Selasa, 15 September 2009

218 TAHUN KOTA PADANGPANJANG: PUSAT PERDAGANGAN DAN PENDIDIKAN ISLAM DI PEDALAMAN MINANGKABAU

218 TAHUN KOTA PADANGPANJANG:
PUSAT PERDAGANGAN DAN PENDIDIKAN ISLAM DI PEDALAMAN MINANGKABAU
Oleh
Witrianto

Sebuah kota tidaklah lahir dengan sendirinya, melainkan tumbuh melalui proses sejarah yang panjang. Lahirnya kota-kota di Indonesia pada umumnya terbentuk secara alamiah dan jarang direncanakan sebelumnya. Kota-kota di Indonesia sebelum kedatangan bangsa Barat hanyalah merupakan gugusan perumahan tanpa aturan dan tanpa rencana tata kota. Hal ini terjadi karena kota, pada waktu itu hanya berfungsi sebagai tempat dagang dan kadangkala sebagai tempat pemukiman sementara atau musiman. Hanya kota sebagai pusat pemerintahan atau kerajaan saja yang bersifat permanen.
Menurut asal katanya kota atau city dalam bahasa Inggris berasal dari kata Latin, civitas yang juga berati peradaban untuk membedakannya dengan kehidupan primitif yang peradabannya lebih rendah. Pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi kemudian telah membuat kota menjadi semakin kompleks, sehingga sulit mendefinisikan kota secara komprehensif dan representatif. Kota tidak hanya mengandung aspek fisik, tetapi juga aspek non-fisik. Aspek fisik meliputi geografis, topografis, iklim, dan sebagainya. Aspek non-fisik meliputi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya.
Kota Padangpanjang tumbuh seiring dengan dipindahkannya pasar di Pekan Jum’at Nan Usang dekat Panyalaian ke tengah padang yang panjang atau ke Pasar Usang semenjak tahun 1818 yang juga diramaikan setiap hari Jum’at. Pasar ini dikenal dengan nama Pekan Jum’at Padangpanjang. Pada perkembangan selanjutnya karena penduduk Padangpanjang bertambah ramai juga dan pasar Padangpanjang telah banyak didatangi oleh pedagang-pedagang dari luar, maka kegiatan pasar diadakan dua kali dalam satu minggu yakni hari Jum’at dan Senin.
Pasar Padangpanjang yang terletak di persimpangan jalan Bukittinggi, Batusangkar, Solok, dan Padang dalam perkembangannya tidak dapat lagi menampung segala kegiatan perdagangan. Oleh karena itu timbullah keinginan pemerintah daerah untuk memindahkan kegiatan pasar itu ke arah timur, yaitu dekat Balai-balai. Keinginan itu dapat disetujui oleh Laras nan VII dan penghulu kepala se Batipuh X-Koto. Realisasi pemindahan pasar tersebut baru dapat dilaksanakan pada tahun 1906 yaitu ditandai dengan dibangunnya enam buah los..
Pembangunan los pasar ini disesuaikan dengan jenis barang dagangan yang akan diperjualbelikan. Barang-barang yang diperdagangkan seperti los kasur, los kumango, los beras, los daging dan ikan, los sayur, dan los kelapa. Pembangunan los pasar di Pasarbaru ini diresmikan pada tahun 1913 yang dimeriahkan dengan pasar keramaian dan pacuan kuda.
Dengan diresmikannya pemakaian pasar baru Padangpanjang ini maka pasar Padangpanjang semakin ramai dikunjungi oleh pedagang-pedagang yang beraneka ragam pula pola dan jenis dagangannya. Pola yang umum adalah pedagang menetap dan sebagai pedagang keliling. Sejak itu Padangpanjang berkembang sebagai kota perdagangan yang cukup penting di daerah pedalaman Minangkabau.
Seiring dengan itu berkembanglah pemukiman-pemukiman baru terutama daerah-daerah di sekitar pusat pasar baru tersebut seperti Balai-balai, Bancahlaweh, Kampungmanggis, Tanah-hitam, dan lain-lain. Pola pemukiman ini juga disesuaikan dengan daerah asal mereka masing-masing seperti Kampung Pariaman, Kampung Sungaipuar, dan Kampung Kumango. Hal ini dapat pula dilihat dari nama-nama surau yang ada di Padangpanjang seperti Surau Pariaman, Surau Kumango, dan Surau Sungaipuar. Untuk penduduk yang berasal dari luar Minangkabau juga dapat dilihat dengan adanya Kampung Jawa, Kampung Nias, Kampung Cina, dan Kampung Keling.
Pada tanggal 1 Desember 1888, berdasarkan Surat Gubernur Hindia Belanda Nomor 1 (Stbl. No. 181/1888), Padangpanjang ditetapkan sebagai ibukota Luhak atau Afdeeling Batipuh en X-Koto (Padangpanjang), dengan asisten residennya yang pertama, H. Prins. Meskipun demikian, jauh sebelum ditetapkan sebagai ibukota Afdeeling Batipuh en X-Koto, di Padangpanjang sudah ada pemukiman masyarakat yang berciri perkotaan yang ditandai dengan ditemukannya fasilitas air minum untuk penduduk Kota Padangpanjang yang berangka tahun 1790.
Atas dasar penemuan fasilitas air minum ini, tahun 1790 dianggap sebagai tahun lahirnya Kota Padangpanjang karena sejauh ini angka tahun tersebutlah yang paling tua yang sudah ditemukan. Adapun tanggal 1 Desember yang ditetapkan sebagai hari ulangtahun Kota Padangpanjang diambil dari tanggal diresmikannya Padangpanjang sebagai ibukota Afdeeling Batipuh en X-Koto oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tanggal 1 Desember 1888. Penggabungan kedua peristiwa bersejarah tersebut kemudian melahirkan kesepakatan yang menetapkan hari lahir Kota Padangpanjang pada tanggal 1 Desember 1790.
Setelah berusia 218 tahun pada tahun 2008 ini, peran Padangpanjang sebagai kota perdagangan dan pusat pendidikan Islam di daerah pedalaman Minangkabau mulai mengalami pergeseran. Pasar Padangpanjang meskipun masih eksis dan tetap ramai, terutama pada hari Senin dan Jum’at, namun perannya sudah jauh berkurang dan tertinggal jauh dibanding pasar-pasar yang ada di Kota Bukittinggi. Saat ini masyarakat yang masih setia berbelanja di pasar Padangpanjang di samping warga Kota Padangpanjang sendiri, terutama adalah masyarakat dari Kecamatan Batipuh, sebagian Pariangan, sebagian Rambatan, dan sebagian X-Koto, serta masyarakat dari kawasan Kayutanam dan Sicincin di Kabupaten Padang Pariaman. Sebagian masyarakat Kecamatan X-Koto, terutama yang bertempat tinggal di Kotobaru, Aie-angek, Pandaisikek, dan sebagian Panyalaian saat ini lebih senang berbelanja ke Bukittinggi daripada ke Padangpanjang dengan alasan pilihan barang lebih banyak dan harga-harganya yang juga lebih murah.
Hampir tidak adanya trayek bus antarkota yang khusus menuju Padangpanjang ikut mempengaruhi melemahnya fungsi Padangpanjang sebagai kota perdagangan. Saat ini rute trayek antarkota yang khusus menuju Padangpanjang hanyalah Bukittinggi – Padangpanjang dan Batusangkar – Padangpanjang yang merupakan kota-kota yang letaknya relatif tidak terlalu jauh dari Padangpanjang. Armada yang melayani kedua rute trayek tersebut pun lebih mirip kendaraan angkutan kota daripada kendaraan antar-kota dalam provinsi. Kendaraan menuju kota-kota lainnya di Sumatera Barat seperti Padang, Solok, Pariaman, Payakumbuh, Sawahlunto, Sijunjung, Lubuksikaping, dan lain-lain hanya lewat saja di Padangpanjang. Itupun hanya melewati daerah pinggiran kota dan tidak melalui Pasar Padangpanjang sebagai urat nadi perekonomian Kota Padangpanjang.
Untuk menghidupkan kembali peran Padangpanjang sebagai pusat perdagangan di pedalaman Minangkabau dan sekaligus sebagai pintu gerbang masuknya barang-barang dari daerah Pesisir menuju Darek atau sebaliknya, Pemerintah Kota Padangpanjang punya setumpuk tugas yang harus diselesaikan, seperti menghidupkan terminal Bukitsurungan dengan membuka trayek-trayek antar-kota yang memang bertujuan ke Padangpanjang, seperti Padang – Padangpanjang, Solok – Padangpanjang, Payakumbuh – Padangpanjang, Pariaman – Padangpanjang, Sawahluinto – Padangpanjang, Sijunjung – Padangpanjang, dan lain-lain seperti yang diterapkan oleh Kota Padang, Bukittinggi, dan Solok yang punya banyak trayek dengan berbagai kota di Sumatera Barat dan luar Sumatera Barat.
Di samping berperan sebagai kota perdagangan, peran penting Padangpanjang di awal pertumbuhannya terutama adalah perannya sebagai pusat pendidikan Islam di Minangkabau. Perguruan-perguruan Islam yang ada di Padangpanjang seperti Sumatera Thawalib dan Diniyah Puteri merupakan lembaga pendidikan yang menjadi barometer bagi lembaga pendidikan sejenis di tanah air. Pelajar di kedua lembaga pendidikan tersebut tidak hanya dari Padangpanjang dan kota-kota di Minangkabau saja, tetapi juga berasal dari negeri-negeri yang jauh seperti Yogyakarta, Lombok, Ternate, Halmahera, Sulawesi, dan Malaya.
Pada perkembangan selanjutnya sekolah-sekolah agama kemudian banyak bermunculan di Pulau Jawa, dan karena letaknya yang dekat dengan pusat kekuasaan menjadikan lembaga-lembaga pendidikan tersebut lebih cepat berkembang karena lebih mudah diakses dibandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan yang berada di luar Jawa. Meski mendapat saingan yang kuat dari lembaga sejenis yang ada di Pulau Jawa, Padangpanjang ternyata tetap merupakan tujuan utama pendidikan Islam di Minangkabau. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Yayasan Islam seperti Diniyah Puteri, Thawalib Putra, Thawalib Putri, Serambi Mekkah, dan sekolah yang dikelola oleh Yayasan Masjid Jihad merupakan sekolah yang cukup bergengsi di Padangpanjang. Untuk tingkat Sekolah dasar, lulusan sekolah-sekolah yang dikelola oleh Yayasan Perguruan Islam ini dianggap lebih baik dibandingkan sekolah yang dikelola oleh Yayasan Pendidikan agama lain, seperti Sekolah Xaverius. Pesantren-pesantren yang ada di Kota Padangpanjang seperti Diniyah Puteri, Thawalib Putra, dan Thawalib Putri, sampai saat ini masih tetap eksis dan lulusannya tersebar di seluruh Minangkabau. Para lulusan ketiga pesantren tersebut memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat Minangkabau. Pesantren yang usianya relatif masih muda seperti Serambi Mekkah juga sudah menunjukkan eksistensinya sebagai pesantren yang cukup diminati oleh kalangan generasi muda Minangkabau dan sekitarnya yang haus akan ilmu agama.
Sekolah agama yang dikelola oleh Pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama seperti MTsN Padangpanjang, saat ini juga diakui sebagai Tsanawiyah terbaik di Sumatera Barat, bahkan di Indonesia. Begitu pula untuk tingkat Aliyah, sekolah-sekolah Aliyah yang ada di Padangpanjang, seperti MAN Kotobaru, MAN Gunung, dan MAN 3 selalu diminati oleh murid-murid yang berdatangan dari berbagai daerah di Sumatera Barat dan dari provinsi tetangga terutama Jambi, dan Riau. Berbeda dengan daerah lainnya, di Padangpanjang siswa-siswa yang memasuki sekolah agama bukanlah sebagai pelarian atau alternatif kedua karena tidak diterima di sekolah umum negeri. Mereka memilih sekolah agama sebagai pilihan utama dan mereka merasa bangga menjadi murid sekolah agama.
Sebutan Padangpanjang sebagai pusat pendidikan Islam di Minangkabau juga turut dirasakan oleh daerah-daerah sekitar Kota Padangpanjang yang pesantrennya ikut menjadi maju karena mendompleng nama besar Padangpanjang. Hal ini bisa dilihat pada Pesantren Nurul Ikhlas yang terletak di Pincuran Tinggi Panyalaian Kec. X-Koto Kab. Tanah Datar, Pesantren Az-Zikra di Aie Angek Kec. X-Koto, dan Pesantren Jaho yang juga terletak di Kec. X-Koto. Pesantren-pesantren tersebut, meskipun berlokasi di Kabupaten Tanah Datar, tetapi karena letaknya tidak jauh dari Kota Padangpanjang, ikut terdongrak namanya. MAN Kotobaru yang pernah menjadi salah satu MAN terbaik di Indonesia pun sesungguhnya juga terletak di Nagari Kotobaru Kec. X-Koto Kab. Tanah Datar. Meskipun demikian, di mana-mana orang mengenal MAN ini sebagai MAN Kotobaru Padangpanjang, bukan MAN Kotobaru Kab. Tanah Datar. Untuk tingkat MTsN pun, MTsN Padangpanjang sebenarnya juga tidak terletak di wilayah Kota Padangpanjang. MTsN ini berlokasi di Gantiang yang merupakan bagian dari Nagari Panyalaian Kec. X-Koto Kab. Tanah Datar. Sama seperti MAN Kotobaru, MTsN ini dianggap orang berada di Kota Padangpanjang, apalagi nama resminya adalah MTsN Padangpanjang, bukan MTsN Panyalaian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar