Rabu, 16 September 2009

INTERAKSI SOSIAL ANTARA PETANI DAN BUKAN PETANI DI NAGARI SELAYO KABUPATEN SOLOK SUMATERA BARAT

INTERAKSI SOSIAL ANTARA PETANI DAN BUKAN PETANI DI NAGARI SELAYO KABUPATEN SOLOK SUMATERA BARAT
(Social Interaction Between Farmer and Nonfarmer in Country of Selayo Regency of Solok West Sumatera)
Witrianto

Abstrak

Akhir-akhir ini, di Nagari Selayo yang terletak di Kabupaten Solok Sumatera Barat, semakin banyak berdatangan penduduk dari daerah lain untuk menetap dan berusaha. Mereka adalah para pegawai negeri, tentara, polisi, pedagang, dan yang bergerak di sektor jasa. Hal ini erat kaitannya dengan posisi Nagari Selayo yang terletak di persimpangan jalan lintas utama antara Kota Solok dan Kota Padang dengan jalan By Pass yang merupakan jalan lingkar Kota Solok.. Faktor lainnya adalah lokasi kompleks perkantoran walikota dan bupati Solok yang juga dekat dengan Selayo.Kedatangan pendatang dalam jumlah besar ini menyebabkan masyarakat Selayo menjadi heterogen,baik dalam hal mata-pencaharian penduduknya maupun dalam hal asal dan etnis penduduknya.Bertemunya penduduk asli yang secara tradisional merupakan masyarakat petani dengan pendatang yang sebagian besar bergerak di sektor non-pertanian, menyebabkan perubahan besar dalam pola pandang, pola pikir, dan kebiasaan-kebiasaan masyarakatnya. Interaksi yang terjadi antara kedua kelompok masyarakat tersebut juga telah membawa kemajuan besar terhadap penduduk asli dalam hal pendidikan.
(Kata kunci: interaksi sosial,bentuk-bentuk interaksi, petani, dan bukan petani)

1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial, dan merupakan bentuk yang paling umum dari proses sosial. Bentuk lain dari proses osial hanya merupakan bentuk-bentuk khusus dari interaksi sosial. Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai pada saat itu. Mereka saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara, atau bahkan mungkin berkelahi. Aktivitas semacam itu merupakan bentuk-bentuk aktivitas sosial. Walaupun orang-orang yang bertemu muka tersebut tidak saling berbicara atau tidak saling menukar tanda-tanda, interaksi sosial telah terjadi, oleh karena masing-masing sadar akan adanya pihak lain yang menyebabkan perubahan-perubahan dalam perasaan maupun syaraf orang-orang yang bersangkutan, yang disebabkan oleh misalnya bau keringat, minyak wangi, suara berjalan, dan sebagainya. Kesemuanya itu menimbulkan kesan di dalam pikiran seseorang, yang kemudian menentukan tindakan apa yang akan dilakukannya (Soekanto, 1990).
Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi antara kelompok tersebut sebagai kesatuan dan biasanya tidak menyangkut pribadi anggota-anggotanya. Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi pula di dalam masyarakat. Interaksi tersebut lebih mencolok manakala terjadi perbenturan antara kepentingan perorangan dengan kepentingan kelompok.
Kelompok-kelompok manusia yang melakukan interaksi di Nagari Selayo yang dibahas dalam tulisan ini adalah antara kelompok petani yang sebagian besar merupakan penduduk asli dan kelompok bukan petani yang sebagian besar merupakan penduduk pendatang. Banyaknya penduduk pendatang di Nagari Selayo terutama disebabkan oleh letaknya yang dekat dari kompleks perkantoran walikota dan bupati Solok. Pendatang yang menetap di Selayo karena faktor ini, biasanya adalah para pegawai negeri yang bekerja di kedua kompleks perkantoran tersebut, beserta keluarganya.
Faktor lain yang menarik pendatang untuk menetap di Selayo adalah posisinya yang strategis, karena terletak di persimpangan jalan By Pass yang merupakan jalan lingkar Kota Solok dan jalan Lintas Sumatera yang menghubungkan Kota Solok dan Kota Padang. Mereka yang datang ke Selayo karena faktor ini terutama adalah para pedagang, pengrajin, dan orang-orang yang bergerak di sektor jasa. Kontak sosial antara penduduk yang bekerja sebagai petani dan yang bukan petani, mau tidak mau, menyebabkan terjadinya interaksi sosial karena selalu bertemu setiap hari.
Interaksi yang terjadi antara petani dan yang bukan petani di Nagari Selayo ini merupakan suatu hal yang hendak diangkat dalam tulisan ini. Hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah, (1) bagaimana pengelompokan masyarakat berdasarkan mata-pencahariannya di Selayo; (2) bagaimana masing-masing kelompok masyarakat yang ada melakukan interaksi; dan (3) apa dampak interaksi terhadap masyarakat desa. Sebagai batasan spasial dalam tulisan ini adalah Nagari Selayo Kabupaten Solok, yang merupakan salah satu contoh tipologi desa persawahan di Minangkabau.
1.2. Metodologi Penulisan
Penulisan dilakukan dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka dan observasi partisipasi. Data yang terkumpul kemudian diolah melalui interpretasi hasil-hasil tulisan dan perumusan kegunaan hasil tulisan untuk mengetahui tentang masalah yang ditulis. Tahap terakhir yang dilakukan adalah penulisan laporan hasil penelitian.
Tulisan ini akan dimulai dengan membahas mengenai klasifikasi penduduk Nagari Selayo berdasarkan mata-pencaharian yang secara garis besar dibedakan atas petani dan bukan petani. Klasifikasi seperti ini dimaksudkan untuk memudahkan untuk melihat interaksi yang terjadi antara dua kelompok yang dapat kita anggap merupakan wakil masyarakat tradisional (petani) dan modern (bukan petani). Bahasan berikutnya adalah mengenai bentuk-bentuk interaksi yang terjadi antara kedua kelompok besar dalam masyarakat Nagari Selayo tersebut yang mencakup faktor-faktor pendorong dan faktor-faktor penghambatnya. Selanjutnya adalah bahasan mengenai dampak yang timbul akibat terjadinya interaksi sosial antara kelompok-kelompok masyarakat tersebut.

2. INTERAKSI SOSIAL ANTARA BERBAGAI KELOMPOK MASYARAKAT
Untuk melihat bentuk-bentuk interaksi dan dampaknya terhadap masing-masing kelompok masyarakat yang melakukan interaksi di Nagari Selayo, digunakan pendekatan teori interaksi. Menurut Soekanto (1985), interaksi adalah stimulasi dan tanggapan antarmanusia. Interaksi juga merupakan hubungan timbal balik antara pihak-pihak tertentu. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia.
Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Bertemunya orang perorangan secara badaniah belaka tidak akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial. Pergaulan hidup semacam itu baru akan terjadi apabila orang-orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia bekerja sama, saling berbicara, dan seterusnya untuk mencapai suatu tujuan bersama, mengadakan persaingan, pertikaian, dan lain sebagainya (Soekanto, 1995: 67).
Interaksi sosial menurut Sutherland, sebagaimana dikutip oleh Wila Huky (1986), merupakan saling pengaruh-mempengaruhi secara dinamis antar kekuatan-kekuatan dalam mana kontak di antara pribadi dan kelompok menghasilkan perubahan sikap dan tingkah laku daripada partisipan. Jika manusia tidak dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan tertentu oleh dirinya sendiri, maka hal ini dapat mendorong timbulnya organisasi formal, institusi, dan birokrasi.
Secara umum, interaksi sosial merupakan proses pokok dalam masyarakat yang timbul kalau ada kontak-kontak sosial di antara sesama. Kontak sosial hanya terjadi bila ada komunikasi yang dalam di antara mereka. Berlangsungnya proses interaksi didasarkan pada pelbagai faktor, antara lain, faktor imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati. Faktor-faktor tersebut dapat bergerak sendiri-sendiri, secara terpisah, maupun dalam keadaan tergabung.
Apabila masing-masing ditinjau secara lebih mendalam, maka faktor imitasi misalnya, mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses interaksi sosial. Salah satu segi positifnya adalah bahwa imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Akan tetapi, imitasi mungkin pula mengakibatkan terjadinya hal-hal yang negatif di mana misalnya, yang ditiru adalah tindakan-tindakan yang menyimpang. Kecuali daripada itu, imitasi juga dapat melemahkan atau bahkan mematikan pengembangan daya kreasi seseorang.
Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan atau sesuatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak lain. Jadi proses ini sebenarnya hampir sama dengan imitasi, akan tetapi titik tolaknya berbeda. Berlangsungnya sugesti dapat terjadi karena pihak yang menerima dilanda oleh emosi, hal mana menyebabkan daya pikirnya terhambat secara rasional.
Identifikasi sebenarnya merupakan kecenderungan-kecenderungan atau keinginan-keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Identifikasi sifatnya lebih mendalam daripada imitasi, oleh karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas proses ini. Proses identifikasi dapat berlangsung dengan sendirinya (secara tidak sadar), maupun dengan disengaja oleh karena seringkali seseorang memerlukan tipe-tipe ideal tertentu di dalam proses kehidupannya. Walaupun dapat berlangsung dengan sendirinya, proses identifikasi berlangsung dalam suatu keadaan di mana seseorang yang beridentifikasi benar-benar mengenal pihak lain (yang menjadi idealnya), sehingga pandangan, sikap maupun kaidah-kaidah yang berlaku pada pihak lain tadi dapat melembaga dan bahkan menjiwainya.
Proses simpati merupakan suatu proses di mana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Di dalam proses ini perasaan memegang peranan yang sangat penting, walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk bekerja sama dengannya. Proses simpati akan dapat berkembang di dalam suatu keadaan di mana faktor saling mengerti terjamin.
Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi antara kelompok tersebut sebagai kesatuan dan biasanya tidak menyangkut pribadi anggota-anggotanya. Suatu interaksi sosial terjadi apabila dipenuhi dua syarat, yaitu (1) adanya kontak sosial dan (2) adanya komunikasi (Ibid.).
Kontak sosial, secara harfiah berarti bersama-sama menyentuh, yang dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu (1) antara orang-perorangan, terjadi melalui sosialisasi, yaitu suatu proses di mana anggota masyarakat yang baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai dalam kehidupan suatu masyarakat di mana dia menjadi anggota di dalamnya; (2) antara orang-perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya; dan (3) antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya (Ibid.).
Suatu kontak tidaklah semata-mata tergantung dari tindakan, akan tetapi juga tanggapan terhadap tindakan tersebut. Seseorang dapat saja bersalaman dengan sebuah patung atau main mata dengan seorang buta sampai berjam-jam lamanya, tanpa menghasilkan suatu kontak. Kontak sosial tersebut dapat bersifat positif atau negatif. Yang bersifat positif mengarah pada suatu kerja sama, sedngkan yang bersifat negatif mengarah pada suatu pertentangan atau bahkan sama sekali tidak menghasilkan suatu interaksi sosial.
Suatu kontak dapat pula bersifat primer atau sekunder. Kontak primer terjadi apabila yang mengadkan hubungan langsung bertemu dan berhadapan muka, seperti misalnya apabila orang-orang tersebut berjabat tangan, saling senyum, dan seterusnya. Sebaliknya kontak yang sekunder memerlukan suatu perantara, yang dapat dilakukan melalui alat-alat misalnya telepon, telegrap, radio, dan sebagainya.
Komunikasi, menurut Saundra Hybels dan Richard L. Weafer II, sebagaimana yang dikutip oleh Alo Liliweri (2003), merupakan setiap proses pertukaran informasi, gagasan, dan perasaan. Proses itu meliputi informasi yang disampaikan tidak hanya secara lisan dan tulisan, tetapi juga dengan bahasa tubuh, gaya maupun penampilan diri, atau menggunakan alat bantu di sekeliling kita untuk memperkaya sebuah gagasan.
Dalam komunikasi kemungkinan sekali terjadi pelbagai macam penafsiran terhadap tingkah laku orang lain. Seulas senyum, misalnya, dapat ditafsirkan sebagai keramah-tamahan, sikap bersahabat, atau bahkan sebagai sikap sinis dan sikap ingin menunjukkan kemenangan. Sebuah lirikan, misalnya, dapat ditafsirkan sebagai tanda bahwa orang yang bersangkutan merasa kurang senang atau bahkan sedang marah. Dengan demikian komunikasi memungkinkan kerja sama antara orang perorangan atau antara kelompok-kelompok manusia dan memang komunikasi merupakan salah satu syarat terjadinya kerja sama. Akan tetapi, komunikasi tidak selalu menghasilkan kerja sama, bahkan mungkin suatu pertikaian mungkin akan terjadi sebagai akibat salah paham atau karena masing-masing tidak mau mengalah.

3. KLASIFIKASI PENDUDUK BERDASARKAN MATA-PENCAHARIAN
3.1. Petani
Karakteristik budaya masyarakat pedesaan di Indonesia sangat beragam, bahkan dalam satu provinsi sekalipun, seperti Sumatera Barat yang secara sekilas memiliki satu kebudayaan, yakni kebudayaan Minangkabau. Perbedaan tersebut terutama dipengaruhi oleh letak desa dan yang pada akhirnya juga matapencaharian penduduknya. Tipologi desa berdasarkan matapencaharian penduduknya adalah desa persawahan, desa perkebunan, desa peternakan, desa nelayan, desa jasa dan perdagangan, desa industri, serta desa perladangan (Mubyarto, 1994).
Koentjaraningrat (1984), membagi komunitas desa menjadi dua golongan berdasarkan usaha taninya, yaitu (1) desa-desa yang berdasarkan cocok-tanam di ladang, dan (2) desa-desa yang berdasarkan cocok-tanam di sawah. Desa-desa golongan pertama terletak di sebagaian besar Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Irian, dan Timor, dengan perkecualian beberapa daerah di Sumatera Utara dan Barat, daerah pantai Kalimantan, daerah Sulawesi Selatan serta Minahasa, dan beberapa daerah terbatas yang terpencar di Nusa Tenggara dan Maluku. Desa-desa golongan kedua terutama terletak di Jawa, Madura, Bali, Lombok, dan merupakan tempat bermukim hampir 65% penduduk Indonesia, sedangkan areal tempat desa-desa itu hanya meliputi 7% dari seluruh wilayah Indonesia.
Berdasarkan mata-pencaharian sebagian besar penduduknya, Nagari Selayo dapat digolongkan desa persawahan, karena sebagian besar penduduknya adalah petani sawah yang menggantungkan hidupnya dari hasil sawah. Petani yang ada di Nagari Selayo, otomatis juga dapat digolongkan sebagai petani sawah, walaupun dalam kehidupan sehari-hari mereka tidak hanya menggarap sawah. Seorang petani di Nagari Selayo, dalam kenyataan menggarap tiga macam tanah pertanian, yaitu (1) kebun kecil di sekitar rumahnya; (2) tanah pertanian kering yang digarap dengan menetap, tetapi tanpa irigasi, yang disebut dengan istilah “hutan tinggi” dan (3) tanah pertanian basah yang menggunakan irigasi, yang disebut dengan istilah “hutan rendah”.
Luas lahan pertanian di Nagari Selayo berdasarkan beberapa kategori seperti yang disebutkan di atas pada tahun 2003 adalah sebagai berikut:
TABEL 1. PENGGUNAAN TANAH DI SELAYO TAHUN 2003
No Nama Jorong Sawah Ladang/kebun Pekarangan Kolam
1
2
3
4 Galanggang Tangah
Sawah Sudut
Batu Palano
Lurah Nan Tigo 138,4
230
149
273,88 12,7
140
192
135,73 67,19
23
26,5
33,85 2,5
7,5
1,5
0,25
S E L A Y O 791,28 470,43 150,54 11,75
Sumber: Kantor Wali Nagari Selayo Kecamatan Kubung Kabupaten Solok.
Di tanah kebun kecil sekitar rumah atau yang biasa disebut pekarangan, petani menanam kelapa, buah-buahan, sayur-mayur, bumbu-bumbu, umbi-umbian dan akar-akaran seperti berbagai jenis ubi dan singkong yang diperlukan dalam kehidupan rumahtangganya sehari-hari. Di pekarangan sering pula ada kolam ikan yang selain tempat pemeliharaan berbagai jenis ikan, tidak jarang pula dipakai sebagai tempat buang air. Hasil pekarangan sebagian besar dipergunakan untuk konsumsi sendiri, walaupun tidak sedikit pula yang dijual di pasar nagari atau pada pedagang yang menawarnya.
Di tanah pertanian kering, yang dalam bahasa Minangkabau disebut parak (ladang/kebun, di Jawa dikenal dengan istilah tegalan), petani menanam serangkaian tanaman yang kebanyakan dijual di pasar atau kepada pedagang. Tanaman itu antara lain jagung, kacang kedelai, berbagai jenis kacang tanah, tembakau, singkong, umbi-umbian, termasuk juga padi yang dapat tumbuh secara irigasi. Walaupun tidak diirigasi, tanah tegalan biasanya digarap secara intensif, dan tanaman-tanamannya dipupuk dan disiram secara teratur.
Bercocok tanam di tanah basah atau yang biasa disebut “sawah” merupakan usaha tani yang paling pokok dan paling penting bagi para petani di Nagari Selayo. Dengan teknik penggarapan tanah yang intensif dan dengan cara-cara pemupukan dan irigasi yang tradisional, para petani tersebut menanam tanaman tunggal, yaitu padi. Berbeda dengan cocok-tanam di ladang, maka cocok-tanam di sawah dapat dilakukan di suatu bidang tanah yang terbatas secara terus-menerus, tanpa menghabiskan zat-zat kesuburan yang terkandung di dalamnya.
Bercocok-tanam di sawah sangat tergantung kepada pengaturan air, yang dilakukan dengan suatu sistem irigasi yang kompleks. Agar sawah dapat digenangi air, maka permukaannya harus mendatar sempurna, dan dikelilingi oleh pematang yang tingginya 20 sampai 25 sentimeter. Itulah sebabnya membuat sawah di lereng gunung memerlukan pembentukan susunan bertangga yang memerlukan investasi tenaga kerja yang tinggi. Akan tetapi, di daerah dataran rendah pun bercocok-tanam di sawah memerlukan banyak tenaga kerja di semua tahap produksinya.
Berdasarkan luas lahan yang mereka miliki dan pekerjaan yang mereka lakukan, petani-petani yang ada di Selayo dapat dibagi atas beberapa golongan, yaitu (1) Petani pemilik atau yang biasa disebut sebagai petani kaya, yaitu petani yang menguasai lahan-lahan luas dalam nagari, baik sawah maupun ladang. Mereka adalah keturunan dari pembuka nagari dan karena itu mereka disebut Lantak Nagari; (2) Petani penggarap, yaitu petani yang menggarap sendiri sawah yang mereka miliki, atau menggarap sawah orang lain dengan sistem bagi hasil dari keuntungan yang diperoleh setelah panen; (3) Buruh tani, yaitu petani yang bekerja di sawah orang lain dengan sistem upah harian atau borongan. Biasanya buruh tani ini adalah para pendatang dari nagari-nagari lain di Kabupaten Solok yang topografis daerahnya tidak menguntungkan untuk bertani, seperti nagari-nagari yang berada di sekitar Danau Singkarak.
Di samping ketiga golongan tersebut, ada pula petani yang merangkap sebagai pedagang pengumpul hasil pertanian. Mereka di sebut “petani pedagang”, yang terutama berasal dari kalangan buruh tani atau petani penggarap untuk menambah penghasilan mereka. Ada pula yang bekerja sebagai buruh jemur padi, yang tugasnya menjemur padi di huller sampai kering sehingga bisa digiling menjadi beras.
Akhir-akhir ini, banyak pula petani kaya yang juga berprofesi sebagai pedagang padi atau beras. Mereka dapat dengan cepat ikut dalam bisnis ini karena memiliki modal yang cukup besar. Terdapat kecenderungan akhir-akhir ini, petani menjual semua padi yang mereka panen langsung di sawah kepada pedagang yang menjemputnya ke sana. Hal ini dilakukan oleh petani tersebut karena mereka tidak mau direpotkan dengan pekerjaan menjemur dan menumbuk padi menjadi beras. Untuk makan sehari-hari, biasanya petani-petani tersebut kemudian membeli beras di warung untuk dimasak.

3.2. Bukan Petani
Penduduk yang digolongkan sebagai bukan petani dalam tulisan ini adalah penduduk yang mempunyai mata-pencaharian lain selain petani, seperti pedagang, pegawai negeri, polisi, tentara, dan yang bergerak di sektor jasa. Sebagian besar penduduk dari golongan bukan petani ini adalah para pendatang yang datang dari berbagai daerah yang ada di Sumatera Barat dan ada pula yang dari luar provinsi, terutama dari Jawa dan Sumatera Utara.
Golongan penduduk bukan petani mulai banyak ada di Selayo terutama sejak dibangunnya kompleks perkantoran Kotamadya Solok di IX-Korong pada tahun 1970, yang hanya berjarak 1,5 Km sebelah utara Selayo. Hal ini kemudian ditambah lagi dengan berdirinya kompleks perkantoran Kabupaten Solok di Kotobaru yang terletak 2 Km sebelah selatan Selayo pada tahun 1983. Berdirinya kompleks perkantoran tersebut dengan sendirinya menyebabkan banyaknya pendatang yang berstatus pegawai negeri yang bertempat tinggal di Selayo yang letaknya relatif dekat dengan kedua kompleks perkantoran tersebut.
Tahun 1989, pemerintah Kota Solok membangun jalan By Pass atau jalan lingkar Kota Solok yang salah satu ujungnya terletak di Nagari Selayo yang berbatasan dengan Kota Solok. Pembukaan jalan ini ternyata berdampak besar terhadap perkembangan sosial, ekonomi, dan budaya Nagari Selayo. Dalam waktu singkat, setelah dibukanya Jalan By Pass, bermunculan toko-toko baru di sepanjang jalan raya di Nagari Selayo. Bila sebelumnya toko-toko hanya ada di sekitar Pasar Selayo, setelah adanya Jalan By Pass, toko-toko dan ruko-ruko baru bertebaran di sepanjang jalan raya, terutama di jalan raya antara Pasar Selayo dengan Simpang By Pass.
Toko-toko yang bermunculan ini di antaranya terutama adalah toko kelontong, toko kue, toko bangunan, restoran, toko pakaian, toko besi, bengkel, toko pupuk, toko besi, toko elektronik, toko pecah belah, toko beras, optik, dan beberapa swalayan yang menjual barang kebutuhan sehari-hari. Kemunculan toko-toko ini juga diiringi oleh kedatangan sejumlah besar pedagang dari berbagai daerah di Sumatera Barat yang kemudian juga tinggal menetap di Selayo. Penduduk asli sendiri hanya sedikit yang menjadi pedagang karena mereka tidak punya tradisi berdagang, sehingga yang menjadi pedagang saat ini di Selayo sebagian besar adalah pendatang. Penduduk asli, secara tradisi terbiasa bertani di lahan pertanian yang luas dan subur, sehingga mereka tidak berpikir untuk melakukan pekerjaan lain selain bertani. Sebelum perdagangan di Selayo seramai sekarang, penduduk asli bahkan memandang rendah pekerjaan berdagang karena hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak punya tanah. Oleh karena itu, dahulu masyarakat Selayo meletakkan kaum pedagang pada kelas sosial yang lebih rendah daripada petani.
Sekarang, setelah melihat bahwa banyak di antara pedagang tersebut yang kemudian menjadi kaya, bahkan ada yang lebih kaya dari petani-petani kaya yang ada di Selayo, banyak penduduk asli Selayo yang semula bermatapencaharian sebagai petani beralih ke sektor perdagangan. Pada kalangan generasi muda, kecenderungan tersebut bahkan lebih kuat.
Seiring dengan kedatangan penduduk dari berbagai daerah dalam jumlah besar ke Selayo, kemudian muncul pula penduduk yang berprofesi sebagai pengusaha salon, jasa fotokopi, rental komputer, pengusaha wartel, penjahit, pengrajin, buruh bangunan, dan beberapa profesi lainnya yang sebagian besar dilakukan oleh pendatang dari berbagai daerah di Sumatera Barat.
Pendatang dari luar provinsi seperti orang Jawa, sebagian besar berprofesi sebagai penjual jamu gendong, pedagang makanan seperti bakso, pangsit, gado-gado, pecel (di Minangkabau disebut pical), es krim, sate ayam, es cendol, dan lain-lain. Di samping itu ada pula orang Jawa yang berprofesi sebagai tukang becak, buruh bangunan, pedagang keliling, dan banyak pula yang memang ditempatkan pemerintah sebagai pegawai negeri, polisi, atau tentara yang bertugas di Kabupaten Solok atau Kotamadya Solok. Pendatang dari Sumatera Utara (orang Batak) sebagaian besar berprofesi sebagai tukang kredit, disamping sebagai pegawai negeri, polisi, atau tentara yang ditempatkan pemerintah di Kabupaten atau Kota Solok.

4. BENTUK-BENTUK INTERAKSI
Bentuk-bentuk interaksi yang terjadi antara kelompok masyarakat petani dan kelompok masyarakat bukan petani, dapat terjadi dalam tiga bentuk, yaitu performan atau penampilan, comformity, dan kerjasama (Wiggins, 1994). Penampilan atau performan sangat dipengaruhi oleh kehadiran orang lain. Orang lain yang dimaksud adalah coaction dan audience. Coaction adalah orang yang melakukan perbuatan yang sama dengan yang dilakukan oleh seseorang, seperti sesama petani yang sama-sama sedang mencangkul di sawah, sedangkan audience adalah orang lain yang memperhatikan penampilan seseorang, dalam kasus di atas adalah penduduk yang bukan petani yang sedang menyaksikan petani sedang mencangkul di sawah, atau sebaliknya petani yang sedang menyaksikan pedagang sedang berjualan.
Bentuk interaksi sosial yang kedua adalah conformity, yaitu proses penyesuaian diri dengan norma dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat atau kelompok mayoritas tempat seseorang berada. Dalam masyarakat yang homogen dan tradisional, conformity masyarakatnya lebih kuat. Pada masyarakat Selayo yang sekarang sudah bersifat heterogen dan menunjukkan ciri-ciri masyarakat modern, conformity yang terjadi tidak lagi terlalu kuat. Meskipun demikian, proses conformity masih terlihat pada beberapa pendatang yang berusaha menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di Nagari Selayo.
Bentuk interaksi sosial yang ketiga adalah kerjasama yang merupakan aktivitas kolektif yang memberikan keuntungan pada setiap individu yang ikut di dalamnya. Dalam kerjasama kedua belah pihak saling mempengaruhi dan saling menguntungkan. Di antara beberapa macam bentuk kerjasama adalah tolong-menolong. Tolong menolong yang terjadi bisa dalam bentuk altruisme dan pertukaran imbalan (reward exchange). Altruisme adalah hasrat untuk menolong orang lain tanpa memikirkan diri sendiri, sedangkan pertukaran imbalan (reward exchange) adalah perbuatan yang dilakukan seseorang dengan tujuan agar suatu saat dia mendapatkan imbalan yang sama dari perbuatan yang dia lakukan pada orang lain tersebut. Kerjasama yang terjadi antara kedua kelompok masyarakat di Nagari Selayo ini, terlihat misalnya dalam menyukseskan acara khatam al-qur’an, acara 17 Agustus, dan acara pemilihan wali nagari yang melibatkan seluruh unsur yang ada dalam masyarakat, baik petani maupun yang bukan petani.
Interaksi yang sering terjadi antara petani dengan penduduk yang berprofesi sebagai pegawai negeri lebih banyak dalam hal sewa-menyewa rumah atau kamar. Petani yang merupakan penduduk asli merupakan pihak yang menyewakan dan pegawai negeri yang datang dari daerah lain brtindak sebagai penyewa. Kehadiran pegawai negeri ini telah menambah sumber penghasilan yang baru kepada petani. Dengan adanya pegawai negeri ini banyak petani yang kemudian sengaja membangun rumah-rumah kontrakan untuk disewakan.
Interaksi yang terjadi antara petani dengan penduduk yang mempunyai profesi yang lainnya, seperti pedagang, terutama berlangsung di pasar nagari atau di toko-toko dan warung-warung yang dimiliki oleh para pedagang tersebut. Interaksi dengan yang pendatang yang bergerak di sektor jasa, seperti usaha salon, bengkel, dokter, rental komputer, fotokopi, servis elektronik, dan sebagainya, terutama berlangsung di tempat mreka membuka usahanya ketika petani membutuhkan jasa mereka.
Penduduk yang bukan petani pun juga banyak berhubungan dengan para petani ini terutama dalam kegiatan-kegiatan sosial, pengajian, kenduri, dan sebagainya. Bentuk interaksi lainnya yang sering terjadi adalah dalam bentuk perkawinan campuran. Sering terjadi pendatang yang tinggal pada sebuah rumah milik petani kemudian menikah dengan anak pemilik rumah atau dengan warga lainnya yang ada di Selayo.
Perkawinan antara keluarga petani yang merupakan penduduk asli dengan orang luar Minangkabau juga sering terjadi, terutama dengan orang Jawa. Hal ini terutama ditunjang oleh kesamaan agama dan mulai bergesernya pola pandang masyarakat yang tidak lagi fanatik harus mempunyai menantu yang se nagari atau setidak-tidaknya satu etnis dengannya. Saat ini, yang terpenting bagi mereka adalah seaqidah dan berasal dari keluarga yang baik-baik. Berbeda halnya dengan pendatang dari Batak, yang pada umumnya memiliki agama yang berbeda dengan penduduk setempat, belum ada yang diambil menantu oleh warga setempat.
Faktor-faktor yang mendorong terjadinya interaksi antara keluarga petani dengan pendatang adalah faktor imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati. Proses imitasi atau peniruan antara petani dan yang bukan petani di antaranya adalah dalam hal pola hidup. Petani meniru pola hidup penduduk yang bukan petani dalam hal mengatur keuangannya. Sebagian besar petani tidak dapat mengelola uang mereka dengan benar. Pada saat panen mereka suka menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang sebenarnya kurang perlu. Hal lainnya yang ditiru dari pendatang adalah cara berpakaian dan model rambut. Sementara itu warga yang bukan petani meniru petani dalam hal merayakan hari-hari besar keagamaan, cara memasak, dan yang negatifnya banyak pula yang terbawa gaya hidup penduduk asli yang lebih pemalas dan boros pada satu sisi.
Proses sugesti yang terjadi di Selayo adalah para petani sebagai penduduk asli yang memandang derajat mereka lebih tinggi dari para pendatang yang notabene tidak punya tanah yang luas di Nagari Selayo. Para pendatang terpaksa menerima pandangan penduduk asli tersebut, walaupun mereka tidak perlu merendah-rendahkan diri di hadapan penduduk asli.
Proses identifikasi yang berlangsung di Selayo ialah adanya kecenderungan-kecenderungan atau keinginan-keinginan dari warga yang bukan petani untuk hidup menyatu dengan keluarga-keluarga petani yang merupakan penduduk asli. Hal ini ditunjukkan antara lain dengan aktif di berbagai kegiatan sosial, ikut pengajian dengan menggunakan pakaian yang sama dengan pakaian yang biasa digunakan penduduk asli. Begitu juga dalam hal acara-acara adat, mereka ikut menggunakan pakaian yang sama dengan yang digunakan oleh penduduk asli, sesuai dengan acaranya.
Proses simpati yang berlangsung di Selayo ialah adanya rasa ketertarikan dari penduduk pendatang terhadap adat istiadat Nagari Selayo. Adat perkawinan, kematian, turun mandi, aqiqah, dan khatam al-qur’an yang selalu dirayakan secara meriah oleh para petani, memberikan kesan tersendiri bagi para pendatang, terutama bagi yang memiliki kemampuan yang cukup dalam bidang finansial. Banyak pula di antara pendatang ini yang melaksanakan upacara adat ini pada saat-saat tertentu.
Di samping faktor-faktor pendorong, ada pula faktor-faktor yang menghambat terjadinya interaksi antara petani dan bukan petani di Nagari Selayo. Beberapa di antaranya adalah, (1) Terpisahnya tempat tinggal sebagian pendatang yang tidak berprofesi sebagai petani dari tempat tinggal petani; (2) Kurangnya pengetahuan warga yang bukan petani mengenai kebudayaan yang dihadapi, karena kebudayaan masyarakat Selayo adalah budaya masyarakat agraris; (3) Penduduk asli yang berprofesi sebagai petani merasa bahwa kebudayaan mereka lebih superior dari kebudayaan lain, sehingga mereka cenderung memandang budaya para pendatang sebagai budaya yang lebih rendah; (4) Perbedaan kepentingan dan pertentangan pribadi antara satu kelompok dengan kelompok lainnya; dan (5) Keengganan petani untuk menjual tanah yang dimilikinya kepada para pendatang.

5. PERUBAHAN-PERUBAHAN YANG TERJADI
Banyaknya pendatang yang menetap di Nagari Selayo, terutama setelah dibangunnya kompleks perkantoran walikota dan bupati Solok yang terletak tidak jauh dari Selayo telah menyebabkan terjadinya perubahan besar dalam pola pikir masyarakat Selayo. Dibukanya jalan By Pass yang kemudian berdampak terhadap kemajuan perdagangan di Nagari Selayo, juga ikut mempengaruhi pandangan petani terhadap profesi pedagang.
Ketika pendatang yang berprofesi bukan petani banyak menetap di Selayo, sebagian besar penduduk Selayo, terutama petani kaya, memandang pekerjaan sebagai pegawai negeri dengan sebelah mata dan tidak menganggapnya sebagai pekerjaan yang bergengsi. Hal ini disebabkan karena kecilnya gaji yang diterima oleh pegawai negeri setiap bulannya, jauh lebih kecil dari pendapatan yang biasa diterima petani kaya. Hal ini terutama disebabkan karena pada waktu itu orang Selayo yang menjadi pegawai negeri lebih banyak yang merupakan pegawai golongan rendah karena pendidikan mereka yang juga rendah, seperti penjaga sekolah, pesuruh kantor, pegawai kantor camat, atau guru yang pada waktu itu gajinya tidak seberapa. Pandangan seperti itu sekarang sudah mulai bergeser karena penduduk asli sudah dapat melihat bahwa banyak pula pegawai negeri yang mampu hidup berkecukupan, terutama pegawai golongan tinggi yang juga berpendidikan tinggi.
Dampak yang terlihat dari fenomena ini adalah munculnya keinginan yang kuat dari keluarga petani, terutama petani kaya, untuk menyekolahkan anak-anak mereka setinggi mungkin, kalau perlu dengan menggadaikan sawah dan ladang. Hal ini dilakukan supaya anak-anak mereka kelak dapat menjadi pegawai negeri yang memiliki golongan tinggi, di samping tentunya juga menambah prestise tersendiri bagi mereka. Petani kaya, saat ini akan merasa malu jika anak-anak mereka tidak melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang perguruan tinggi, karena hal itu akan membuat prestise mereka jatuh di tengah masyarakat.
Pekerjaan sebagai pedagang yang semula juga dianggap sebagai pekerjaan yang rendah, karena hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak punya tanah, setelah melihat keberhasilan para pedagang pendatang yang menjadi kaya melalui perdagangan, membuat pandangan petani pun berubah. Saat ini banyak pula anak-anak dari keluarga petani yang lebih cenderung menjadi pedagang daripada menjadi petani, karena mereka merasakan bahwa perputaran uang dalam dunia perdagangan jauh lebih cepat daripada bertani. Faktor lainnya adalah adanya anggapan generasi muda yang mengatakan bahwa pekerjaan sebagai petani sangat berat dan butuh tenaga yang banyak.
Dampak yang terlihat dari hal ini adalah banyaknya anak-anak petani yang kemudian tidak lagi melanjutkan usaha orangtuanya. Mereka lebih tertarik untuk berusaha di bidang perdagangan yang dianggap lebih menguntungkan dan tidak terlalu menguras tenaga. Jika sebelumnya toko-toko dan warung-warung di Selayo hampir semuanya dimiliki para pendatang, saat ini sudah mulai banyak pula penduduk asli yang memilikinya, baik dengan membangun sendiri ataupun dengan menyewa toko milik orang lain.
Selain menjadi pedagang dan pegawai negeri, jarang sekali penduduk yang berasal dari keluarga petani yang menekuni profesi lain seperti pengrajin atau berbagai bentuk industri rumah tangga. Hal ini mungkin disebabkan oleh sifat dasar penduduk asli yang memang tidak menyukai pekerjaan-pekerjaan yang hanya dianggap sebagai pengisi waktu luang saja. Penyebab lainnya adalah tingginya tingkat kesuburan tanah di Selayo, sehingga penduduknya secara tradisi tidak pernah berpikir untuk berusaha di bidang lain.

6. PENUTUP
Interaksi sosial yang terjadi antara penduduk asli Nagari Selayo yang secara tradisional adalah petani sawah dengan para pendatang yang sebagian besar berusaha di bidang lain, telah membawa perubahan besar dalam pola pandang dan pola pikir masyarakat petani tradisional. Pengaruh terbesar yang diberikan oleh pendatang kepada penduduk asli adalah kenyataan saat ini bahwa semakin banyaknya orang Selayo yang meninggalkan usaha pertanian mereka dan kemudian beralih ke bidang lain, terutama perdagangan.
Fakta yang terjadi, banyak di antara penduduk asli yang tidak mampu bersaing dengan pendatang tersebut, karena keahlian yang mereka miliki dalam hal berdagang jauh lebih sedikit. Para pendatang memiliki keahlian lebih dalam berdagang karena ditunjang oleh lingkungan dagang yang sudah mentradisi bagi mereka. Bagi mereka, karena tidak punya tanah yang hendak digarap, untuk menyambung hidup mereka harus berusaha dengan cara berdagang, di samping sekali-sekali menjadi buruh tani. Itulah sebabnya masyarakat Selayo menyebut semua pendatang yang tidak punya tanah dengan sebutan “anak dagang”.
Dampak positif yang terjadi akibat interaksi antara petani dengan pendatang ini adalah semakin meningkatnya kesadaran petani untuk menyekolahkan anak-anak mereka setinggi mungkin, karena mereka ingin anak-anak mereka juga memiliki titel dan pangkat seperti pegawai golongan tinggi yang tinggal di Selayo. Dalam bidang pendidikan agama pun terlihat kemajuan yang positif. Para pendatanglah yang telah mengidupkan Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) di masjid-masjid yang ada di Selayo. Hampir semua tenaga pengajar di MDA-MDA tersebut adalah para pendatang, terutama pegawai Departemen Agama (Depag), guru-guru agama (ustadz), atau mahasiswa IAIN yang tinggal di masjid. Guru-guru atau ustadz-ustadz tersebut juga selalu memberikan pengajian setiap selesai Salat Subuh di masjid. Di Masjid Raya Selayo, misalnya kuliah subuh sudah dilakukan sejak tahun 1965 dan belum pernah absen sampai sekarang.
Dampak kuliah-kuliah yang diberikan oleh guru-guru agama tersebut, terlihat misalnya pada peningkatan kesadaran masyarakat untuk tidak lagi terlalu mementingkan adat daripada agama. Adat yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama, saat ini sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan, seperti menghitung hari saat kematian salah seorang anggota keluarga, makan dan minum di rumah orang kematian, memberikan sedekah kubur, dan sebagainya. Hanya beberapa keluarga petani kaya saja yang masih melakukan tradisi-tradisi seperti itu saat ini untuk menjaga prestise mereka di tengah masyarakat.
Dampak negatif dari interaksi yang terjadi pada berbagai kelompok masyarakat di Nagari Selayo di antaranya adalah dikenalnya narkoba dan jenis-jenis permainan judi, yang terutama dibawa oleh para pemuda dari daerah lain yang datang ke Selayo sebagai pedagang. Banyak anak-anak dari keluarga petani yang kemudian juga terlibat dalam perbuatan maksiat ini. Dampak lainnya adalah model-model pakaian yang dikenakan oleh para pendatang tersebut banyak kurang pantas menurut norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.













DAFTAR PUSTAKA

Bintarto, R., 1989, Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Huky, D.A. Wila, 1986, Pengantar Sosiologi, Usaha Nasional, Surabaya.

Hüsken, Frans, 1998, Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

Idris, Soewardi (ed.), 1992, Selayo Kec. Kubung, Kab. Solok, Ikatan Keluarga Selayo, Jakarta.

Koentjaraningrat (ed.), 1984, Masyarakat Desa di Indonesia, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Liliweri, Alo, 2003, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, LKiS, Yogyakarta.

Mubyarto, et al., 1994, Keswadayaan Masyarakat Desa Tertinggal, Aditya Media, Yogyakarta.

Soekanto, Soerjono, 1985, Kamus Sosiologi, CV Rajawali, Jakarta.

________________, 1995, Sosiologi Suatu Pengantar, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Wiggins, J., Wiggins, B. and Zanden, J., 1994, Social Psychology, McGraw-Hill, Inc (5th ed).



















KERANGKA PEMIKIRAN

Proses Terjadinya Interaksi dan Dampak yang Ditimbulkannya

Penduduk Asli Penduduk Pendatang

KAMANG HILIR: DARI PETANI JERUK KE PENGUSAHA PERABOT

KAMANG HILIR: DARI PETANI JERUK KE PENGUSAHA PERABOT
Oleh
Fakhri

Kamang Hilir merupakan sebuah nagari yang terletak di Kecamatan Kamang Magek Kabupaten Agam. Suatu perubahan besar pernah terjadi di Kamang Hilir, yaitu ketika H. A. St. Samiak memperkenalkan budidaya tanaman jeruk atau lebih dikenal dengan sebutan limau oleh masyarakat setempat. Keberhasilan H. A. St. Samiak dalam melakukan budidaya tanaman jeruk menarik minat sebagian besar masyarakat Kamang Hilir lainnya, terutama ketika H. A. St. Samiak berhasil membuat rumah permanen untuk orang tuanya dari hasil bertani jeruk.
Sebagian besar penduduk Nagari Kamang Hilir mengharapkan hasil pertanian dapat memenuhi kebutuhan hidup. Masa dari tahun 1970 sampai dengan tahun 1985 merupakan masa jaya bagi tanaman jeruk di Nagari Kamang Hilir. Kepopuleran tanaman jeruk bahkan membuat para perantau yang tidak begitu beruntung di perantauannya kembali pulang ke kampung dan menjadi petani jeruk. Selain itu para pelaku industri perabot di Kamang Hilir juga banyak beralih ke tanaman jeruk, karena menurut mereka prospek tanaman jeruk lebih besar dari pada tetap menekuni industri meubel.
Mata pencaharian masyarakat Kamang Hilir berubah dari yang semula hanya menanam tanaman palawija untuk konsumsi pribadi atau dijual ke pasar-pasar tradisional menjadi bertani jeruk. Semenjak itu Nagari Kamang Hilir terkenal sebagai daerah penghasil jeruk berkualitas unggul, rasanya manis dan gurih, ciri khas jeruk yang berasal dari Nagari Kamang Hilir terutama adalah baunya yang harum. Jeruk asal Kamang Hilir terkenal dengan nama “jeruk kamang”. Pada masa jayanya jeruk kamang merambah sampai ke luar daerah seperti Medan, Palembang, dan Jakarta. Kepopuleran jeruk kamang ini terlihat dari banyaknya kunjungan yang datang ke Nagari Kamang Hilir seperti dari Aceh, Bengkulu, dan Pulau Jawa. Kunjungan tamu tidak hanya datang dari dalam negeri tetapi juga datang dari luar negeri misalnya dari Filipina, India, dan Bangladesh.
Sebelum dimulainya penanaman jeruk oleh H. Adnan St. Samiak, di Nagari Kamang Hilir banyak terdapat lahan kosong. Selain bertani sawah penduduk Kamang Hilir juga menanami ladang mereka dengan tanaman berumur muda seperti singkong, ubi, jagung, ataupun cabai. Melihat kondisi yang demikian maka muncullah keinginan dari salah seorang anak Nagari Kamang Hilir yang pernah menempuh pendidikan di Sekolah Pertanian Sukarami Solok. Anak nagari tersebut bernama Adnan yang kemudian setelah menikah bergelar St. Samiak. Pada tahun 1984 beliau menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekkah sehingga di depan namanya ditambah gelar Haji, sehingga namanya kemudian menjadi Haji Adnan St. Samiak.
Keinginan ataupun ide untuk membudidayakan tanaman jeruk didapatkan H. A. St. Samiak dari kawannya Harison yang telah memulai menanam jeruk di kampung halamannya di Payakumbuh. Melalui kawannya ini H. A. St.Samiak belajar cara membudidayakan jeruk dari proses menyiapkan, pengolahan, hingga pada tahap akhir yakni memanen hasil tanaman jeruk. Untuk memulai usahanya, pada tahun 1962 H. A. St. Samiak memesan bibit jeruk ke Pasar Minggu Jakarta sebanyak 2.000 batang. Lahan yang disiapkan seluas 1 Ha yang hanya dapat menampung 400 batang bibit jeruk. Sisanya dibagikan kepada masyarakat luas secara gratis, akan tetapi tidak banyak masyarakat yang tertarik. Hanya beberapa orang yang tertarik dan mengambil beberapa bibit lainnya sehingga akhirnya tersisa 1.300 batang.
Pada tahun 1965 jeruk yang ditanam oleh H. A. St. Samiak telah bisa untuk dipanen. Hasil panen pertama tanaman jeruk boleh dikatakan gagal, penyebabnya ialah waktu pemanenan yang kurang tepat. H. A. St. Samiak memanen jeruknya ketika jeruk masih berwarna kuning dan buahnya masih keras, hal ini menandakan kalau jeruk yang dipanen oleh H. A. St. Samiak masih belum matang. Akibatnya jeruk kamang hanya dihargai Rp. 25,-/kg tidak mencapai setengah dari harga jeruk medan yang ketika itu dihargai Rp.75,-/kg.
Untuk panen berikutnya H. A. St. Samiak memutuskan untuk menunggu hingga buah jeruknya benar-benar matang. Pada 1966 H. A. St. Samiak kembali memanen jeruknya, untuk panen yang kedua ini H. A.t. Samiak mendapati buah jeruknya memiliki bentuk yang bagus (besar), bahkan lebih bagus dari jeruk medan, kulitnya tebal, dan tahan untuk disimpan. Hal ini membuat harga jeruk kamang meningkat dari Rp. 25,-/kg menjadi Rp. 85,-/kg. Para pedagang pun banyak yang beralih dengan membeli jeruk kamang. Dari hasil panen jeruknya ini, pada tahun 1968, H. A. St. Samiak berhasil membangun rumah permanen untuk orangtuanya.
Puncak dari kejayaan tanaman jeruk di Kamang ialah ketika H. A. St. Samiak menerima penghargaan dari Pemerintah Jakarta pada tanggal 5 Juni 1984 yang bertepatan dengan momen hari lingkungan hidup. Beliau menerima penghargaan Kalpataru sebagai Perinits Lingkungan Hidup. Hal ini secara tidak langsung telah mengharumkan nama Nagari Kamang Hilir. Di masa jaya tanaman jeruk, Nagari Kamang merupakan model bagi nagari-nagari lainnya di Sumatera Barat untuk pembudidayaan tanaman jeruk. H. A. St. Samiak sendiri pernah dibawa oleh Pemerintah Daerah ke Suliki dan Kabupaten Pesisir Selatan untuk memberikan penjelasan kepada petani setempat mengenai proses pembudidayaan tanaman jeruk.
Masa leemasan tanaman jeruk kamang berakhir ketika virus Citrus Vein Phloem Degeneration (CVPD) menyerang tanaman jeruk pada tahun 1985. Virus ini menyebabkan perekonomian masyarakat Kamang Hilir merosot drastis. Virus CVPD menyerang buah dan daun tanaman jeruk, tidak langsung menyerang keseluruhan batang melainkan menyerang per-ranting. Tanaman jeruk yang telah diserang oleh virus ini menyebabkan buahnya menjadi kecil-kecil dan keras, sedangkan daunnya kecil-kecil dan bewarna kuning.
Pertanian jeruk yang selama ini merupakan mata pencaharian utama bagi penduduk Kamang Hilir mendapat tantangan serius. Akibatnya banyak penduduk yang beralih profesi ke sektor industri, sebagian masih ada yang tetap bertahan di bidang pertanian, mereka kembali menanan tanaman lama misalnya ubi, kentang, cabai, pisang, dan jagung. Sektor industri bukan merupakan hal baru bagi masyarakat Kamang Hilir karena sebelum masa tanaman jeruk mereka telah menekuni industri meubel, terutama kaum laki-laki. Kepandaian dalam bertukang (istilah yang lebih dikenal oleh penduduk setempat untuk industri meubel) telah ada semenjak tahun 1930. Kepandaian dalam bertukang diperkenalkan oleh Inyiak Marah dan Inyiak Sati. Semula produksi hanya diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan pribadi mereka, kemudian kepandaian ini diajarkan kepada masyarakat yang ingin membuat perabot rumahtangga. Akhirnya keahlian bertukang pun menjadi berkembang luas di masyarakat.
Kepandaian bertukang perabot ini merupakan kepandaian yang telah mendarah daging bagi penduduk Nagari Kamang Hilir terutama yang laki-laki. Jadi tidaklah mengherankan jika industri ini menjadi pekerjaan akternatif bagi petani Kamang Hilir. Untuk memperoleh bahan baku tidaklah sulit bagi para tukang perabot. Bahan baku tersebut dapat diperoleh di beberapa daerah seperti dari Tarusan, Maninjau, Batusangkar, Malalak, Muarobungo, dan Sijunjuang. Bahkan ada yang dari luar Sumatera Barat seperti dari Provinsi Riau dan Jambi. Jenis kayu yang digunakan sebagai bahan baku ialah kayu surian, marantiah, dan bayua
Proses pemasaran hasil produksi meubel tidaklah susah, setidaknya bagi para tukang. Mereka cukup menjual hasil produksi mereka ke toko-toko yang juga dimiliki oleh orang Kamang Hilir. Toko-toko itu terletak mulanya di Pasar Jawi kemudian dipindahkan ke Pasar Banto Bukittinggi.
Selain menjual kepada pemilik toko di Bukittinggi, tukang-tukang ini juga menerima pesanan langsung ke bengkel mereka. Keuntungan dari pesanan ini ialah konsumen dapat menentukan sendiri seperti apa corak/mode hingga warna cat yang digunakan. Kekurangannya ialah pesanan mereka tidak langsung jadi, minimal untuk menyelesaikan satu buah lemari dibutuhkan waktu satu minggu. Akan tetapi, hasil yang diperoleh jauh lebih memuaskan karena berdasarkan pesanan.
Pada tahun 1997 proses produksi industri perabot sempat terganggu, akibat krisis ekonomi barang baku untuk produksi perabot melonjak mahal, namun sayangnya di lain pihak harga hasil produksi tetap. Kehidupan industri perabot mulai kembali mengeliat pada tahun 2000-an seiring dengan semakin membaiknya kondisi perekonomian negara, sehingga perlahan-lahan permintaan terhadap hasil industri ini mulai meningkat.
Pada tahun 2007 keadaan industri perabot di Kamang Hilir kembali terganggu, penyebab utamanya ialah kesulitan dalam memperoleh bahan baku untuk industri. Seriusnya pemerintah dalam memberantas illegal loging dan diperketatnya perizinan untuk menebang kayu telah menyebabkan kayu-kayu yang biasanya digunakan sebagai bahan baku untuk industri meubel di Kamang Hilir semakin sulit untuk didapatkan.

SISTEM KEKERABATAN MATRILINEAL DI MINANGKABAU: TANGGAPAN TERHADAP TEORI EVOLUSI KELUARGA BACHOFEN

SISTEM KEKERABATAN MATRILINEAL DI MINANGKABAU:
TANGGAPAN TERHADAP TEORI EVOLUSI KELUARGA BACHOFEN
Oleh: Witrianto

I. Pendahuluan
Orang Minangkabau merupakan satu di antara kelompok etnis utama bangsa Indonesia yang menempati bagian tengah Pulau Sumatera sebelah barat sebagai kampung halamannya, yang sebahagian besarnya sekarang merupakan Propinsi Sumatera Barat. Sekalipun secara statistik orang Minangkabau hanya berjumlah 3% dari seluruh penduduk Indonesia, mereka adalah kelompok etnis utama yang ke-empat sesudah orang Jawa, Sunda, dan Madura; sedangkan di Pulau Sumatera sendiri mereka merupakan kelompok etnis yang terbesar (Mochtar Naim: 1984, 14).
Nama Minangkabau konon berasal dari peristiwa “adu kerbau” dengan orang-orang dari Kerajaan Majapahit yang akhirnya dimenangkan oleh orang “Minangkabau”. Hal ini tentu saja hanya merupakan legenda yang sulit untuk dibuktikan kebenarannya. Purbatjaraka mengatakan berasal dari Minanga Kabawa, yang artinya pertemuan dua muara sungai, yaitu Sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri. H.N. van der Tuuk menyatakan berasal dari Pinang Khabu yang artinya “tanah asal”. Selanjutnya Sutan Muhammad Zain berpendirian kata itu berasal dari Binanga Kanvar, artinya “Muara Kampar”. Muhammad Hussein Nainar, Guru besar dari Universitas Madras, menyatakan berasal dari Menon Khabu yang berarti “tanah pangkal”, “tanah mulia”, atau “tanah permai” (M. Rasyid Manggis Dt. Radjo Penghulu, 1982).
Masyarakat Minangkabau dengan kekhasan budayanya telah banyak menarik perhatian peneliti dari dalam dan luar Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari bibliografi mengenai Minangkabau yang disusun oleh Joustra (1924, 1936), Kennedy (1945), Naim (1973), dan sumber kepustakaan lain. Publikasi itu ada yang mengenai antropologi fisik, struktur masyarakatnya yang matrilineal, kedudukan istimewa dari Islam dan ajaran yang bersifat patriarkat dalam suatu masyarakat yang matrilineal, mengenai bahasanya yang indah, munculnya kesusasteraan kontemporer dengan tema-tema yang menyangkut adat Minangkabau, budaya merantau dan lain sebagainya.
Orang Minangkabau menamai negerinya “Alam Minangkabau”. Mereka memahamkannya jauh lebih luas daripada batas-batas Sumatera Barat dewasa ini, oleh karena mereka juga memasukkan berbagai rantau dari sungai-sungai besar di sebelah timur, yakni Rokan, Tapung, Siak, Kampar, Kuantan atau Indragiri, dan Batanghari. Rantau Minangkabau ini juga merupakan bagian Kerajaan Minangkabau di zaman dahulu (Mochtar Naim: 1984, 16). Alam Minangkabau adalah suatu konsep yang mempunyai beberapa pengertian. Di samping mengandung pengertian geografis, konsep Alam Minangkabau juga mengandung pengertian politis (Gusti Asnan: 1995/1996, 62).
Orang Minangkabau menarik garis keturunan menurut garis ibu (matrilineal). Seseorang yang lahir dalam suatu keluarga akan masuk dalam kelompok kerabat ibunya, bukan kelompok kerabat ayahnya. Bagi seorang anak, kaum kerabat dari pihak ayahnya disebut bako. Seorang ayah berada di luar kelompok kerabat istri dan anak-anaknya. Menurut adat seorang perempuan tidak meninggalkan rumah keluarganya setelah menikah. Sementara seorang laki-laki bila menikah tidak tinggal di rumah istrinya, melainkan tetap tinggal dalam rumah keluarganya. Pada masa lalu suami mengunjungi istrinya pada malam hari saja dan ia diharapkan menggarap sawah milik istrinya. Pola menetap sesudah nikah seperti di atas dalam ilmu antropologi lazim disebut duolokal.
Dalam sistem keturunan matrilineal ini, seorang ayah dipandang dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga, yang tujuannya terutama untuk memberi keturunan. Dia disebut sumando atau urang sumando. Tempatnya yang sah adalah dalam garis keturunan ibunya tempat dia berfungsi sebagai anggota keluarga laki-laki dalam garis keturunan itu. Secara tradisi, tanggung-jawabnya setidak-tidaknya berada di situ. Dia adalah wali dari garis keturunannya dan pelindung atas harta benda garis keturunan itu sekalipun dia harus menahan dirinya dari menikmati hasil tanah kaumnya oleh karena dia tidak dapat menuntut bagian apa-apa untuk dirinya. Dia tidak pula diberi tempat di rumah orang tuanya (garis ibu) oleh karena semua bilik (kamar di rumah gadang) hanya diperuntukkan bagi anggota yang perempuan, yakni untuk menerima suami-suami mereka di malam hari.

II. Teori Evolusi Keluarga
Teori evolusi yang berkaitan dengan keluarga, pertama kali dikemukakan oleh J.J. Bachofen dalam bukunya Das Mutterecht (1861), yang berarti hukum ibu dengan bahan bukti yang tidak hanya diambilnya dari masyarakat Romawi Klasik dan Yunani Kuno, tetapi juga bahan etnografi dari masyarakat bangsa-bangsa di asia, Afrika, dan suku-suku bangsa Indian di Amerika (Koentjaraningrat: 1987, 38).
Menurut Bachofen, di seluruh dunia keluarga manusia berkembang melalui empat tingkat evolusi. Dalam zaman yang telah jauh dalam kehidupan masyarakat manusia ada keadaan promiskuitas, manusia hidup serupa sekawan binatang berkelompok, dan laki-laki serta wanita berhubungan dengan bebas dan melahirkan keturunannya tanpa ikatan. Kelompok keluarga inti sebagai inti masyarakat belum ada pada waktu itu. Keadaan ini dianggap merupakan tingkat pertama dalam proses perkembangan masyarakat manusia. Lambat laun manusia sadar akan hubungan antara si ibu dengan anak-anaknya sebagai suatu kelompok keluarga inti dalam masyarakat karena anak-anak hanya mengenal ibunya, dan tidak mengenal ayahnya. Dalam kelompok-kelompok keluarga inti serupa itu, ibulah yang menjadi kepala keluarga. Perkawinan antara ibu dengan anak laki-laki dihindari dan dengan demikian timbullah adat eksogami. Kelompok-kelompok keluarga ibu tadi menjadi luas karena garis keturunannya untuk selanjutnya diperhitungkan menurut garis ibu, maka timbul suatu keadaan masyarakat yang oleh para sarjana waktu itu disebut matriarchate. Ini adalah tingkat kedua dalam proses perkembangan masyarakat manusia. Tingkat selanjutnya terjadi karena para pria tak puas dengan keadaan ini, lalu mengambil calon-calon istri mereka dari kelompok-kelompok lain dan membawa gadis-gadis itu ke kelompok-kelompok mereka sendiri. Dengan demikian keturunan yang dilahirkan juga tetap dalam keturunan pria. Kejadian ini menyebabkan timbulnya secara lambat-laun kelompok-kelompok keluarga dengan ayah sebagai kepalanya dan dengan meluasnya kelompok-kelompok serupa itu timbullah keadaan patriarchate. Ini adalah tingkat ketiga dalam proses perkembangan masyarakat manusia. Tingkat terakhir terjadi waktu perkawinan di luar kelompok, yaitu eksogami, berubah menjadi endogami karena berbagai sebab. Endogami atau perkawinan di dalam batas-batas kelompok menyebabkan anak-anak sekarang senantiasa berhubungan langsung dengan anggota keluarga ayah maupun ibu. Dengan demikian patriarchate lambat laun hilang, dan berubah menjadi suatu susunan kekerabatan yang oleh Bachofen disebut susunan parental.
Ahli antropologi lainnya yang mengemukakan tentang teori evolusi keluarga adalah J. Lublock dan G.A. Wilken yang menyatakan bahwa manusia pada mulanya hidup berkelompok, hidup bersama, dan melahirkan keturunan tanpa ikatan. Kelompok keluarga batih (Nuclear family) yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak seperti sekarang belum ada.
Lambat-laun manusia sadar akan hubungan antara “ibu dan anak-anaknya” sebagai suatu kelompok keluarga, karena anak-anak hanya mengenal ibunya, dan tidak tahu siapa dan di mana ayahnya. Dalam kelompok keluarga batih “ibu dan anak-anaknya” ini, si ibulah yang menjadi Kepala Keluarga.
Dalam kelompok ini mulai berlaku aturan bahwa persenggamaan antara ibu dan anak lelakinya dihindari dan dipantangkan (tabu). Inilah asal mula perkawinan di luar batas kelompok sendiri yang sekarang disebut dengan istilah “adat eksogami”. Artinya perkawinan hanya boleh dilakukan dengan pihak luar, dan sebaliknya perkawinan dalam kelompok serumpun tidak diperkenankan sepanjang adat.
Kelompok keluarga itu tadi makin lama makin bertambah banyak anggotanya karena garis keturunan selalu diperhitungkan menurut”Garis Ibu”, dengan demikian terbentuk suatu masyarakat yang oleh para sarjana seperti Wilken disebut masyarakat “matriarchat”. Istilah matriarchat yang berarti ibu yang berkuasa ini, sekarang sudah ditinggalkan. Para ahli se\udah menyadari bahwa sistem “ibu yang berkuasa” itu tidak ada. Yang ada ialah keluarga yang menganut prinsip silsilah keturunan yang diperhitungkan menurut garis ibu atau dalam bahasa asing disebut garis “matrilineal”.
Dalam sistem kekerabatan matrilineal terdapat tiga unsur yang paling dominan, yaitu; (i) garis keturunan menurut garis ibu, (ii) perkawinan harus dengan kelompok lain, di luar kelompok sendiri yang sekarang dikenal dengan istilah “eksogami matrilineal”, dan (iii) ibu memegang peranan yang sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan, dan kesejahteraan keluarga.

III. Sistem Kekerabatan Minangkabau
Sistem kekerabatan yang berlaku di Minangkabau, termasuk dalam sistem kekerabatan yang bersifat ”unilineal” atau “unilateral” yaitu suatu sistem yang dalam menghitung garis keturunan hanya mengakui satu pihak orang tua saja sebagai penghubung keturunan. Dalam hal ini di Minangkabau hanya memakai ibu, karena itu disebut dengan sistem “matrilineal” atau garis keturunan ibu, atau sako-indu (Amir M.S.: 1997, 43).
Penelusuran nenek moyang serta ketentuan hubungan keluarga dalam sistem matrilineal (atau unilineal) agak mudah dan penempatan keluarga inti dalam struktur hubungan kekerabatan yang lebih luas menjadi lebih sederhana. Menurut Prof. Dr. T.O. Ihromi, S.H., M.A. dalam buku Pokok-pokok Antropologi Budaya, hubungan-hubungan yang terjadi dalam sistem kekerabatan matrilineal ini adalah:
1. Yang termasuk dalam keluarga seseorang adalah; ibu, saudara kandung, saudara seibu, anak dari saudara perempuan ibu, saudara kandung ibu, saudara seibu dengan ibu, ibu dari ibu beserta saudara-saudaranya dan anak dari saudaranya yang perempuan, anak-anak dari saudara perempuannya, dan anak dari saudara sepupu atau saudara seneneknya yang perempuan.
2. Ia sama sekali tidak punya hubungan kekerabatan dengan anak saudara laki-lakinya, anak dari saudara laki-laki ibunya, saudaranya yang seayah, bahkan juga dengan ayah kandungnya sendiri.
Dalam suatu keluarga, tanggung jawab lebih banyak berada di tangan ninik-mamak (saudara laki-laki ibu atau saudara laki-laki dari ibunya ibu). Ninik-mamak wajib mengurusi kemenakannya dan mengawasi segala sesuatu yang berhubungan dengan harta pusaka dan warisan. Hal yang sama juga menjadi peranan seorang suami di dalam keluarganya sendiri, yaitu mengawasi saudara perempuan dan kemenakan-kemenakannya. Namun pada masa sekarang, peranan ninik-mamak semakin kecil karena ia cenderung untuk mengurusi istri dan anak-anaknya sendiri dan seorang suami pun lebih banyak berperan dalam rumahtangganya. Perubahan ini terutama terlihat pada keluarga Minangkabau di perantauan.
Apabila laki-laki memiliki istri lebih dari satu (poligini) ia harus adil membagi waktu di antara istri-istrinya. Kalau terjadi perceraian, anak-anak hasil perkawinan tetap tinggal bersama ibunya. Seorang laki-laki yang mengawini seorang perempuan dari satu paruik disebut urang sumando, sedangkan keluarga si perempuan disebut pasumandan.
Sesudah nikah, yang sudah melalui suatu rangkaian upacara, sang istri tidak meninggalkan rumah kaum kerabatnya, demikian pula sang suami tetap tinggal di rumah keluarganya sendiri, kecuali dalam keadaan yang luar biasa, misalnya si suami tidak mempunyai rumah di desa itu atau keduanya mau tinggal di tempat lain. Dalam keadaan yang biasa, sang suami hanya bertemu dengan istrinya sesudah senja, atau bertemu di ladang pada siang hari, karena sang istri mengantarkan makanan pada sang suami yang bekerja di tanah milik sang istri.
Keluarga batih tadi yang kemudian mempunyai anak, sesungguhnya tidak banyak kesempatan untuk berkumpul. Sang suami hanya dianggap sebagai tamu tetap dalam keluarga itu, yaitu sebagai sumando. Keluarga batih menjadi kabur dalam sistem kekeluargaan Minangkabau di masa lalu. Masalah-masalah yang timbul dalam keluarga ditangani oleh saudara laki-laki sang istri yang dianggap sebagai majikan rumah dan itulah yang disebut mamak bagi anak-anaknya. Kelompok kerabat keluarga luas matrilokal itu disebut kaum yang berdiam dalam sebuah rumah gadang. Satu kaum dilihat dari seorang anak sebagai ego, terdiri dari saudara laki-laki dan saudara perempuannya, ibunya, saudara ibunya serta keturunan dari saudara perempuan ibunya, neneknya, serta saudara sekandung neneknya yang masih hidup beserta keturunannya. Kalau ada anggota satu kaum yang memisahkan diri mereka mendirikan rumah gadang sendiri dan memiliki sebidang tanah serta tanah pusaka. Pimpinan dari kaum yang mengatur harta kekayaan keturunannya adalah Mamak Kepala Waris.
Suatu hal yang perlu dijernihkan ialah bahwa masyarakat Minangkabau bukan masyarakat “matriarkat”, artinya bukan masyarakat yang dikuasai oleh kaum wanita. Dalam kenyataannya Kerapatan Nagari, lembaga yang menjalankan peranan utama dalam pertukaran pikiran untuk membuat keputusan yang mengikat seluruh masyarakat nagari dilakukan oleh kaum pria. Sebaliknya, orang Minangkabau pada dasarnya memang merupakan masyarakat yang matrilineal, yang menarik garis keturunan dari pihak ibu. Selain daripada itu, mereka juga mengamalkan adat matrilokal, artinya sesudah menikah menetap di lingkungan kerabat istri atau yang berpusat di rumah gadang pihak istri. Adat sesudah nikah menurut adat Minangkabau ini lebih tepat lagi disebut duolokal. Namun sekarang pasangan-pasangan yang baru menikah banyak yang memilih tempat lain di luar lingkungan kerabatnya (neolokal). Mereka menetap di rumah sendiri, atau rumah sewa, sehingga terwujud suatu keluarga batih yang menyebabkan anak-anak mereka dapat melakukan hubungan erat dengan ibu dan ayahnya (Bachtiar: 1984, 17).

IV. Hubungan dalam Lingkungan Suku
Suku atau matriclan, merupakan unit utama dari struktur sosial Minangkabau, dan seseorang tidak dapat dipandang sebagai orang Minangkabau kalau dia tidak mempunyai suku. Suku sifatnya eksogamis, kecuali bila tidak dapat lagi ditelusuri hubungan keluarga antara dua buah suku yang senama, tetapi terdapat di kampung yang berlainan. Oleh karena orang dari suku yang sama biasanya menempati lokasi yang sama, suku bisa berarti geneologis maupun teritorial, sedangkan kampung tanpa dikaitkan ke dalam salah satu suku tertentu hanyalah mengandung arti territorial semata-mata (Mochtar Naim: 1984, 18).
Pada mulanya terdapat empat suku pokok di Minangkabau, berpasang-pasangan menjadi dua kelarasan (moety): Suku Koto dan Suku Piliang termasuk Kelarasan Koto-Piliang, sedangkan Suku Bodi dan Suku Caniago termasuk Kelarasan Bodi Caniago. Dewasa ini empat suku asal ini , menurut L.C. Westenenk, telah bercabang-cabang menjadi kira-kira 96 suku yang berbeda-beda yang tersebar di seluruh nagari di Minangkabau (Ibid.). Unsur-unsur suku Koto-Piliang dan Bodi-Caniago kedua-duanya mungkin ditemukan dalam nagari yang sama sekalipun nagari itu biasanya ditandai oleh suku yang lebih dominan. Oleh sebab itu orang dapat mengatakan, umpamanya, bahwa nagari di Luhak Agam lebih banyak dikuasai oleh Suku Bodi-Caniago, nagari di Luhak Lima Puluh Kota oleh Koto-Piliang, dan nagari di Luhak Tanah Datar oleh suku campuran. Pengelompokan ke dalam Koto-Piliang dan Bodi-Caniago tidak lagi dirasakan pentingnya di masa sekarang ini oleh karena beda yang tinggal dari keduanya cuma sedikit. Dari sudut sejarah, bagaimanapun, keduanya menggambarkan dua buah sistem sosial menurut legenda yang ternukil di dalam tambo (Dt. Batuah Sango: 1954) berasal dari dua orang bersaudara tiri yang bersengketa. Keduanya dilahirkan dari satu ibu tapi lain ayah: Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Yang pertama berciri lebih aristokratis, sedang yang kedua lebih demokratis.
Suku dikepalai oleh seorang penghulu. Tiap suku biasanya terdiri dari beberapa paruik dan dikepalai oleh kapalo paruik atau tungganai. Paruik dapat dibagi lagi ke dalam jurai dan jurai terbagi lagi dalam samande (satu ibu). Cara pembagian suku seperti demikian ke dalam berbagai tingkat garis keturunan, berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya. Jurai misalnya adalah istilah yang kabur yang mungkin menunjukkan persamaan consanguinealitas saja atau pertalian kelompok di bawah atau di atas paruik. Samande, sebaliknya sukar dipandang sebagai unit yang berdiri sendiri oleh karena dua atau tiga samande bisa sama mendiami rumah yang satu dan sama memiliki harta-benda tidak bergerak lainnya. Anggota dari paruik yang biasanya memiliki harta bersama, seperti tanah bersama, termasuk sawah-ladang, rumah gadang, dan pandam pekuburan bersama. Oleh karena paruik berkembang, ia mungkin memecah diri menjadi dua paruik atau lebih, sekalipun masih dalam suku yang satu. Dan dengan berkembangnya suku ia mungkin pula terbagi ke dalam dua atau lebih suku baru yang bertalian.
Dalam satu nagari, orang yang sesuku tidak selalu terdiri dari orang-orang yang seketurunan. Hal ini dimungkinkan oleh dua hal pokok: Pertama, karena tiap nagari merupakan satu wilayah adat yang indenpendent, yang tidak terikat dengan nagari lain. Sedangkan di lain pihak terdapat mobilitas penduduk yang bebas dari satu nagari ke nagari lain. Kedua, adalah adanya pendatang baru dari luar Minangkabau yang menetap di salah satu nagari yang ada di Minangkabau. Kedua hal ini mengakibatkan keragaman (heterogenitas) dari penduduk dalam satu nagari yang tidak lagi terbatas pada ke-empat suku asal, tetapi sudah diragami oleh pendatang baru yang harus dimasukkan ke dalam struktur pesukuan yang terdapat dalam nagari itu (Amir M.S.: 1997, 61).
Semua pendatang baru ini disebut kemenakan juga oleh orang yang menerimanya, walaupun dengan hak yang berbeda dengan kemenakan asli dari pesukuan asal itu. Dengan adanya pendatang baru ini, hubungan yang ada dalam suku sebagai inti dari nagari menjadi sebagai berikut:
a. Hubungan tali darah, yaitu hubungan antara mereka yang berasal dari satu keturunan menurut garis ibu.
b. Hubungan tali budi, yaitu hubungan yang tercipta antara orang yang mempunyai suku yang sama dari satu nagari, yang pindah ke nagari lain dan menetap secara malakok (mengaku saudara) pada suku yang senama di nagari baru itu.
c. Hubungan tali emas, yaitu hubungan yang tercipta antara pendatang baru yang berasal dari luar Minangkabau, yang diterima dalam pesukuan satu nagari di Minangkabau dengan membayar semacam upeti (uang emas).

V. Kesimpulan
Minangkabau merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia yang menganut sistem kekerabatan matrilineal atau garis ibu. Menurut J.J. Bachofen, sistem kekerabatan matrilineal merupakan sistem kekerabatan yang tertua di dunia. Dari teori yang dikemukakan oleh Bachofen, dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa pada mulanya semua manusia yang ada di permukaan bumi ini, menggunakan sistem kekerabatan matrilineal. Pendapat Bachofen ini memiliki banyak kelemahan, di antaranya:
1. Teori-teorinya bersifat spekulatif, karena tidak ada contoh konkrit masyarakat yang sesuai dengan teori tersebut.
2. Tidak ada contoh konkrit yang sangat jelas dalam masyarakat yang patrilineal sebelumnya adalah matrilineal.
3. Data-data yang diperoleh tidak meyakinkan karena data-data itu diperoleh dari orang-orang seperti pengembara, penjelajah, dan pedagang yang tidak pernah melakukan penelitian secara serius atau ilmiah.
4. Teori ini bersifat etnosentris karena menganggap tahap sempurna dari teori ini adalah masyarakat Eropa dan dianggap semua masyarakat akan mengalami perkembangan yang sama seperti yang dilalui oleh masyarakat Eropa.
Pada masyarakat Minangkabau sendiri, meskipun banyak mendapat pengaruh dari unsur-unsur budaya luar, termasuk agama Islam yang patrilineal yang sekarang dipeluk oleh hampir semua orang Minangkabau, ternyata sistem kekerabatan matrilineal masih tetap bertahan. Walaupun akhir-akhir ini seorang ayah di Minangkabau sudah mulai lebih banyak mengurusi anak-anak dan istrinya daripada saudara perempuan dan kemenakan-kemenakannya, tetapi seorang anak tetap lebih dekat dengan ibu dan kerabat ibunya daripada dengan ayah dan kerabat ayahnya.
Etnis Minangkabau, walaupun menganut sistem matrilineal juga tidak dapat kita katakan memiliki peradaban yang lebih rendah dari etnis-etnis lain di sekitarnya yang menganut sistem patrilineal seperti Mentawai, Nias, dan Batak. Juga tidak terlihat adanya kemungkinan masyarakat Minangkabau secara bertahap mengganti sistem kekerabatannya dari matrilineal ke patrilineal dan berubah mengikuti suku ayahnya.
Dalam beberapa kasus, seringnya terjadi perkawinan antara etnis Minangkabau, terutama yang laki-laki dengan wanita dari etnis lain akhir-akhir ini, maka dalam hal ini bisa berlaku sistem patrilineal, dalam arti anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan itu akan ikut suku ayahnya, karena ibunya sendiri tidak punya suku dan bila ia menetap dalam suatu nagari di Minangkabau maka secara otomatis dia akan ikut suku suaminya. Sebaliknya, bila seorang wanita Minangkabau yang menikah dengan laki-laki dari etnis lain, maka suaminya akan ikut suku ayah si wanita tadi dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka akan ikut suku ibunya. Seorang anak yang mengikuti suku ayahnya karena ibunya berasal dari nagari atau tempat lain, untuk keturunan selanjutnya maka anak-anaknya akan tetap mengikuti suku ibunya.

DAFTAR PUSTAKA


Amir M.S., Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 1997.

Batuah Sango, Dt., Tambo Alam Minangkabau. Payakumbuh: Percetakan Lembaga, 1954.

Fiony Sukmasari, Perkawinan Adat Minangkabau. Jakarta: Karya Indah, 1983.

Gusti Asnam, “Rantau Minangkabau Abad 15 dan 18”, dalam Jurnal Kebudayaan Genta Budaya, No. 2 Tahun I, Nopember 1995 / Januari 1996.

Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, Pegangan Penghulu, Bundo kanduang, dan Pidato Alua Pasambahan Adat di Minangkabau. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994.

Ihromi, Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: PT Gramedia, 1981.

Junus Melalatoa, M., Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995.

Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press, 1987.

Kuper, Adam, Pokok dan Tokoh Antropologi (terjemahan Achmad Fedyani Saifuddin). Jakarta: Bhratara, 1996.

Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984

Mursal Esten, Minangkabau Tradisi dan Perubahan. Padang: Angkasa Raya, 1993.

Rasyid Manggis Dt. Rajo Penghulu, M., Minangkabau Sejarah Ringkas dan Adatnya. Jakarta: Mutiara, 1982.

Umar Junus, “Kebudayaan Minangkabau”, dalam Koentjaraningrat (ed.), Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1987.

KEARIFAN LOKAL ORANG MENTAWAI DALAM MEMPERTAHANKAN KESEIMBANGAN ALAM

KEARIFAN LOKAL ORANG MENTAWAI DALAM MEMPERTAHANKAN KESEIMBANGAN ALAM
Oleh
Witrianto

ABSTRAK

Penduduk Kepulauan Mentawai yang terdiri dari empat pulau utama, Siberut, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan sampai sekarang masih banyak yang hidup di tengah hutan tropis dan menggantungkan diri dari hasil hutan. Kehidupan mereka dicirikan oleh suatu upaya untuk memelihara keseimbangan hubungan di kalangan mereka sendiri maupun terhadap lingkungan alam. Pengaruh modern yang datang dari luar mengancam kesimbangan ini. Makalah ini menyajikan suatu gambaran singkat tentang budaya tradisional orang Mentawai yang berhubungan dengan upaya melestarikan lingkungan untuk menjaga keseimbangan alam.Kearifan lokal diperlukan untuk membantu orang Mentawai mengembangkan suatu arah pembangunan yang tidak akan menghancurkan identitas budaya mereka.

I. Pendahuluan
Pengalaman pembangunan selama ini makin menyadarkan banyak pihak di Indonesia akan perlunya perhatian yang besar terhadap aspek-aspek sosial-budaya dalam mengatasi masalah-masalah pembangunan. Akan tetapi, disadari juga bahwa kegagalan program-program pembangunan tidak selalu terjadi semata-mata karena diabaikannya kebudayaan lokal dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Sebaliknya, kegagalan itu terjadi karena meskipun aspek sosial-budaya sudah dipertimbangkan, para perencana pembangunan masih memiliki persepsi yang keliru mengenai pandangan budaya, falsafah, atau hal-hal yang bermakna bagi masyarakat sasaran. Dengan kata lain, mereka belum cukup memperoleh informasi untuk dapat memahami hakekat dari kebudayaan lokal dan kemampuan budaya masyarakat setempat, sehingga kurang dapat mengidentifikasikan dan menerjemahkan kebutuhan masyarakat tersebut yang sebenarnya.
Konsep-konsep “identitas kebudayaan” dan “identitas nasional” seringkali mengacu pada hal-hal yang sangat berbeda satu sama lain. Berbagai tradisi kebudayaan dapat hidup bersama-sama dalam suatu bangsa, atau sebaliknya suatu tradisi kebudayaan dapat juga menjadi bagian dari beberapa bangsa. Clifford Geertz, seorang ahli antropologi Amerika, sejak tahun 1963 sudah menunjukkan bahwa hal ini seringkali dirasakan sebagai suatu ancaman oleh negara-negara Dunia Ketiga yang baru lepas dari belenggu penjajahan. Negara-negara seperti ini khawatir bahwa “ikatan-ikatan primordial”, yakni ikatan-ikatan dengan tradisi lokal, akan menjadi lebih kuat daripada perasaan memiliki sebuah negara baru, dan pada akhirnya mungkin akan menggoyahkan kesatuan dari bangsa yang bersangkutan (Schefold, 1985).
Indonesia, sebuah bangsa yang memiliki sejarah tradisi dan regional yang sangat banyak dan beraneka ragam, juga menghadapi masalah ini. Kekhawatiran bahwa nilai-nilai bangsa mungkin akan disamakan dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh etnis mayoritas, yakni etnis Jawa, sampai saat ini dapat ditemui dalam lingkungan etnis-etnis lainnya di Indonesia. Etnis-etnis minoritas yang besar, seperti Batak, Minangkabau, dan Bali, sangat sadar akan eksistensi mereka dan memiliki kesanggupan untuk mempertahankan posisi mereka. Tidak demikian halnya dengan etnis-etnis yang lebih kecil, yang seringkali memiliki tradisi yang arkais. Hal ini menyebabkan mereka menempati suatu posisi dengan tekanan berganda. Mereka bukan saja menghadapi masalah mengenai bagaimana agar mereka dapat tampil dalam panggung tradisi-tradisi kebudayaan Indonesia, tetapi juga dihadapkan pada suatu pertanyaan yang sangat mendasar mengenai apakah dewasa ini masih ada tempat bagi tradisi-tradisi arkais seperti yang mereka miliki.
Pertanyaan yang muncul mengenai, apakah tradisi-tradisi tersebut dapat dikembangkan sehingga tetap lestari dalam suatu masyarakat modern tanpa kehilangan artinya? Apakah etnis-etnis minoritas tersebut dapat diharapkan untuk mempertimbangkan sendiri kemungkinan-kemungkinan yang dapat dipilih dan kemudian juga memilih arah perkembangan yang paling bermanfaat bagi mereka dalam jangka waktu panjang? Makalah ini mencoba untuk mengkaji pertanyaan-pertanyaan tersebut, dan mengusulkan suatu jawaban yang memungkinkan, dalam konteks kebudayaan tradisional Mentawai.

II. Gambaran Umum Kepulauan Mentawai
Secara geografis Kepulauan Mentawai merupakan rangkaian gugusan kepulauan yang membujur dari Utara ke Selatan. Secara administratif Kepulauan Mentawai yang terletak di wilayah Pantai Barat Pulau Sumatera ini merupakan sebuah kabupaten dengan ibukota Tuapejat yang terletak di Pulau Sipora. Kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Padang Pariaman ini termasuk dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat.
Kepulauan ini terdiri dari 72 buah pulau-pulau besar dan kecil yang keseluruhan luasnya mencapai 6.549 km2. Di antara pulau-pulau yang besar adalah Pulau Siberut, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan. Secara administratif pula, wilayah kepulauan ini dibagi atas empat kecamatan, yaitu: (1) Kec. Siberut Utara dengan luas 2.137 km2, (2) Kec. Siberut Selatan dengan luas 1.763 km2, (3) Kec. Sipora dengan luas 916 km2, dan (4) Kec. Pagai Utara-Selatan dengan luas 1.733 km2 (Abidin, 1997).
Keterkaitan secara ekonomi antara penduduk satu pulau dengan penduduk pulau lainnya dalam gugusan Kepulauan Mentawai dapat dikatakan tidak ada oleh karena kelompok-kelompok masyarakat yang hidup pada masing-masing pulau itu, kebutuhan pangannya sebagian besar mereka hasilkan sendiri, sedangkan kelebihan dari kegiatan usahanya, yang berasal dari sektor kehutanan dan pertanian dipasarkan ke Padang melalui pedagang-pedagang pengumpul yang umumnya berasal dari masyarakat daratan Sumatera. Begitu juga halnya dengan kebutuhan-kebutuhan sandang serta kebutuhan lainnya yang tidak dapat dihasilkan oleh masyarakat itu didatangkan dari Padang.
Dengan demikian, sebagai suatu suatu Wilayah Pembangunan, di Kepulauan Mentawai antara satu pulau dengan pulau lainnya tidak mempunyai hubungan ekonomi yang berarti satu sama lainnya. Hubungan antara masyarakat Mentawai dengan para pndatang, baik para pedagang maupun aparatur pemerintah lebih berorientasi pada kepentingan dagang dan pelaksanaan tugas secara formal.
Pulau Siberut merupakan pulau terbesar di Kepulauan Mentawai, dan terletak kira-kira 100 kilometer di sebelah Barat Pulau Sumatera. Pulau ini berbentuk memanjang dengan luas 4.480 km2, hampir seluas Pulau Bali. Bagian timur pulau yang berbentuk landai, mudah dicapai dari arah Sumatera. Pada umumnya laut di sini cukup tenang. Teluk-teluk dan tanjung yang berpantai karang putih nampak diselingi oleh hutan bakau. Mereka yang berlayar dengan perahu di sepanjang pantai dapat melihat muara-mura sungai yang berlumpur dan berkelok-kelok menuju ke laut. Bagian barat pulau tersebut menyajikan pemandangan yang sangat berbeda dari pemandangan di bagian timur. Bagian ini membentuk suatu garis pantai yang lurus dan curam yang sesungguhnya merupakan tepi terjauh dari Benua Asia. Oleh karena letaknya yang demikian, pantai Barat Siberut ini seringkali dihempas oleh gelombang samudra yang datang dari Afrika. Hanya pada muara Sungai Sagulubbe, yang terletak di sebelah selatan, dan Sungai Simalegi, di sebelah utara, terdapat teluk-teluk yang mendapat perlindungan gosong-gosong karang, tempat kapal-kapal dapat membuang sauh pada saat cuaca baik.
Bagian pedalaman pulau merupakan daerah berbukit-bukit, dengan ketinggian maksimum 384 meter. Oleh karena tanah di bukit-bukit ini lunak dan hampir tak terdapat batu karang, maka dapat dilihat adanya pola-pola erosi yang luar biasa yang mengakibatkan lereng-lereng yang curam dan punggung bukit yang terjal. Di antara lereng-lereng bukit ini terdapat anak-anak sungai yang berbelok-belok menuju ke sungai-sungai yang lebih besar. Sungai-sungai yang lebih besar ini membawa hasil endaqpan lumpur yang subur, dan mengubah daerah perbukitan tersebut menjadi daerah dengan lembah-lembah yang lebar. Dapat dikatakan bahwa di daerah pedalaman tersebut hujan selalu turun sepanjang tahun, yakni rata-rata setiap dua hari sekali. Pada masa-masa curah hujan yang terbanyak, yakni pada bulan April dan Oktober, sungai-sungai dapat meluap sampai lebih dari lima meter dalam waktu beberapa jam saja. Luapan sungai ini bahkan dapat mengubah seluruh wilayah lembah menjadi sebuah danau yang besar.
Hutan lebat yang menutupi lebih dari 90 persen pulau ini merupakan satu-satunya hal yang dapat melindungi pulau ini dari erosi. Akibat dari isolasi geografis dalam waktu panjang – ada perkiraan yang menyatakan sekitar setengah juta tahun – maka hutan ini kaya akan tumbuh-tumbuhan dan binatang khusus yang hanya hidup di kawasan ini. Empat jenis monyet besar dri Mentawai sangat menarik perhatian para ahli zoologi.

III. ORANG MENTAWAI
Pemukiman orang Mentawai di Pulau Siberut terpusat di sepanjang sungai-sungai yang terdapat di pulau tersebut. Akar-akar kebudayaan dari penduduk pulau ini langsung berasal dari zaman Neolitik, yaitu dari akhir zaman batu. Pada zaman itu, lebih dari 3.000 tahun yang lalu, berbagai bangsa dari Benua Asia bermigrasi ke wilayah Indonesia, dan lambat laun menetap di berbagai pulau. Walaupun bukan di Mentawai, kebudayaan Neolitik ini di berbagai pulau di Indonesia kemudian diubah menjadi kebudayaan permulaan zaman logam (yaitu kebudayan “Dongson”), yang antara lain juga meliputi kebudayaan-kebudayaan Batak, Dayak, dan Toraja. Perubahan-perubahan lain menyusul dengan masuknya kebudayaan Hindu, yang dewasa ini masih nampak di Bali, dan Islam, agama yang sekarang ini paing banyak dianut di Indonesia. Saat ini, tradisi zaman Neolitik tidak dapat ditemukan secara utuh di mana pun di Indonesia, terkecuali di Mentawai (dan juga di Papua).
Akan tetapi, penduduk Pulau Siberut tidak lagi membuat peralatan mereka dari batu. Sudah sejak banyak generasi yang lalu, mereka telah melakukan perdagangan sistem barter dengan para nelayan dan pedagang dari Sumatera di mana mereka mempertukarkan buah kelapa dan rotan dengan parang dan mata kapak logam. Hanyalah merupakan legenda belaka bahwa terdapat raksasa-raksasa jahat yang disebut silakonaina yang menggunakan alat-alat yang terbuat dari batu. Tradisi Neolitik yang sederhana dari orang Mentawai nampak lebih jelas dalam organisasi kehidupan mereka sehari-hari.
Sistem ekonomi tradisional Siberut berkaitan erat dengan tanahnya yang subur, luas tanah yang tersedia, dan melimpahnya bahan pangan. Makanan pokok penduduk Siberut adalah sagu. Tepung yang dihasilkan dari bagian dalam sebatang pohon sagu yang ditumbuk dapat menopang kehidupan satu keluarga selama berminggu-minggu. Menanam mengolah sagu merupakan pekerjaan laki-laki. Sedangkan jenis tanaman lain digarap oleh perempuan. Mereka menanam talas di kebun-kebun dekat sungai, yang tanahnya menjadi subur berkat lumpur yang dibawa banjir. Di samping bercocok tanam, orang Mentawai, baik laki-laki maupun perempuan, juga beternak ayam dan babi.
Dalam masyarakat Mentawai juga terdapat aktivitas-aktivitas mata-pencaharian hidup lainnya. Kaum perempuan biasanya menangkap udang dan ikan-ikan kecil di sungai dengan menggunakan tangguk, sedang kaum laki-laki berburu monyet, rusa, dan babi hutan dengan panah beracun di hutan. Mereka juga memanfaatkan hasil-hasil hutan, seperti rotan, kayu bakar, dan batang-batang pohon untuk membuat perahu dan rumah.
Dalam sistem mata-pencaharian hidup mereka, orang Mentawai membagi pekerjaan semata-mata berdasarkan jenis kelamin. Selain itu, pembagian kerja yang ada pada mereka juga didasarkan atas kemampuan fisik. Pembagian kerja juga mengandung unsur yang berkenaan dengan ruang. Pada umumnya, seorang laki-laki Mentawai memiliki kebun sagu dan kelapa yang tersebar di seluruh lembah. Untuk mengurus kebun-kebunnya ini, pada waktu-waktu tertentu ia dapat meninggalkan rumah selama berhari-hari. Sebaliknya, kaum perempuan mengurus kebun pisng dan talas yang berada di dekat rumahnya. Begitu juga halnya dengan masalah wilayah perburuan. Laki-laki pada umumnya berburu sampai jauh ke dalam hutan rimba, sedang perempuan menangkap ikan hanya di sekitar wilayah pemukiman.
Kesatuan produksi dalam sistem mata-pencaharian hidup orang Mentawai adalah keluarga. Akan tetapi, keluarga bukanlah pusat dari kehidupan orang Mentawai, karena keluarga bukan merupakan kesatuan yang dapat berdiri sendiri. Kesatuan dalam kehidupan orang Mentawai adalah uma, yaitu kelompok orang yang berdiam bersama dalam sebuah rumah besar yang dibangun di atas tiang-tiang kayu, biasanya terdiri dari lima sampai sepuluh keluarga.
Selain orang Mentawai, di Pulau Siberut juga terdapat para pendatang yang terdiri dari berbagai etnis, antara lain orang Minangkabau sebagai kelompok terbesar, serta etnis-etnis lain seperti orang Jawa, Batak, Aceh, dan Palembang (Swasono, 1997). Para pendatang ini umumnya hidup di tepi pantai, sebagian di antaranya telah bermukim untuk waktu yang cukup lama, serta memantapkan diri dalam pekerjaan sebagai pedagang. Sebagian kecil dari mereka bekerja sebagai pegawai negeri yang bertugas di daerah ini. Masyarakat pendatang ini menyebut diri sebagai orang tepi, untuk membedakan diri mereka dengan orang Mentawai yang mereka anggap sebagai “orang pedalaman”.
Di antara kedua kelompok ini umumnya masih jarang terdapat hubungan perkawinan. Penganutan terhadap sistem kepercayaan tradisional masih tampak menonjol pada orang Mentawai, meskipun mereka telah dirangkul untuk memeluk agama Kristen dan Islam. Interaksi antarindividu dari kedua pihak (penduduk asli dan pendatang) biasanya hanyalah sejauh menyangkut kepentingan matapencaharian. Orang tepi membutuhkan ketrampilan dan keahlian orang Mentawai untuk mencari hasil hutan, terutama rotan dan gaharu. Untuk diekspor ke luar daerah dan ke luar negeri. Sebaliknya orang Mentawai membutuhkan penduduk pesisir terutama untuk membeli hasil ladang mereka.
Mulai tahun 1987 (31 Januari 1987), Kepulauan Mentawai juga diramaikan dengan hadirnya transmigran yang berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, terutama di kawasan Tuapejat, Pulau Sipora (Abidin, 1997). Gugusan kepulauan sebelah utara, sejak dahulu telah merupakan tempat persinggahan penduduk dari Pulau Nias, Pulau Tello, dan kemudian berangsur-angsur diikuti oleh pendatang dari Tapanuli Utara.
Cara hidup sebagian penduduk asli masih berkelana (nomaden), setengah berkelana, dan sebagian telah menetap. Mereka biasanya tinggal mengelompok dengan rasa sosial yang sangat kuat. Program pemukiman resettlement, seringkali sulit diterapkan, terutama bagi penduduk asli yang masih memiliki kebiasaan berpindah-pindah itu. Hal ini dapat dipahami, karena ketergantungan mereka pada alam masih tinggi. Kecuali penduduk asli yang sudah banyak bergaul dengan para pendatang dan telah mengecap pendidikan modern, pada umumnya mereka tidak lagi suka berpindah-pindah.
Dilihat dari segi kepercayaan, penduduk asli Mentawai, terutama yang masih di pedalaman masih erat menganut kepercayaan yang mengagungkan roh nenek moyang dan percaya kepada benda-benda, batu-batu, dan pohon-pohon yang dianggap mempunyai kekuatan magis. Kepercayaan tersebut dinamakan Arat Sabulungan, yang dalam bahasa asli disebut ketsat atau kere.
Semenjak dihapuskan kepercayaan Arat Sabulungan, jadilah daerah-daerah di Kepulauan Mentawai sebagai lahan untuk menyebarkan agama-agama resmi. Zending Kristen Protestan sangat gencar melakukan missinya di kepulauan ini, dengan cara menitikberatkan pada peningkatan ekonomi, pendidikan, dan pertukangan. Missionaris Katholik dari Keuskupan Padang, juga tidak kalah gencarnya menyampaikan missinya, terutama di daerah Pagai Utara-Selatan. Untuk menarik minat penduduk asli, penyiar agama Kristen mempergunakan konsep-konsep lama (Arat Sabulungan) untuk menampung konsep baru dalam agama Kristen. Konsep ketsat dalam agama lama yang diartikan sebagai kesaktian dari roh nenek moyang, kemudian diartikan sebagai Roh Kudus (Danandjaja & Koentjaraningrat, 2002).
Agama Islam termasuk agama yang paling dahulu masuk ke kepulauan Mentawai, yaitu sejak tahun 1621 ketika orang Tiku mulai berhubungan dagang dengan orang Mentawai. Akan tetapi, perkembangan Islam di Kepulauan Mentawai tidak sepesat perkembangan agama Kristen Protestan dan Katholik. Penganut Islam dalam jumlah yang agak banyak terutama terdapat di beberapa desa, seperti Muara Siberut, Saliguma, Matotonan, Sarausau, Madobak, Taileleu, Sioban, Berialou Katiet, Tuapejat, Matobek, Muara Sikabaluan, Sigapokan, Simalegi, Sagistik, Sigapokan, Sikakap, Buriai Baru, dan lain-lain (Abidin, 1997).

IV. Keseimbangan dan Ketakseimbangan dalam Dunia Orang Mentawai
Dunia orang Mentawai bercirikan adanya ketegangan-ketegangan atau konflik-konflik yang bersifat tetap, dan ditandai dengan usaha-usaha untuk mengurangi konflik-konflik tersebut dan untuk memelihara keseimbangan. Pertentangan-pertentangan ini terwujud dalam tiga bidng: (1) hubungan-hubungan dalam uma; (2) hubungan-hubungan antar-uma; dan (3) hubungan antara manusia dengan lingkungannya.
Dalam sebuah uma berlaku solidaritas yang sifatnya menyeluruh. Hasil kerja dari sebuah keluarga adalah milik keluarga yang bersangkutan, namun keluarga tersebut juga harus siap untuk membantu keluarga lain yang membutuhkan bantuan. Prinsip solidaritas secara khusus nampak dalam kebiasaan makan. Misalnya saja, tabu untuk memakan daging seorang diri. Bila seorang warga uma berhasil dalam perburuan, hasil tersebut harus dibagiakan secara adil, sehingga setiap keluarga dari uma tersebut menerima jumlah daging yang sama. Apabila akan diadakan perayaan yang besar, maka sebelumnya seluruh anggota uma berunding berapa ekor babi yang akan disumbangkan oleh masing-masing keluarga, tergantung jumlah babi yang mereka miliki. Babi-babi sumbangan ini diserahkan kepada uma untuk disembelih. Selanjutnya, dibagikan kembali, sehingga setiap orang yang hadir menerima bagian yang sama banyaknya.
Sifat hubungan antara uma, tidak jauh berbeda dengan sifat hubungan yang terdapat di dalam uma. Cara hidup yang ideal bagi warga Siberut adalah hidup bersama secara damai, dalam arti masing-masing warga tidak saling menggangu satu ama lain. Namun demikian terdapat juga cita-cita yang bertentangan, yaitu yang menyangkut kebanggaan dan keinginan dari setiap uma untuk mengungguli uma-uma lainnya. Setiap uma dengan penuh kewaspadaan akan menjaga hak-hak serta kedudukannya, dan segera mencurigai uma tetangga, seakan-akan mereka mempunyai maksud tidak baik. Dalam masyarakat Siberut, terdapat semacam pola rasa ketidakpercayaan, persaingan, dan ketegangan-ketegangan yang kadang-kadang dapat menyebabkan timbulnya permusuhan terbuka. Akan tetapi, kecenderungan yang mengarah pada persaingan yang demikian dapat diimbangi oleh kebutuhan akan kerjasama antar-uma. Uma tetangga dapat dimintai bantuannya jika salah sebuah uma tertentu akan melakukan suatu pekerjaan besar, seperti pembangunan rumah uma yang memang biaya pembangunannya tidak mungkin ditanggung oleh uma yang bersangkutan saja.
Suatu uma harus melihat pada uma-uma lainnya untuk kebutuhan mencari istri. Seluruh keluarga dalam suatu uma di Siberut merupakan keturunan dari satu garis laki-laki yang sama. Para istri diambil dari masyarakat uma yang lain. Seorang perempuan, setelah menikah, akan menjadi anggota uma suaminya. Jika dia menjadi janda, maka ia akan kembali ke uma asalnya di mana ia akan menerima sebidang tanah dan ikut serta dalam rumahtangga seorang saudara laki-lakinya atau kerabat laki-lakinya.
Kepercayaan religius orang Mentawai mencerminkan kehidupan sosial mereka. Keseimbngan dan keserasian dalam hubungan-hubungan yang dicita-citakan di dalam dan antar-uma juga diterapkan dalam dunia supranatural mereka. Menurut orang Mentawai, segala yang ada, baik manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan, maupun benda-benda, masing-masing memiliki jiwa sendiri. Semua roh dan jiwa ini saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lain. Tanpa campur tangan manuia, kekuatan-kekuatan ini berada dalam suatu keadaan yang seimbang. Akan tetapi, karena kegiatan manusia yang berkenaan dengan mata-pencaharian hidupnya, maka keseimbangan ini menjadi terganggu. Manusia terpaksa membunuh agar ia tetap dapat hidup.
Dengan demikian orang Mentawai menganggap bahwa setiap campur tangan dalam lingkungan sebagai sesuatu yang menggelisahkan, karena hal itu akan mengganggu keseimbangan yang terdapat dalam lingkungan. Gangguan ini, seperti gangguan-gangguan pada tingkat sosial, dapat mengandung bahaya. Obyek-obyek yang mendapat campur tangan seperti itu, umpamanya pohon yang ditebang, bisa berontak melawan perlakuan buruk terhadap dirinya tersebut. Selanjutnya mereka akan membalas perlakuan buruk itu pada diri manusia. Kemarahan mereka ini dapat membuat manusia menjadi sakit.
Konflik yang terjadi antara satu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya dapat diperlunak dengan pembentukan persekutuan-persekutuan, dan dengan saling memperhatikan dan saling memberi secara timbal balik. Prinsip yang sama diterapkan juga pada hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Paa orang Mentawai, bila mereka akan pergi berburu,maka ia akan dilarang memakan makanan tertentu, dilarang mandi di sungai, dan juga dilarang melakukan hubungan seks. Dengan menahan diri dari kegiatan-kegiatan tersebut, secara tidak langsung mereka telah memperkecil campur tangan mereka terhadap lingkungan.
Dalam kehidupan orang Mentawai, konsepsi mengenai penyakit dan kematian yang tak wajar merupakan hal-hal yang pokok. Hal ini disebabkan oleh tingkat kematian di antara mereka cukup tinggi. Dari setiap perkawinan, rata-rata hanya dua orang anak yang dapat hidup terus hingga dewasa. Orang Mentawai percaya bahwa manusia harus tetap menjaga hubungan baik dengan jiwa agar mereka terhindar dari segala penyakit dan segla akibatnya. Hubungan baik yang harus mereka jalin ini sama halnya seperti mereka harus menghormati kebutuhan kawan-kawan serta tetangga-tetangga mereka.

V. Pemahaman Terhadap Kebudayaan Mentawai
Masyarakat pendatang dan sebagian personil dari aparat pemerintahan setempat yang bertindak sebagai agen pembaharu, cenderung untuk tidak hanya melihat melihat kebudayaan orang Mentawai sangat berbeda dengan kebudayaan mereka sendiri, namun juga menganggap bahwa kebudayaan orang tepi lebih tinggi daripada kebudayaan orang Mentawai tersebut, karena alasan-alasan tertentu. Ha ini sering terlontar dari komentar-komentar mereka tentang cara hidup dan kebiasaan orang Mentawai yang dianggap amat berbeda dengan cara hidup mereka, dan dinilai lebih “terbelakang” daripada cara hidup para pendatang itu.
Orang tepi sering merasa aneh cara berpakaian kabit (cawat) pada orang Mentawai, mengingat di zaman peradaban masa kini, pakaian relatif mudah diperoleh. Alasan berpakaian kabit yang dikaitkan dengan keperluan bekerja dalam kondisi lingkungan hutan yang menjadi pertimbangan orang Mentawai, agaknya masih sulit dibayangkan oleh pendatang yang tidak terbiasa bekerja di hutan. Begitu pula mereka kurang memahami keterikatan orang Mentawai itu terhadap hutan dan ladangnya sebagai bagian dari arena kehidupan mereka.
Sama halnya, para pendatang belum dapat memahami tentang masih dijalankannya masa istirahat punen, pada saat tuntutan dari luar untuk bekerja rutin dalam memperoleh hasil hutan telah makin meningkat, dan menjadikan suatu peluang ekonomi bagi masyarakat pedalaman itu. Sikap mental orang Mentawai yang dianggap kurang responsif terhadap program-program pembangunan yang diterapkan oleh aparat desa setempat, yang sebenarnya dilandasi oleh perasaan kedekatan terhadap wilayah dan pentingnya makna satuan tempat dan satuan-satuan kegiatan di dalamnya, pada satuan-satuan waktu yang berbeda, nampaknya belum termasuk dalam pemahaman para pelaksana program pembangunan itu, walaupun menganggap telah mencoba memahami kebudayaan orang Mentawai dalam melaksanakan program-program pembangunan di wilayah itu.
Berkenaan dengan sistem religi, para pendatang yang sebagian besar beragama Islam, sulit menerima kepercayaan tradisional orang Mentawai yang berisi pemujaan terhadap dewa-dewa dan roh leluhur. Para pendatang ini juga menganggap rendah perilaku orang Mentawai makan hewan mati yang ditemukan saat berburu di hutan. Alasan orang Mentawai bahwa semua yang diberikan oleh dewa-dewa mereka harus diterima dan disyukuri, sulit mereka pahami, karena menurut ajaran Islam, makan bangkai dilarang.
Selanjutnya jika terdengar komentar-komentar yang cenderung negatif dari orang tepi, kadang-kadang juga dari para agen pembaharu, bahwa orang Mentawai “malas”, “memboroskan uang untuk barang-barang tak berharga”, “bodoh”, “terbelakang”, atau pun “terbatas kebutuhan pokoknya”, maka semua stereotip itu pada dasarnya terjadi akibat kurangnya pemahaman mereka terhadap kebudayaan masyarakat terasing itu dan karena etnosentrisme yang dimiliki oleh para pendatang itu. Nampaknya masih terdapat interpretasi yang keliru terhadap nilai-nilai budaya dan norma masyarakat terasing ini, serta amat kurangnya pemahaman tentang konsepsi budaya tentang tataruang orang Mentawai yang melandasi kegiatan mereka sehari-hari.
Kurangnya pemahaman terhadap kebudayaan orang Mentawai oleh orang tepi itu sering diikuti oleh timbulnya sikap yang kurang simpatik dari mereka dari masyarakat ini. Adanya stereotip dari pihak para pendatang yang umumnya memiliki pengalaman dan kemampuan yang lebih tinggi dari segi ekonomi dan pendidikan daripada masyarakat Mentawai itu, sering mengakibatkan respons yang kurang menyenangkan dari mereka terhadap masyarakat Mentawai itu. Para pendatang, misalnya, tidak jarang menetapkan harga yang terlalu rendah ketika membeli hasil-hasil ladng orang Mentawai ini. Keadaan yang sering menempatkan orang Mentawai dalam posisi tidak memiliki pilihan untuk tawar-menawar itu, jelas merugikan bagi tujuan membina keserasian hubungan sosial di antara kelompok-kelompok penduduk di Pulau Siberut itu.
Di pihak lain, keengganan orang Mentawai untuk meninggalkan uma dan ladang mereka di pedalaman untuk mencari pekerjaan di daerah pesisir tampaknya masih dilandasi oleh dua hal. Pertama, hal itu menunjukkan masih kuatnya pandangan budaya mereka mengenai tataruang yang mengatur berbagai aktivitas kehidupan sepanjang tahunnya menurut penataan wilayah berdasarkan unsur sakral dan nonsakral, meskipun dalam praktiknya sudah terdapat perubahan dibanding masa lalu. Kedua, hal itu dipengaruhi oleh sikap masyarakat pendatang di pesisir yang masih belum sepenuhnya menunjukkan harmoni, melainkan hanya terbatas pada kepentingan tertentu saja, dan pada posisi yang tidak setara, akibat masih adanya sikap “merendahkan” kebudayaan masyarakat terasing ini.

VI. Perubahan Sosial-Budaya di Mentawai
Beberapa tahun terakhir ini, perubahan sosial-budaya telah makin banyak dialami oleh orang Mentawai di Pulau Siberut, melalui peningkatan jumlah para pendatang untuk mengeksploitasi lingkungan alam setempat. Hal ini menyusul masuknya program-program pembangunan desa yang sudah lebih dahulu diterapkan melalui aktivitas kepala desa, sebagai jajaran terbawah dalam hirarki pimpinan dalam sistem pemerintahan nasional, bersama aparatnya. Perubahan ini tentu saja tak dpat dihindari, dan akan selalu terjadi, antara lain sebagai bentyuk komitmen Pemerintah Republik Indonesia untuk meningkatkan lingkungan dan taraf hidup rakyatnya.
Masuknya unsur luar secara bertahap telah mengubah lingkungan pemukiman masyarakat Mentawai, di antaranya datang dari berbagi pihak seperti:
1. Pihak HPH yang mengekploitasi hutan di kawasan itu selama beberapa tahun
2. Perusahaan pengolahan sagu yang memperoleh izin mengeksplorasi hutan sagu
3. Para investor swasta yang meningkatkan eksploitasi hasil hutan dengan mempekerjakan orang Mentawai
4. Masuknya jenis-jenis makanan baru yang dibawa pedagang dari luar
5. Biro wisata
6. Penerapan Program Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT) oleh Departemen Sosial RI
7. Sejumlah agen perubahan lain dari pemerintah beserta program-program mereka, di antaranya pranata puskesmas dengan sistem medis modernnya.
Penerapan program-program pembangunan di lingkungan suatu masyarakat yang merupakan penduduk asli, telah dan akan terus merubah tatanan lingkungan alam maupun ritme kehidupan masyarakat tersebut dari keadaannya yang semula. Di lingkungan masyarakat Mentawai di Pulau Siberut, telah terjadi pula perubahan pada organisasi sosial mereka yang bersifat tradisional. Di beberapa desa misalnya, tokoh rimata tidak berperan aktif lagi dalam pranata kkerabatan pada kln-klen orang Mentawai. Kedudukan mereka telah digantikan oleh kepala kerabat dalam rumahtangga dengan ruang lingkup keanggotaan kerabat yang lebih kecil, sehingga aktivitas bersama dalam kesatuan klen besar makin jarang terwujud. Di desa-desa lainnya, peranan rimata digantikan oleh kepala desa yang merupakan bagian dari sistem pemerintahan nasional.
Peranan sikerei sebagai penyembuh tradisionaldi beberapa tempat juga sudah semakin berkurang, antara lain dengan masuknya puskesmas dan diperolehnya berbagai jenis obat-obatan yang dijual bebas di warung. Sementara itu, upacara ritual pengobatan yang seharusnya bersifat sakral, di beberapa tempat telah berubah menjadi bagian dari aktraksi wisata bagi para wisatawan asing.
Orang Mentawai tidak begitu siap menghadapi serangan yang demikian gencar terhadap cara-cara tradisional mereka. Hanya di bagian pedalaman Siberut yang tidak mudah dicapai, terdapat uma-uma besar yang masih menjalankan tradisi mereka sampai pada tingkat tertentu. Dari sudut pandang yang obyektif, orang Mentawai sebenarnya dapat hidup dengan lebih baik dalam sistem mereka sendiri yang bersifat subsisten daripada harus hidup dengan pendapatan yang sangat rendah. Lagi pula dalam sistem ekonomi yang bersifat subsisten ini, juga terdapat kemungkinan-kemungkinan perkembangan secara bertahap, yang tidak perlu mengikuti garis Barat, dan yang tidak akan menghancurkan taat kehidupan mereka sendiri.
Program Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing oleh Depsos RI tetap berjalan. Kenyataan bahwa orang Mentawai menerima untuk dimukimkan kembali di lokasi yang dekat dengan desa mereka yang lama, namun cenderung menolak bila dimukimkan kembali di lokasi yang jauh dari lokasi uma lama mereka. Hal ini menunjukkan tentang masih kuatnya makna uma dalam kehidupan mereka. Jika tempat pemukiman baru yang dibangun oleh PKMT Depsos RI berada tidak jauh dari uma lama mereka, maka kesempatan untuk menjalankan ritual dalam memenuhi kebutuhan spiritual mereka secara kontimu masih tetap ada. Namun apabila PKMT dibangun di lokasi yang jauh dari uma, masyarakat kehilangan kesempatan atau kemudahan untuk menjalankan kehidupan spiritual mereka.
Walaupun merupakan hal yang kurang menguntungkan dan perlu diluruskan, kiranya dapat pula dipahami alasan dari masyarakat Mentawai di Pulau Siberut untuk menerima dengan baik para wisatawan budya dari luar negeri yang datang ke uma mereka untuk menikmati cara hidup, kebudayaan materi mereka, serta keindahan lingkungan alam di sekitar uma dan ladang mereka. Orang Mentawai menganggap wisatawan asing ini lebih memahami cara hidup mereka daripada orang tepi yang cenderung melihat kebudayaan orang Mentawai itu melalui sudut pandang dan ukuran yang berbeda.
Namun perbedaan respons semaca, ini perlu ditata kembali, mengingat adanya perbedaan di antara kepentingan pihak pemerintah danj kepentingan pihak wisatawan terhadap kehidupan masyarakat Mentawai itu. Para wisatawan yang bertolak dari kebutuhan mereka untuk menikmati cara hidup dan kebiasaan masyarakat yang berbeda dengan adat-istiadat mereka sendiri, cenderung lebih menginginkan dipertahankannya cara-cara hidup lama dari orang Mentawai itu, termasuk yang sebenarnya menghambat kemajuan masyarakat itu, demi kepentingan konsumsi wisata untuk dapat mreka nikmati.
Sebaliknya, berdasarkan kontribusi negara kita yang melihat semua sukubangsa dalam status yang sama. Pemerintah mempunyai komitmen untuk membangun seluruh kelompok masyarakat di Indonesia yang taraf hidupnya masih rendah, untuk secara bertahap ditingkatkan menjadi setara dengan taraf hidup warga suku-sukubangsa lainnya yang sudah lebih baik. Untuk itu pembangunan yang menuntut perubahan unsur-unsur kebudayaan tertentu dari masyarakat yang akan dibina, tidak dapat dihindari.

VII. Kesimpulan
Orang Mentawai merupakan bagian yang aktif dari keseimbangan ekologis yang tradisional di kepulauan itu. Keseimbangan ekologi itu ada bersama dengan orang Mentawai itu sendiri. Orang Mentawai sejak lama telah mengembangkan aturan-aturan ritual tertentu yang mengungkapkan konsepsi mereka tentang keseimbangan dan harmoni. Melalui aturan-aturan ritual tersebut sekaligus juga tindakan perusakan lingkungan dapat dicegah. Umpamanya saja, melalui tabu-tabu yang keras yang sejak dulu mereka kenal, penduduk asli Mentawai dicegah untuk melakukan perburuan yang dapat mengancam kehidupan binatang. Akan tetapi, kehidupan satwa liar akan tetap terancam bilamana wilayah hutan ini akan semakin kurang akibat eksploitasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan kayu, dan juga bilamana perubahan sosial yang tiba-tiba membawa orang Mentawai kepada pelanggaran aturan-aturan perburuan mereka.
Salah satu hal terpenting pada masyarakat Mentawai adalah konsepsi budaya mereka mengenai tataruang, yang melandasi berbagai aktivitas mereka pada satuan-satuan waktu yang berbeda pada satuan-satuan tempat tertentu. Pemahaman hal itu tampaknya hingga kini belum cukup dimiliki pihak agen pembaharu. Akibatnya, meskipun pihak agen pembaharu sudah menyadari tentang perlunya perhatian terhadap aspek sosial budaya dari masyarakat terasing itu sebagai landasan meningkatkan taraf hidup mereka, sikap “merendahkan” terhadap cara-cara hidup orang Mentawai masih tak terhindarkan. Hal ini dapat mendorong situasi yang menghambat tercapainya komunikasi dan interaksi yang baik di antara kedua pihak, atau menimbulkan ketidaktepatan dalam pemahaman dan penetapan keputusan bagi pembinaan mereka.









DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Mas’oed. 1997. Islam dalam Pelukan Muhtadin Mentawai 30 Tahun Perjalanan Da’wah Ila’llah Mentawai Menggapai Cahaya Iman 1967 – 1997. Dewan Dahwah Islamiyah Indonesia. Padang.

Danandjaja, James & Koentjaraningrat. 2002. “ Penduduk Kepulauan Sebelah Barat Sumatra” dalam Koentjaraningrat (ed.). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan. Jakarta.

Geertz, Clifford. 1963. “The Integrative Resolution: Primordial Sentiments and Civil Politics in the New States” dalam Clifford Geertz (ed.). Old Societies and New States: The Quest for Modernity in Asia and Africa. The Free Press. Glencoe.

Persoon, Gerard & Reimar Schefold. 1985. Pulau Siberut: Pembangunan Sosio-Ekonomi, Kebudayaan Tradisional dan Lingkungan Hidup. Penerbit Bhratara Karya Aksara. Jakarta.

Schefold, Reimar. 1985. “Keseimbangan Mentawai dan Dunia Modern” dalam Michael R. Dove (ed.). Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Sunaryo, Astrid S. 1994. Usaha Pemberantasan Kemiskinan dengan Pendekatan Sosial dan Budaya. Gramedia. Jakarta.

Swasono, Meutia F. 1997. “ Budaya Mentawai: Konsepsi Tata Ruang” dalam M. Junus Melalatoa (ed.). Sistem Budaya Indonesia. PT. Pamator. Jakarta.