam nagari itu (Amir M.S.: 1997, 61).
Semua pendatang baru ini disebut kemenakan juga oleh orang yang menerimanya, walaupun dengan hak yang berbeda dengan kemenakan asli dari pesukuan asal itu. Dengan adanya pendatang baru ini, hubungan yang ada dalam suku sebagai inti dari nagari menjadi sebagai berikut:
a. Hubungan tali darah, yaitu hubungan antara mereka yang berasal dari satu keturunan menurut garis ibu.
b. Hubungan tali budi, yaitu hubungan yang tercipta antara orang yang mempunyai suku yang sama dari satu nagari, yang pindah ke nagari lain dan menetap secara malakok (mengaku saudara) pada suku yang senama di nagari baru itu.
c. Hubungan tali emas, yaitu hubungan yang tercipta antara pendatang baru yang berasal dari luar Minangkabau, yang diterima dalam pesukuan satu nagari di Minangkabau dengan membayar semacam upeti (uang emas).

V. Kesimpulan
Minangkabau merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia yang menganut sistem kekerabatan matrilineal atau garis ibu. Menurut J.J. Bachofen, sistem kekerabatan matrilineal merupakan sistem kekerabatan yang tertua di dunia. Dari teori yang dikemukakan oleh Bachofen, dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa pada mulanya semua manusia yang ada di permukaan bumi ini, menggunakan sistem kekerabatan matrilineal. Pendapat Bachofen ini memiliki banyak kelemahan, di antaranya:
1. Teori-teorinya bersifat spekulatif, karena tidak ada contoh konkrit masyarakat yang sesuai dengan teori tersebut.
2. Tidak ada contoh konkrit yang sangat jelas dalam masyarakat yang patrilineal sebelumnya adalah matrilineal.
3. Data-data yang diperoleh tidak meyakinkan karena data-data itu diperoleh dari orang-orang seperti pengembara, penjelajah, dan pedagang yang tidak pernah melakukan penelitian secara serius atau ilmiah.
4. Teori ini bersifat etnosentris karena menganggap tahap sempurna dari teori ini adalah masyarakat Eropa dan dianggap semua masyarakat akan mengalami perkembangan yang sama seperti yang dilalui oleh masyarakat Eropa.
Pada masyarakat Minangkabau sendiri, meskipun banyak mendapat pengaruh dari unsur-unsur budaya luar, termasuk agama Islam yang patrilineal yang sekarang dipeluk oleh hampir semua orang Minangkabau, ternyata sistem kekerabatan matrilineal masih tetap bertahan. Walaupun akhir-akhir ini seorang ayah di Minangkabau sudah mulai lebih banyak mengurusi anak-anak dan istrinya daripada saudara perempuan dan kemenakan-kemenakannya, tetapi seorang anak tetap lebih dekat dengan ibu dan kerabat ibunya daripada dengan ayah dan kerabat ayahnya.
Etnis Minangkabau, walaupun menganut sistem matrilineal juga tidak dapat kita katakan memiliki peradaban yang lebih rendah dari etnis-etnis lain di sekitarnya yang menganut sistem patrilineal seperti Mentawai, Nias, dan Batak. Juga tidak terlihat adanya kemungkinan masyarakat Minangkabau secara bertahap mengganti sistem kekerabatannya dari matrilineal ke patrilineal dan berubah mengikuti suku ayahnya.
Dalam beberapa kasus, seringnya terjadi perkawinan antara etnis Minangkabau, terutama yang laki-laki dengan wanita dari etnis lain akhir-akhir ini, maka dalam hal ini bisa berlaku sistem patrilineal, dalam arti anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan itu akan ikut suku ayahnya, karena ibunya sendiri tidak punya suku dan bila ia menetap dalam suatu nagari di Minangkabau maka secara otomatis dia akan ikut suku suaminya. Sebaliknya, bila seorang wanita Minangkabau yang menikah dengan laki-laki dari etnis lain, maka suaminya akan ikut suku ayah si wanita tadi dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka akan ikut suku ibunya. Seorang anak yang mengikuti suku ayahnya karena ibunya berasal dari nagari atau tempat lain, untuk keturunan selanjutnya maka anak-anaknya akan tetap mengikuti suku ibunya.

DAFTAR PUSTAKA


Amir M.S., Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 1997.

Batuah Sango, Dt., Tambo Alam Minangkabau. Payakumbuh: Percetakan Lembaga, 1954.

Fiony Sukmasari, Perkawinan Adat Minangkabau. Jakarta: Karya Indah, 1983.

Gusti Asnam, “Rantau Minangkabau Abad 15 dan 18”, dalam Jurnal Kebudayaan Genta Budaya, No. 2 Tahun I, Nopember 1995 / Januari 1996.

Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, Pegangan Penghulu, Bundo kanduang, dan Pidato Alua Pasambahan Adat di Minangkabau. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994.

Ihromi, Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: PT Gramedia, 1981.

Junus Melalatoa, M., Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995.

Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press, 1987.

Kuper, Adam, Pokok dan Tokoh Antropologi (terjemahan Achmad Fedyani Saifuddin). Jakarta: Bhratara, 1996.

Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984

Mursal Esten, Minangkabau Tradisi dan Perubahan. Padang: Angkasa Raya, 1993.

Rasyid Manggis Dt. Rajo Penghulu, M., Minangkabau Sejarah Ringkas dan Adatnya. Jakarta: Mutiara, 1982.

Umar Junus, “Kebudayaan Minangkabau”, dalam Koentjaraningrat (ed.), Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1987.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar