Rabu, 16 September 2009

PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP PERUBAHAN POLA PELAPISAN SOSIAL PADA MASYARAKAT PEDESAAN DI MINANGKABAU

PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP PERUBAHAN
POLA PELAPISAN SOSIAL PADA MASYARAKAT PEDESAAN
DI MINANGKABAU
Oleh
Witrianto

I. Pendahuluan
Istilah “globalisasi” pada umumnya dimengerti sebagai suatu fenomena ekonomi, yang salah satu definisi formalnya adalah ekspansi kegiatan ekonomi yang melintasi batas-batas politik nasional dan regional, dalam bentuk peningkatan gerakan barang-barang dan jasa, termasuk modal, tenaga kerja, teknologi, dan informasi melalui perdagangan barang dan jasa (C. Morison & Hadisusastro, seperti dikutip oleh Wiradi, 2004).
Menurut Wiradi, rumusan tersebut kurang lengkap karena hanya merupakan rumusan teknis ekonomi. Nuansa sosial- politiknya tidak terungkap. Globalisasi pada hakekatnya merupakan gerakan kapitalisme internasional yang dilandasi oleh ideologi “Neo-Liberalisme”. Ideologi ini semula dibangun oleh sekelompok kecil ilmuwan yang dimotori oleh Prof. Frederich Von Hayek beserta para mahasiswanya (a.l. Milton Friedman) di Universitas Chicago, Amerika Serikat, sekitar tahun 1945-1950-an.
Kegiatan pembangunan nasional suatu bangsa yang menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan internasional, secara teoritis akan menumbuhkan apa yang lazim disebut dengan global governance. Oleh karena itu, persoalan-persoalan ekonomi dan politik semakin sukar dipecahkan dalam bingkai atau pola pikir negara-bangsa (nation-state). Persoalan-persoalan ekonomi dan politik yang dihadapi oleh suatu daerah di Indonesia, bukan hanya milik atau menjadi beban tanggungan daerah itu sendiri, tetapi juga menjadi bagian dari persoalan-persoalan ekonomi dan politik daerah-daerah lain. Persoalan-persoalan tersebut menjadi bersifat nasional kendati tumbuh dan berkembang di tingkat lokal.
Dewasa ini, pada kenyataannya, hal ini telah menjadi kecenderungan yang semakin terasakan kehadirannya. Setidak-tidaknya, kecenderungan itu dapat dilihat pada dua hal berikut. Pertama, kegiatan pembangunan masyarakat sudah semakin luas dan menembus batas-batas administratif. Kedua, unit-unit sosial telah tumbuh semakin kompleks dan konsekuensinya kemudian adalah semakin sulitnya menemukan keunikan kultural suatu masyarakat.
Tidak sulit disepakati bahwa globalisasi telah menembus sekat administratif dan batas geografis suatu daerah. Akan tetapi, yang menjadi persoalan, mungkinkah kita menghilangkan sekat dan batas itu, mengingat hampir setiap daerah di Indonesia memiliki sistem sosial, sistem politik, sistem budaya, dan sistem ekonomi tersendiri yang unik. Lebih dari itu, perlu pula diingat bahwa sistem-sistem tersebut dilembagakan melalui peraturan daerah dan peraturan adat yang disosialisasikan melalui mekanisme yang menyentuh semua tingkat kehidupan (individu, keluarga, kelompok/organisasi, dan masyarakat), dan sekaligus difungsikan sebgai identitas daerah.
Menurut John Burton, yang kemudian dikembangkan lagi oleh Keohane dan Nye dalam Sunyoto Usman (2004), menyatakan bahwa ciri-ciri kehidupan sosial yang melembaga dalam suatu wilayah tertentu pada era globalisasi agak berbeda dengan era-era sebelumnya. Kehidupan sosial anggota masyarakatnya boleh jadi memang masih memiliki ciri-ciri keunikan tersendiri, tetapi satu hal yang amat sulit dihindari adalah bahwa pertumbuhan atau perkembangan ekonomi, politik, maupun kebudayaan mereka sebagian besar menganut sistem global. Ini berarti bahwa perubahan yang terjadi di suatu daerah bersentuhan langsung dengan perubahan yang terjadi di daerah-daerah lain, bahkan sebagian merupakan refleksi dari perubahan yang terjadi dalam suatu negara (begitu juga sebaliknya). Hal ini juga berlaku dalam perubahan kultural akibat dampak globalisasi yang hendak dibahas dalam tulisan ini.
Sehubungan dengan hal itu, tulisan ini hendak melihat perubahan kultural, terutama perubahan sistem pelapisan masyarakat, sebagai dampak globalisasi pada salah satu masyarakat pedesaan di Indonesia. Sebagai gambaran dari salah satu masyarakat desa yang ada tersebut, akan dilihat Nagari Selayo yang terletak di Kecamtan Kubuang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Secara adat, masyarakat Nagari Selayo merupakan bagian dari masyarakat Minangkabau, yang secara kultural merupakan masyarakat agraris dengan pola pertanian sawah.
Masyarakat Minangkabau, yang merupakan salah satu sukubangsa utama di Indonesia yang hendak dikaji dalam tulisan ini, secara tradisional hidup dalam kelompok-kelompok kekerabatan seperti paruik, kampuang, dan suku. Dalam beberapa masyarakat, seorang penghulu suku dipilih, meskipun dari keluarga-keluarga tertentu, sedangkan pada masyarakat lain penghulu menjadi hak yang hanya dimiliki oleh sebuh keluarga saja dalam sebuah suku tertentu. Kalau keluarga ini habis, baru hak tersebut pindah kepada keluarga lain. Keadaan ini dapat dikatakan berhubungan dengan ada atau tidaknya stratifikasi sosial yang keras dalam masyarakat itu.
Perubahan pola hubungan antara kelompok elite dan non-elite pada masyarakat pedesaan di Minangkabau akibat pengaruh globalisasi yang mencakup pendidikan dan perdagangan merupakan suatu hal yang menarik untuk dipelajari. Perubahan yang terjadi juga mencakup perubahan gaya hidup dan perubahan orientasi masa depan kelompok elite dan non-elite dalam kehidupan mereka sehari-hari.


II. Geografis dan Sosiologis Minangkabau
Berdasarkan kajian geografis dan sosiologis, wilayah Minangkabau dibagi atas dua bagian, yaitu daerah rantau dan darek. Sesungguhnya, pembagian ini merupakan dokitimisasi kultural Minangkabau yang mencerminkan perbedaan antara daerah pusat kerajaan dan daerah perantau yang jauh dari pusat Kerajaan Minangkabau. Pembagian wilayah ini merupakan cikal bakal terbentuknya kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Barat. Daerah rantau merupakan daerah yang terletak di dataran rendah atau pesisir yang membujur sepanjang pantai dalam kawasan Minangkabau. Sebaliknya darek dapat didefinisikan sebagai wilayah dataran tinggi yang merupakan pusat kebudayaan Minangkabau.
Dataran Tinggi Minangkabau bergunung-gunung yang sebagian besar ditutupi oleh rimba hujan (torrential rain forest) dengan lembah dan ngarainya yang curam dan elevasi yang menanjak. Di sana-sini terhampar dataran-dataran tinggi yang subur yang cocok untuk persawahan dan tanaman sayur-mayur. Inilah yang merupakan jantung Alam Minangkabau. Daerah ini secara tradisional terbagi atas tiga luhak, yaitu Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota. Sebelum perluasan tanah Minangkabau ke daerah dataran rendah, setiap luhak mempunyai tanah rantau yang bersebelahan. Luhak Agam mempunyai Rantau Pasaman di sebelah utaranya, Luhak Tanah Datar mempunyai Rantau Kubuang Tigo Baleh (Solok) arah ke selatan, Luhak Lima Puluh Kota mempunyai Rantau Kampar arah ke timur. Luhak dan rantau tersebut sekarang masing-masing telah menjadi kabupaten dalam Provinsi Sumatera Barat. Kabupaten Kampar yang dahulu merupakan bahagian dari Sumatera Barat, sekarang masuk Provinsi Riau. Meskipun demikian, rakyatnya tetap memakai adat Minangkabau, berbahasa Minangkabau, dan secara etnis tetap menganggap dirinya sebagai orang Minangkabau (Mochtar Naim, 1984: 14). Sementara itu, Kabupaten Sawahlunto Sijunjung yang juga merupakan daerah Darek, sebagian daerahnya dahulu merupakan bagian dari Luhak Tanah Datar dan sebagian lagi bagian dari Rantau Solok.
Dataran rendah dekat pantai (yang juga disebut rantau) adalah sambungan selanjutnya dari “tanah air” orang Minangkabau, yang terbentang dari Airbangis di utara sampai ke Sasak, Tiku, Pariaman, Padang, Painan, Balaiselasa, Airhaji, dan Indrapura di selatan. Airbangis dan Sasak sekarang masuk Kabupaten Pasaman. Tiku masuk Kabupaten Agam, Pariaman dan Padang masuk Kabupaten Padang-Pariaman, dan Painan, Balaiselasa, Airhaji, serta Indrapura termasuk Kabupaten Pesisir Selatan.
Daerah dataran rendah, sekalipun tidak begitu subur dan di tempat tertentu juga berawa-rawa, pada umumnya juga cocok ditanami padi sawah dan sayur-sayuran. Selain dari tanaman keras seperti kopi, getah, kulit manis, cengkeh, dan hasil hutan seperti yang didapat di pedalaman, rakyat dataran rendah juga bertanam kelapa dan nipah dalam jumlah besar dan menangkap ikan di laut.
Minangkabau, kecuali sebagai suatu daerah administratif di bawah pemerintahan modern, sebenarnya tidak dapat dianggap sebagai satu kesatuan yang benar-benar mutlak. Masing-masing orang Minangkabau dahulu hanya mempunyai kesetian kepada nagari mereka sendiri dan tidak kepada keseluruhan Minangkabau. Orang yang berasal dari nagari yang bersebelahan pun sudah dianggap sebagai orang asing oleh warga nagari yang bersangkutan.
Meskipun demikian, orang Minangkabau menggunakan suatu bahasa yang sama, yang disebut bahasa Minangkabau, sebuah bahasa yang erat hubungannya dengan bahasa Melayu. Menurut penelitian beberapa ahli bahasa, bahasa Minangkabau bisa dianggap sebagai bahasa tersendiri, tetapi bisa juga dianggap sebagai sebuah dialek saja dari bahasa Melayu. Kata-kata dalam bahasa Melayu umumnya dapat dicarikan kesamaannya dalam bahasa Minangkabau dengan jalan merubah bunyi-bunyi tertentu. Di samping banyak pula kata-kata yang persis sama antara bahasa Melayu dan Minangkabau (Umar Junus, 2002: 249).
III. Sistem Pelapisan Sosial Tradisional di Pedesaan Minangkabau
Menurut konsepsi masyarakat Minangkabau, kedudukan seseorang dalam masyarakat secara adat dinyatakan dengan istilah-istilah sebagai berikut: Kamanakan Tali Paruik, Kamanakan Tali Budi, Kamanakan Tali Ameh, dan Kamanakan Bawah Lutuik yang terutama dilihat dari sudut kedatangan seseorang ke suatu nagari. Kamanakan Tali Paruik adalah keturunan langsung dari peneruka (pembuka) nagari. Kamanakan Tali Budi adalah keluarga-keluarga yang datang kemudian, tetapi karena kedudukan mereka juga tinggi di tempat asal, mereka dianggap sederajat dengan kamanakan tali paruik meskipun mereka tidak berhak menjadi penghulu atau pemimpin. Kamanakan Tali Ameh adalah pendatang-pendatang baru yang mencari hubungan keluarga dengan keluarga penduduk asli, tetapi kehidupan mereka tidak bergantung kepada belas kasihan keluarga penduduk asli. Kamanakan bawah Lutuik adalah mereka yang menghamba kepada penduduk asli, mereka sungguh tidak punya apa-apa dan hidup dari membantu rumahtangga atau menggarap sawah ladang kepunyaan penduduk asli (Umar Junus dalam Koentjaraningrat, 1987: 258-259).
Mengenai stratifikasi sosial ada tiga macam keadaan di daerah Minangkabau. Dalam beberapa masyarakat keadaan itu boleh dikatakan meliputi seluruh kehidupan masyarakat, sebagaimana terdapat pada masyarakat di Padang dan Pariaman. Pada masyarakat ini golongan bangsawan betul-betul mempunyai kedudukan yang tinggi dalam masyarakat. Kalau ia kawin, ia tak perlu memberi belanja istrinya. Bahkan untuk mengawini seorang gadis, ia akan mendapat sejumlah uang yang besar sebagai uang jemputan. Ia dengan langsung akan dapat memperbaiki kedudukan sosial dari keluarga istrinya, karena anaknya akan lebih tinggi lapisan sosialnya dari ibunya sendiri.
Dalam beberapa masyarakat lain, sistem itu tetap ada, tetapi tidak begitu berkesan dalam kehidupan sehari-hari dan hanya tampak dalam hubungan perkawinan saja. Seorang perempuan dari golongan bangsawan akan dilarang untuk mengawini seorang laki-laki biasa, apalagi laki-laki dari golongan paling bawah dalam masyarakat itu. Perkawinan laki-laki bangsawan dengan perempuan biasa mungkin lambat laun menyebabkan keluarga perempuan itu makin naik namanya di mata masyarakat. Akan tetapi, hal itu dapat dikatakan tidak berpengaruh apa-apa terhadap keluarga yang paling rendah, walaupun seorang laki-laki bangsawan kawin dengan perempuan anggota keluarga itu. Sistem ini terdapat pada masyarakat Solok, Sawahlunto/Sijunjung, Pesisir Selatan, dan Pasaman yang merupakan daerah rantau atau daerah perluasan dari budaya Minangkabau. Nagari Selayo, yang merupakan bagian dari Kabupaten Solok, menganut sistem kedua ini, yaitu mengenal adanya sistem pelapisan dalam masyarakat, tetapi tidak begitu terlihat dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam beberapa masyarakat lainnya lagi, pembagian itu makin kabur, sehingga sulit untuk dapat dilihat dengan cepat. Dalam hubungan ini, keadaan itu dapat dikatakan tidak menunjukkan suatu sistem sama sekali. Pembagian masyarakat seperti ini terdapat di daerah Tanah Datar, Agam, dan Lima Puluh Kota. Ketiga daerah ini disebut “Luhak Nan Tigo” yang merupakan daerah inti kebudayaan Minangkabau.
Pelapisan sosial masyarakat Minangkabau secara tradisional biasanya lebih ditentukan oleh proses kedatangan suatu keluarga ke suatu nagari. Keluarga-keluarga yang datang lebih dahulu dan kemudian meneruka atau membuka hutan untuk dijadikan pemukiman dan lahan pertanian menempati lapisan atas dalam masyarakat. Mereka dan keturunannya disebut sebagai Lantak Nagari. Keluarga–keluarga yang datang kemudian dan menempati tanah-tanah kosong yang masih tersisa menempati lapisan di bawahnya. Mereka disebut sebagai “orang biasa” yang hidupnya tidak tergantung kepada Lantak Nagari, mereka biasanya hanya memiliki tanah sekedar untuk bangunan rumah dan sedikit halaman saja, serta lahan pertanian dengan luas yang tak seberapa dan berada jauh dari pusat pemukiman penduduk. Pekerjaan mereka disamping sebagai petani atau buruh tani, sebagian besar juga bekerja sebagai pedagang atau pengrajin. Kelompok yang menempati lapisan paling bawah adalah mereka yang datang paling akhir, pada saat semua tanah sudah ada yang memilikinya. Kelompok ini biasanya pertama kali akan mencari induk semang pada seorang lantak nagari untuk tinggal tinggal menumpang di rumah mereka dengan membantu pekerjaan rumah tangga keluarga tersebut atau membantu pekerjaan di sawah dan di ladang. Sebagian besar di antara mereka kemudian bertempat tinggal di lahan pertanian milik induk semangnya dengan membuat pondok atau rumah yang bentuknya tidak boleh lebih bagus dari rumah induk semangnya. Kelompok terakhir ini disebut sebagai “anak buah” atau “anak semang”, yang pekerjaan utamanya adalah menggarap lahan pertanian milik induk semangnya.
Orang yang menempati lapisan sosial teratas secara adat mendapat gelar “Datuk” bagi kaum laki-lakinya, sedangkan yang perempuan tidak punya gelar apa-apa. Orang yang menempati lapisan sosial di bawahnya mendapat gelar “Sutan” bagi kaum laki-lakinya, sedangkan yang perempuan juga tidak mempunyai gelar apa-apa. Sementara itu, bagi orang yang menempati lapisan sosial paling bawah tidak mempunyai gelar apa-apa, baik laki-laki maupun perempuan.
Secara tradisional, pada setiap nagari di Minangkabau terdapat empat elite kepemimpinan, yaitu Penghulu yang berkedudukan sebagai pemimpin adat, Malin yang berkedudukan sebagai pemimpian agama, Hulubalang yang berkedudukan sebagai penjaga keamanan, dan Manti yang berfungsi sebagai hakim dalam menyelesaikan silang sengketa antar-warga nagari. Keempat elite tradisional ini disebut Urang Ampek Jinih (Orang Empat Jenis) (Amir M.S., 1997: 53).
Di samping Urang Ampek Jinih, di dalam suatu nagari juga terdapat Tigo Tungku Sajarangan yang terdiri dari Ninik Mamak, Alim Ulama, dan Cerdik Pandai (Ibid.: 55). Golongan Alim Ulama dan Cerdik Pandai dipilih bukanlah atas dasar keturunan, melainkan atas dasar keahliannya. Berbeda halnya dengan Ninik Mamak yang merupakan unsur yang berasal dari Urang Ampek Jinih, diangkat berdasarkan keturunan menurut sistem kekerabatan matrilineal.
Dari golongan elite tradisional yang terdapat di Minangkabau ini, terlihat adanya perpaduan antara unsur adat dengan unsur agama. Bagi masyarakat yang berasal dari golongan non-elite, agar mereka dapat meningkatkan statusnya dalam masyarakat (bukan secara adat) adalah dengan jalan pendidikan, baik pendidikan agama maupun pendidikan sekuler. Cara lainnya adalah melalui dunia perdagangan untuk meningkatkan status ekonominya, sehingga dengan sendirinya juga akan meningkatkan status sosialnya di tengah masyarakat, tetapi tidak secara adat.
Di Nagari Selayo terdapat tujuh buah suku yang masing-masingnya dipimpin oleh seorang penghulu suku, yaitu Tigo Korong, Ampek Niniak, Subarang Tabek, Melayu, Tambang Padang, Kampai, dan Tapi Aia. Suku Tigo Korong terdiri dari tiga sub-suku, yaitu Caniago, Supanjang, dan Lubuak Batang; Suku Ampek Niniak terdiri dari empat sub-suku, yaitu Koto, Piliang, Jambak, dan Kutianyia; Suku Subarang Tabek terdiri dari dua sub-suku, yaitu Subarang Tabek dan Parak Panjang. Sementara itu, suku-suku yang lain tidak punya sub-suku.
Di samping penghulu, setiap suku juga punya hulubalang, manti, dan malin. Keempat unsur yang disebut dengan istilah “urang ampek jinih” atau biasa juga disebut “ninik mamak”, merupakan golongan yang menempati lapisan paling atas dalam masyarakat Selayo. Jabatan-jabatan yang dipegang oleh “urang ampek jinih” didapatkan secara turun-temurun menurut garis keturunan matrilineal dengan gelar sebagai berikut:






TABEL 2: URANG AMPEK JINIH NAGARI SELAYO
No. Suku Penghulu Manti Malin Hulubalang
1 Tigo Korong Datuk Magek Bajolang Lelo Manjo Datuk Sari Maharajo Tuan Pandito Basa Datuk Panglimo Rajo Mansua
2 Tambang Padang Datuk Makhudum Sati Datuk Bungsu Datuk Bandaro Sati Datuk Nan Garang
3 Melayu Datuk Bagindo Basa Datuk Bagindo Sati Tuan Malin Manggaga* Datuk Nan Garang**
4 Kampai Datuk Gadang Datuk Maharajo Basa Tuan Paduko Rajo Lelo Datuk Palentah Bungsu
5 Tapi Aia Datuk Batuah Datuk Putiah Tuan Malin Manggaga Datuk Mantari Gagah
6 Subarang Tabek Datuk Maruhum Saripado Datuk Rajo di Aceh Tuan Incek Suleman Datuk Rajo Magek
7 Ampek Niniak Datuk Kayo Datuk Sati Datuk Tanali Datuk Ampang Limo
Keterangan: * Malin Suku Melayu dirangkap oleh malin Suku Tapi Aia.
** Hulubalang Suku Melayu dirangkap oleh hulubalang Suku Tambang Padan
Di samping unsur-unsur tersebut, di Nagari Selayo masih terdapat dua golongan pemimpin informal yang tidak berdasarkan kepada garis keturunan, tetapi berdasarkan keahlian, yaitu golongan alim ulama, dan cerdik pandai. Ketiga unsur kepemimpinan ini, yaitu ninik mamak, alim ulama, dan kaum cerdik pandai disebut sebagai Tigo Tungku Sajarangan, yang masing-masing punya batasan wewenang masing-masing.
Suku yang dipimpin oleh seorang penghulu suku, terdiri atas beberapa kaum yang dikepalai oleh seorang mamak kepala kaum. Satu kaum terdiri atas beberapa paruik yang dikepalai oleh seorang mamak kepala waris. Paruik terbagi lagi atas beberapa payuang yang dikepalai oleh seorang tungganai. Setiap payuang kemudian terbagi lagi atas beberapa hubungan kekerabatan yang disebut samande yang berasal dari nenek yang sama dan tinggal di rumah gadang yang sama, biasanya dipimpin oleh laki-laki yang tertua dalam keluarga itu.
Akhir-akhir ini, dengan semakin derasnya arus globalisasi dan karena adanya penyeragaman sistem pemerintahan dan kekuasaan dari Sabang sampai Merauke, telah terjadi perubahan pola pikir masyarakat Minangkabau dalam memandang sistem pelapisan sosial tersebut. Hal ini terutama disebabkan oleh kemajuan pendidikan, sehingga kedudukan elite tradisional yang terlena oleh status tinggi yang mereka miliki selama ini yang dianggapnya telah sempurna, kurang memperhatikan pendidikan. Pada saat ini status mereka secara adat hanya terlihat pada upacara-upacara adat, seperti perkawinan, kematian, aqiqah, dan khatam Al-Qur’an.
Sebab-sebab utama terjadinya perubahan pelapisan sosial dalam masyarakat pedesaan di Minangkabau adalah karena terjadinya perubahan struktur kekuasaan dalam kehidupan masyarakat desa. Penerapan UU No.5/1979 tentang penyeragaman sistem pemerintahan desa di seluruh Indonesia yang mulai berlaku pada tahun 1983 di Sumatera Barat, setelah keluarnya PERDA No.13/1983, telah menyebabkan terjadinya perubhan besar dalam kehidupan masyarakat. Sebelum UU ini diberlakukan, yang menjadi pemimpin dan yang berkuasa dalam nagari adalah para penghulu yang menjabat secara turun-temurun berdasarkan sistem keturunan matrilineal.
Sebelum berlakunya UU No.5/1979 tersebut, masyarakat selalu berhubungan dengan penghulu dan mereka sangat menghormatinya. Akan tetapi, setelah UU No.5/1979 diberlakukan, jabatan penghulu seakan-akan hanya menjadi jabatan formalitas belaka, karena masyarakat sekarang lebih banyak berurusan dengan kepala desa, yang kadang-kadang secara adat hanyalah orang biasa saja, tetapi karena jabatannya dia dihormati oleh warga desa.
Bergulirnya reformasi yang ditandai dengan tumbangnya Orde Baru juga ditandainya dengan perubahan besar-besaran di Indonesia. Salah satu kebijakan pemerintah dalam hal sistem pemerintahan di Indonesia adalah dengan dikeluarkannya UU No.22/1999 tentang otonomi daerah. Pemerintah Daerah Sumatera Barat dalam menyikapi UU tersebut kemudian juga mengeluarkan kebijakan yang dikenal dengan istilah gerakan “Kembali ke Nagari” dan “Kembali ke Surau”. Dengan dicanangkannya gerakan tersebut, di Sumatera Barat kembali berlaku sistem pemerintahan nagari yang dipimpin oleh seorang wali nagari. Akan tetapi, meskipun demikian, masyarakat yang sudah sekian lama terbiasa dengan sistem pemerintahan desa tidak dengan mudah begitu saja menjalaninya, terutama generasi muda. Hal ini disebabkan karena meskipun sistem pemerintahan terendah sudah dikembalikan seperti semula, tetapi pola kehidupan masyarakat yang sudah jauh berubah tidak ikut berubah secara otomatis.

III. Dampak Globalisasi Terhadap Perubahan Sistem Pelapisan Sosial
Globalisasi yang juga melanda masyarakat pedesaan telah menyebabkan perubahan-perubahan dalam kehidupan sosial masyarakat desa. Perubahan yang terjadi di antaranya juga meliputi perubahan dalam sistem pelapisan sosial. Jika sebelumnya seseorang dihormati karena faktor keturunan, setelah globalisasi, seseorang dihormati karena prestasi dirinya sendiri, seperti pendidikan, jabatan, dan kekayaan yang dimilikinya, bukan karena faktor keturunan.
Orang-orang yang berpendidikan, termasuk lapisan intelektual dan mempunyai titel sarjana atau tingkatan di atasnya, akan menempati lapisan elite tersendiri dalam masyarakat desa. Disamping pendidikan, yang menjadi ukuran pelapisan sosial masa kini adalah kekuasan dan kekayaan. Penguasa atau aparatur yang mendapat hak untuk melaksanakan pemerintahan dari beberapa bentuk kegiatannya juga merupakan lapisan elite tersendiri pula dalam masyarakat. Begitu pula kekayaan yang dimiliki oleh seseorang yang bergerak dalam bidang perdagangan, industri, mapun pertanian juga sudah merupakan lapisan elite tersendiri pula dalam masyarakat desa.
Orang berpendidikan, kehidupannya biasanya lebih baik dan lebih bersih. Begitu juga rumah tempat tinggalnya bersih dan teratur. Peralatan lainnya di dalam rumah lebih banyak dibandingkan dengan warga nagari lainnya. Cara hidup dan berpakaian mereka lebih teratur. Demikian pula dalam pergaulan sehari-hari memperlihatkan sikap-sikap terpuji yang dapat memberi contoh baik kepada warga nagari. Anak-anaknya diusahakan bersekolah setinggi mungkin, sedangkan pekerjaan mereka kebanyakan adalah menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Orang berkuasa, seperti pejabat kabupaten, camat, polisi, tentara, dan sebagainya kehidupannya lebih baik dari pegawai negeri biasa. Demikian pula tata cara hidup dan keadaan rumah mereka sama dengan orang-orang yang berpendidikan. Dalam kehidupan sehari-hari mereka dihormati warga karena jabatan yang mereka sandang. Pada umumnya mereka juga berusaha menyekolahkan anak mereka setinggi mungkin dengan harapan dapat menjadi orang yang berkuasa pula seperti orangtuanya.
Orang kaya, kebanyakan dari kelompok pedagang dan petani yang sukses. Biasanya mereka selalu berusaha meniru sifat orang yang berpendidikan. Mereka juga sungguh-sungguh mengusahakan pendidikan setinggi mungkin bagi anak-anak mereka, meskipun sebagian di antara anak-anaknya lebih tertarik melakukan usaha dagang yang lebih cepat menghasilkan uang dibanding bersekolah tinggi yang harus menunggu sekian lama. Setiap kali mereka mengadakan upacara-upacara adat, seperti perkawinan, kematian, aqiqah, khatam al-qur’an, dan sebagainya selalu dilaksanakan semeriah mungkin.
Gelar-gelar yang disandang oleh lapisan orang yang berpendidikan adalah gelar-gelar kesarjanaan yang diperoleh di perguruan tinggi, di samping gelar adat yang juga mereka sandang. Kewajiban dari lapisan yang berpendidikan ini adalah membantu orang-orang yang berkemauan keras dalam melanjutkan pendidikan. Kewajiban ini bukan merupakan paksaan, tetapi berupa bantuan moral dari yang bersangkutan kepada warga lainnya.
Orang yang memegang jabatan, kewajibannya adalah menolong orang-orang yang ada hubungannya dengan pekerjaannya. Sedangkan orang kaya berkewajiban pula menolong orang-orang yang sedang dalam kesulitan ekonomi dengan caranya masing-masing.
Meskipun dihormati oleh masyarakat dan menempati lapisan sosial yang baik dalam kehidupan sehari-hari, baik orang yang berpendidikan, orang yang berkuasa, ataupun orang kaya jika mereka berasal dari golongan orang biasa, mereka tidak mempunyai hak-hak istimewa dalam nagari. Menurut adat mereka adalah orang biasa dan tidak akan mendapatkan gelar adat, meskipun mereka mampu membelinya dengan harga berapa pun. Fungsi dan peranan mereka dalam nagari adalah sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki masing-masing. Dalam kehidupan sehari-hari mereka masih terikat dengan adat-istiadat tempat mereka tinggal.
Melihat perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat ini, kelompok elite tradisional saat ini juga sudah mulai menyadari pentingnya pendidikan bagi putra-putri mereka dan juga mulai adanya keinginan mereka untuk merambah bidang usaha lain, seperti menjadi pedagang, pegawai negeri, atau pekerjaan di sektor jasa. Sebaliknya kelompok non-elite saat ini juga sudah banyak yang berhasil mencapai kedudukan tinggi dalam masyarakat dalam hal kekuasaan atau kekayaan akibat ketekunan mereka dalam menuntut ilmu dan bekerja.
Orang-orang yang berasal dari kelompok elite tradisional, saat ini tidak lagi begitu bangga dengan gelar datuk yang disandangnya. Mereka akan lebih bangga dengan gelar kesarjanaan yang diperoleh dari bangku pendidikan yang didapatkan dengan kerja keras dan memakan waktu lama. Berbeda halnya dengan gelar datuk yang didapatkan karena faktor keturunan tanpa melakukan usaha apapun.
Dampak yang terlihat dari fenomena ini adalah munculnya keinginan yang kuat dari golongan elite tradisional untuk menyekolahkan anak-anak mereka setinggi mungkin, kalau perlu dengan menggadaikan sawah dan ladang. Hal ini dilakukan supaya anak-anak mereka kelak dapat menjadi pegawai negeri yang memiliki golongan tinggi, di samping tentunya juga menambah prestise tersendiri bagi mereka. Kelompok elite tradisional, saat ini akan merasa malu jika anak-anak mereka tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi, karena hal itu akan membuat prestise mereka jatuh di tengah masyarakat. Dengan memiliki anggota keluarga yang berpendidikan tinggi, mereka akan tetap dihormati oleh masyarakat.
Dampak lain dari globalisasi ini adalah terjadinya perubahan pola pandang kelompok elite tradisional terhadap pekerjan berdagang. Pekerjaan sebagai pedagang yang semula dianggap sebagai pekerjaan yang rendah, karena hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak punya tanah, pada saat ini mulai banyak ditekuni oleh kelompok elite tradisional untuk menambah penghasilan mereka karena hasil dari pertanian saja ternyata sudah tidak mencukupi lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Saat ini banyak pula anak-anak dari keluarga elite tradisional yang lebih cenderung menjadi pedagang daripada mengurus pertanian, karena mereka merasakan bahwa perputaran uang dalam dunia perdagangan jauh lebih cepat daripada dunia pertanian. Faktor lainnya adalah adanya anggapan generasi muda yang mengatakan bahwa pekerjaan yang berhubungan dengan pertanian mempunyai gengsi yang lebih rendah dibandingkan pekerjaan sebagai pegawai negeri atau pedagang.

IV. Penutup
Globalisasi yang melanda dunia telah menembus sekat administratif dan batas geografis suatu negara. Kehidupan sosial anggota suatu masyarakat boleh jadi memang masih memliki ciri-ciri keunikan tersendiri, tetapi suatu hal yang amat sulit dihindari adalah bahwa pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, politik, maupun kebudayaan mereka sebagian besar mengikuti sistem global.
Masyarakat Minangkabau, sebagai bagian dari masyarakat dunia, sampai sekarang sebagian besar masih bertempat tinggal di daerah pedesaan. Sebagai masyarakat yang bersifat terbuka, masyarakat Minangkabau juga dilanda oleh arus globalisasi, terutama dalam hal kebudayaan dan pola pandang masyarakatnya. Dalam hal struktur sosial, yang menjadi ukuran pelapisan sosial masyarakat pedesaan di Minangkabau saat ini adalah pendidikan, kekuasaan, dan kekayaan.
Orang-orang yang berpendidikan sekarang ini termasuk lapisan intelektual dan mempunyai daya pikir dan kepandaian yang dianggap menjadi atau menempati lapisan tersendiri dalam masyarakat tempat ia tinggal. Sedangkan penguasa atau aparatur yang mendapat hak untuk melaksanakan pemerintahan dari beberapa bentuk kegiatannya juga merupakan lapisan tersendiri pula dalam masyarakat. Begitupun kekayaan yang dipegang oleh para pengusaha umumnya, baik yang bergerak dalam lapangan perdagangan, industri, maupun pertanian juga sudah menjadi lapisan tersendiri pula yang dihormati oleh masyarakat.




















DAFTAR PUSTAKA

Abu, Rivai (ed.). 1980. Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Sumatera Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Jakarta.
Amin, Muhammad Mansyur. et al. 1988. Kelompok Elit dan Hubungan Sosial di Pedesaan. PT Pustaka Grafika Kita. Jakarta.
Anwar, Chairil. 1997. Hukum Adat Indonesia: Meninjau Hukum Adat Minangkabau. Rineka Cipta. Jakarta.
Bachtiar, Harsja. 1967. “Nagari Taram: Masyarakat Desa Minangkabau”. dalam Koentjaraningrat (ed.). 1995 , Masyarakat Desa di Indonesia. FEUI. Jakarta.
Hanani, Silfia. 2002. Surau Aset Lokal yang Tercecer. Humaniora Utama Press. Bandung.
Idris, Soewardi (ed.). 1992. Selayo Kec. Kubung, Kab. Solok. Ikatan Keluarga Selayo. Jakarta.
Junus, Umar. 2002. “Kebudayaan Minangkabau”. dalam Koentjaraningrat(ed.). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan. Jakarta.
Naim, Mochtar (ed.). 1968. Mengenal Hukum Tanah dan Hukum Waris di Minangkabau. Center For Minangkabau Studies. Padang.
_____________, 1984, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Navis, A.A. 1984. Alam Takambang jadi Guru.Grafitti Pustaka. Jakarta.
Rajab, Muhammad. 1967. Sistem Kekerabatan Minangkabau. Center Minangkabau Study Press. Padang.
Sajogyo (ed.). 1982. Ekologi Pedesaan Sebuah Bunga Rampai. CV. Rajawali. Jakarta.
Usman, Sunyoto. 2004. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Wiradi, Gunawan, 2004. “Catatan Ringkas tentang Globalisasi”. Makalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar