Selasa, 15 September 2009

SURAU JEMBATAN BESI: CIKAL BAKAL LAHIRNYA PENDIDIKAN ISLAM MODERN DI PADANGPANJANG

SURAU JEMBATAN BESI: CIKAL BAKAL LAHIRNYA PENDIDIKAN ISLAM MODERN DI PADANGPANJANG

Oleh

Witrianto[1]

Pendidikan adalah usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah tingkah laku manusia ke arah yang diinginkan. Batasan ini berlaku baik untuk pendidikan formal maupun non formal.

Kegiatan mendidik atau pendidikan bisa terjadi di tempat-tempat yang memang disediakan untuk itu, seperti sekolah dengan guru sebagai pendidiknya, atau di rumah dengan orangtua yang dengan kata, sikap, dan perilakunya berusaha untuk membentuk sikap, pandangan hidup anak-anaknya. Saudara atau teman dapat juga menjadi pendidik, karena penolakan atau penerimaan mereka terhadap perilaku seseorang menentukan seseorang itu untuk dapat mempertahankan sikap atau mengharuskan mengubah sikap atau perilaku.

Dalam masyarakat sederhana, pada awalnya pendidikan dimaksudkan untuk mengajarkan budaya, yaitu mengajar anak untuk mengetahui dan mengamalkan nilai-nilai dan tatacara yang berlaku dalam masyarakat. Proses ini berjalan secara informal, anak belajar melalui pengamatan pada lingkungannya dan orang-orang yang terdekat dengan dia. Sikap yang harus dilakukan dalam menghadapi situasi tertentu diketahui dalam pengamatan atau pengalaman. Jadi dalam masyarakat sederhana, semua orang yang lebih tua dan berpengalaman adalah pendidik, begitu pula alam sekitarnya. Namun, dalam masyarakat yang lebih kompleks, makin banyak yang harus diketahui anak untuk bisa hidup dalam lingkungan masyarakatnya dengan baik, karena itu anak tidak dapat lagi belajar “dengan sendirinya”. Seseorang memerlukan cara yang lebih efisien untuk dapat menerima transmisi budaya dan pengetahuan yang begitu banyak. Untuk itu diperlukan adanya pendidikan yang formal dengan guru sebagai pendidik dan terbagi dalam berbagai jenjang dan kekhususan.

Jadi dapat dikatakan bahwa pendidikan berlangsung secara formal dan non-formal, selama hidup, dan dilaksanakan di sekolah, di surau, di dalam keluarga, dan di tengah masyarakat. Pada masyarakat Minangkabau, alam atau lingkungan tempat tinggal pun dapat berfungsi sebagai “guru” sesuai dengan falsafah adat Minangkabau yang berbunyi “Alam takambang jadi guru” (Alam terkembang jadi guru), yang maksudnya adalah bahwa orang Minangkabau harus dapat mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian yang ada di sekitarnya.

Pendidikan semiformal yang pertama di Minangkabau, sebelum kedatangan bangsa Barat yang memperkenalkan sistem pendidikan yang menggunakan pembagian kelas, adalah pendidikan surau. Pendidikan diberikan melalui pengajian yang diberikan oleh guru atau ulama dengan menggunakan huruf Arab-Melayu. Di surau, diajarkan berbagai pengetahuan seperti pengetahuan agama, ilmu silat, kebudayaan atau adat istiadat, dan juga ilmu politik. Pada tahap ini belum dikenal adanya pembagian kelas dalam belajar, yang menjadi tujuan pokok pengajaran adalah agar murid dapat memahami agama Islam dengan benar dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Pendidikan surau merupakan sistem pendidikan yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Minangkabau. Sejak awal masuknya pengaruh Belanda di Minangkabau, lembaga pendidikan ini sudah mendapat sorotan yang tajam dari Pemerintah Kolonial Bealanda. Kenneth R. Young dalam analisisnya terhadap lembaga pendidikan surau ini di zaman pemerintahan kolonial menyebutnya sebagai tempat persekutuan yang canggung, tetapi kekuasaan agama yang bebas tetap berlaku. Berdasarkan sekolah-sekolah agama yang disebut surau, para pemimpinnya sering dicurigai dan dilihat dengan rasa cemas oleh pegawai pemerintah.

Pendidikan surau pada tingkat awal adalah mempelajari Al-Qur’an yang dimaksudkan untuk dapat membaca dan mengulangnya tanpa begitu memerlukan pemahaman isinya. Pelajaran yang diberikan tidaklah dalam kelas yang bersifat teratur baik, sebaliknya sang guru berganti-ganti menghadapi muridnya secara perorangan di tengah riuh rendahnya anak-anak lain yang tengah mengulang kaji mereka. Dengan sendirinya kemajuan pendidikan si murid semata-mata bergantung kepada ketekunan dan kecakapannya sendiri dalam belajar.

Sistem pengajaran dan pendidikan yang tidak teratur ini juga terlihat di pesantren. Sebuah kelas di pusat-pusat pendidikan ini terdiri dari sekelompok murid-murid yang mempunyai perbedaan umur yang menyolok. Buya Hamka, salah seorang yang pernah menempuh pendidikan surau, dalam bukunya yang berjudul Ayahku, mengatakan bahwa murid-murid surau dalam belajar duduk di lantai mengelilingi sang guru untuk menerima pelajaran yang diberikan oleh guru mereka. Murid-murid tersebut membentuk halaqah, yang berbentuk lingkaran dan semuanya menerima pelajaran yang sama. Tidak dirancang suatu kurikulum tertentu, berdasarkan umur, lama belajar, atau tingkat-tingkat pengetahuan.

Pada tingkat permulaan ini, di samping murid-murid belajar membaca Al-Qur’an, murid-murid juga diajari cara-cara bersembahyang (shalat) seperti cara berwhudu, dan menghafal bacaan sembahyang. Walaupun si murid belum lagi dapat menghafal seluruh bacaan shalat, murid-murid dilatih untuk dpat ikut shalat secara berjama’ah agar terbiasa dalam melakukan kewajiban shalat ini. Di samping itu beberapa masalah theologi (ketuhanan) juga diajarkan masalah iman. Garis besarnya berpusat pada sifat dua puluh (Sifat ini biasanya dianut oleh kalangan tarekat-tarekat, terutama Tarekat Naqsabandiyah). Dalam hal ini, pembicaraan adalah menyangkut masalah iman kepada Allah dengan keesaan Tuhan atau tauhid, serta dengan maksud untuk menjauhkan diri dari “syirik”, yaitu suatu dosa besar menyekutukan Allah yang dalam ajaran Islam dianggap sebagai dosa yang tak terampunkan.

Ciri lain dari sistem pengajaran dan pendidikan surau ini adalah biasanya diberikan pada waktu petang atau malam hari. Hal ini disebabkan karena biasanya anak-anak di kampung atau di desa-desa pada pagi atau siang hari bekerja membantu orangtuanya di sawah atau di ladang. Guru-guru juga harus mencari nafkah pada waktu pagi atau siang hari, yaitu dengan melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh masyarakat lainnya termasuk bertani di sawah atau di ladang. Hal ini merupakan pola umum dalam sistem pendidikan agama di daerah pedesaan Minangkabau. Guru bukanlah seorang profesional, ia mengajarkan ilmunya tak lebih sebagai tuntutan dalam berdakwah. Oleh sebab itu murid-murid yang belajar tidak dibebani biaya pendidikan dalam jumlah tertentu.

Dalam lingkungan wilayah Batipuh X-Koto sistem surau atau halaqah ini juga berkembang sebagaimana daerah-daerah lainnya di Minangkabau. Beberapa halaqah yang cukup menonjol di sekitar Padangpanjang ialah:

1. Halaqah Surau Kapeh-kapeh di Paninjauan

2. Halaqah Surau Haji Miskin di Kototinggi Pandaisikek

3. Halaqah Surau Pamansiangan di Kotolaweh

4. Halaqah Surau Khadi Bandaro di Jaho

5. Halaqah Surau Tuanku Lima Puluh di Malalo

6. Halaqah Surau Tuanku Pakak di Subang-anak Batipuh

7. Halaqah Surau Syekh Al-Jufri di Gunungrajo.

Di Padangpanjang sendiri juga terdapat sistem pendidikan surau yang bersifat halaqah. Yang paling terkenal di antaranya adalah Surau Jembatan Besi yang didirikan oleh Haji Abdul Madjid. Sistem pendidikan di Surau Jembatan Besi berkembang menjadi sistem madrasah, setelah masuknya Haji Abdullah Ahmad dan Haji Rasul mengajar di surau ini sekembalinya dari Mekkah pada tahun 1904. Sebelumnya pelajaran yang diberikan di surau ini dilakukan secara tradisional dengan pelajaran-pelajaran yang memang biasa diberikan seperti fiqhi dan tafsir Al-Qur’an yang merupakan pelajaran utama dalam surau tersebut.

Kedatangan Haji Abdullah Ahmad dan Haji Rasul telah membawa perubahan yang besar dalam lembaga ini. Sasaran utama dari Haji Rasul adalah kurikulum dari Surau Jembatan Besi. Pelajaran yang lebih ditekankan adalah pelajaran ilmu pengetahuan berupa kemampuan untuk menguasai bahasa Arab dan cabang-cabangnya. Tekanan pada pelajaran ini dimaksudkan untuk memungkinkan murid-murid mempelajari sendiri kitab-kitab yang diperlukan dan dengan demikian secara lambat laun dapat mengenal Islam dari kedua sumber utamanya yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Surau Jembatan Besi ini akhirnya berkembang menjadi lembaga pendidikan yang lebih penting dan mungkin paling berpengaruh di Minangkabau, yaitu Sekolah Thawalib.

Awal mula berdirinya Sumatera Thawalib tidak bisa dipisahkan dari sejarah surau dan berbagai organisasi yang berdiri di Minangkabau. Kehadiran Sumatera Thawalib sebaagi perguruan atau sekolah adalah melancarkan programnya dalam pendidikan dan pengajaran. Digiatkannya program ini dihubungkan orang juga dengan misi Kristen serta kelahiran dan pengembangan lembaga pendidikan umum atau sekolah. Pengaruh Kristen memang sangat dirasakan dan pengaruh ini semakin meningkat dengan berdirinya gereja dan sekolah-sekolah zending di seluruh Nusantara, termasuk daerah tetangga Minangkabau, yaitu Tapanuli. Begitu juga petugas-petugas gereja yang aktif dan agresif keluar masuk kota dan menyebarkan Kristen dengan membagi-bagikan Injil kepada Masyarakat. Kegiatan ini dilengkapi pula dengan beredarnya berbagai surat kabar dan majalah yang memuat artikel-artikel kaum misionaris dan berisi propaganda gerejani.

Beberapa surau yang sangat penting artinya bagi Sumatera Thawalib adalah Surau Batusangkar, Surau Sungaibatang Maninjau, Surau Parabek Bukittinggi, dan terutama Surau Jembatan Besi Padangpanjang. Semua surau itu dibina dan dikembangkan oleh sejumlah haji, murid-murid Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabaui, sepulangnya mereka dari belajar dan menunaikan ibadah haji awal abad ke-20.

Surau Jembatan Besi Padangpanjang adalah awal pangkal sejarah Sumatera Thawalib, atau dengan kata lain Sumatera Thawalib dahulunya adalah Surau Jembatan Besi. Surau ini bernama Surau Jembatan Besi, atau dalam bahasa daerahnya Surau Jambatan Basi, karena ia terletak di dekat sebuah sungai kecil yang mempunyai jembatan terbuat dari besi dan pada waktu itu terletak di pinggir Kota Padangpanjang. Kota ini sudah berstatus sebagai kota sejak tahun 1888 berdasarkan Surat Gubernur Hindia Belanda tertanggal 1 Desember 1888, Nomor 1 (Stbl. No. 181/1888) dan dipimpin oleh seorang Asisten Residen. Semenjak tahun 1920, kota ini sudah diakui dan terkenal sebagai “Pusat Pembaharuan Islam”, “Kota Pelajar” dan “Kota Pergerakan Kemerdekaan”.

Pada waktu itu Padangpanjang baru menjelma menjadi kota dalam status, tetapi belum dalam bentuk fisik, karena daerahnya masih berupa semak belukar, sawah, dan ladang, di sini sudah terdapat juga beberapa surau, terutama di daerah-daerah yang rapat penduduknya, seperti Batipuh dan X-Koto. Surau-surau ini melaksanakan fungsi tradisionalnya sesuai dengan fungsi surau yang telah diterapkan dahulu. Begitu juga Surau Jembatan Besi, mulai berdiri sampai melahirkan Sumatera Thawalib, tidak berbeda dengan surau-surau lainnya. Haji M.D. Datuk Palimokayo menyatakan bahwa pengajian di Surau Jembatan Besi sudah berjalan lama sebelum tahun 1900. Tuangku atau gurunya yang pertama adalah Syekh Abdullah. Sistem yang dipakai sama dengan sistem pengajian yang terdapat di surau-surau lainnya, yaitu dengan sistem halaqah.

Sistem Halaqah adalah sistem pengajian atau pendidikan yang dipakai surau-surau di Minangkabau dengan cara murid-murid duduk bersila mengelilingi guru yang mengajar, bebas tanpa kelas, diselenggarakan pagi sampai siang, siang sampai sore, atau juga malam hari setelah Magrib sampai waktu tidur tiba. Sering juga murid-muridnya dibagi atas kelompok putri, anak-anak, dan remaja. Mereka secara tetap diasuh oleh guru bantu, di bawah koordinasi guru tuo yang bertanggung jawab kepada seorang tuangku.

Mahmud Yunus mengatakan bahwa surau ini didirikan oleh Haji Rasul pada tahun 1914. Abdullah Ahmad kembali dari Mekkah pada tahun 1899. Setibanya di Padangpanjang, beliau langsung mengajar di Surau Jembatan Besi. Ini berarti bahwa surau ini sudah berdiri waktu itu. Menurut Hamka, surau ini adalah milik Abdullah Ahmad, putra H. Ahmad, seorang ulama yang disegani dan pedagang yang sukses di Padangpanjang. H. Ahmad mengajari sendiri putra-putranya mengaji di surau yang didirikannya (Surau Jembatan Besi). Dari tujuh orang anaknya, menurut pengamatannya ternyata hanya Abdullah Ahmad seorang yang mempunyai kecerdasan serta kesadaran agama yang tinggi. Atas dasar inilah setelah Abdullah Ahmad tamat Sekolah Dasar dan mengaji dengannya, ia mengirim Abdullah Ahmad untuk menunaikan ibadah haji dan melanjutkan belajar Islam di Mekkah tahun 1895-1899. Surau yang didirikannya kemudian diserahkan kepada Abdullah Ahmad setelah pulang dari Mekkah.

Abdullah Ahmad memanfaatkan surau ini untuk mengabdikan ilmu dan pikirannya secara tekun, bertindak sebagai tuangku, mendidik anak-anak, baik yang berasal dari lingkungan surau maupun yang datang dari luar daerah itu, karena nama Abdullah Ahmad yang baru pulang dari menunaikan ibadah haji itu mulai harum. Surau inilah yang kemudian bernama Surau Jembatan Besi, setelah jembatan kayu yang menghubungkan dua tepi sungai kecil yang mengalir di samping surau itu diganti dengan besi.

Abdullah Ahmad melanjutkan pemberian pendidikan Islam di suraunya itu tetap menurut tradisi, tidak mengubah, menambah, atau menguranginya. Beliau dibantu oleh kakak beradik Syekh Abdul Latif dan Syekh Daud Rasyidi. Akhirnya Abdullah Ahmad menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab dan pengelolaan di surau ini kepada kedua pembantunya itu sedang dia sendiri mulai memikirkan hal yang lain.

Syekh Daud Rasyidi yang diserahi tanggung jawab kemudian mulai mengembangkan pendidikan dan pengajaran Islam menurut caranya. Ia bukan saja mengajar murid-muridnya mengaji, tetapi juga mengajar mereka bermasyarakat dan memimpin jamaah, khususnya masyarakat Padangpanjang yang sudah diramaikan juga oleh kegiatan dagang.

Pada tahun 1906, Haji Abdul Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan panggilan Haji Rasul, pulang dari Mekkah. Pada mulanya ia menetap dan mengajar agama di suraunya sendiri di Maninjau, kampung halamannya. Pada waktu itu Daud Rasyidi pergi ke Maninjau, berguru kepada Haji Rasul. Selama hampir dua tahun ia bolak-balik antara Padangpanjang – Maninjau, mengajar dan belajar, akhirnya ia berangkat ke Mekkah dan pimpinan Surau Jembatan Besi diserahkannya kepada kakaknya Abdul Latif Rasyidi, sampai akhir hayatnya.

Sementara itu Haji Rasul sendiri diminta Abdullah Ahmad untuk memajukan pengajian Surau Jembatan Besi dengan cara berulang-ulang dari Maninjau ke Padangpanjang. Walaupun kesibukannya di Maninjau cukup padat, karena di samping mengajar mengaji, dia juga sudah mulai menghadapi kekuasaan kaum adat, namun permintaan rekannya di atas dipenuhinya juga. Tidak berapa lama berulang antara Maninjau – Padangpanjang, karena Abdullah Ahmad sudah mulai berhasil mendirikan HIS Adabiah di Padang, maka Haji Rasul diminta beliau pula untuk pindah ke Padang, kota yang lebih ramai.

Permintaan ini pun dipenuhi oleh Haji Rasul. Oleh karena itu pindahlah ia ke Padang, mengajar dan bersama-sama Abdullah Ahmad mengasuh majalah Al-Munir. Sementara itu, tugas bolak-balik ke Padangpanjang tetap dilakukannya, tetapi sekarang bukan dari Maninjau ke Padangpanjang lagi, melainkan dari Padang ke Padangpanjang. Bersama-sama dengan Abdul Latif Rasyidi, pengajian Surau Jembatan Besi makin ditingkatkannya. Sewaktu Haji Abdul Latif meninggal dunia, seluruh ummat Islam di Padangpanjang sepakat untuk meminta Haji Rasul menetap di Padangpanjang dan memimpin Surau Jembatan Besi. Atas restu Abdullah Ahmad, permintaan masyarakat ini dikabulkannya dan mulai tahun 1912, ia menetap di Padangpanjang sekaligus pemimpin tunggal Surau Jembatan Besi.

Setelah Haji Rasul menetap di Padangpanjang dan memimpin Surau Jembatan Besi, bertambah ramailah anak-anak yang datang dari seluruh Minangkabau mengaji ke surau ini. Dalam beberapa tahun saja setelah itu, Surau Jembatan Besi telah menjadi pusat pengajian yang besar.

Nama Haji Rasul semakin harum dan semakin tersebar luas, baik di sekitar wilayah Minangkabau maupun di luarnya. Surau Jembatan Besi yang dipimpinnya menjadi “Pusat jala pumpunan ikan” bagi segenap lapisan masyarakat yang ingin menuntut ilmu agama Islam.

Sistem pendidikannya masih tetap tidak berubah, tetapi isi pengajiannya sudah dikembangkan. Kepada murid-murid ditanamkan semangat baru, yaitu semangat berdiskusi, berpikir bebas, membaca, memahami, dan berkumpul atau berorganisasi. Kitab-kitab mulai dibaca dan didiskusikan. Murid-murid boleh bertanya dan mendebat.

Sistem pendidikan yang dikembangkan oleh Haji Rasul merupakan salah satu faktor yang mendorong Sumatera Thawalib untuk menyusun salah satu programnya yang lebih jelas dan terarah dalam bidang pendidikan, yaitu mengubah berbagai pengajian surau di daerah-daerah yang strategis menjadi sekolah-sekolah Islam untuk mengimbangi sekolah-sekolah sekuler yang didirikan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Minangkabau. Lahirlah Thawalib School atau Perguruan Thawalib atau Sumatera Thawalib atau dengan nama lainnya. Sebagai lembaga pendidikan agama plus umum, semua bersatu dalam satu corak, ide, dan tujuan, yaitu menandingi sekolah umum, membendung pengaruh Kristen, dan melahirkan cendikiawan Muslim untuk kemajuan Islam dan ummatnya.



[1] Penulis adalah staf pengajar Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas, saat ini sedang menempuh pendidikan di Program S-3 Program Studi Pembangunan Pertanian Universitas Andalas Padang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar