Rabu, 16 September 2009

INTERAKSI SOSIAL ANTARA PETANI DAN BUKAN PETANI DI NAGARI SELAYO KABUPATEN SOLOK SUMATERA BARAT

INTERAKSI SOSIAL ANTARA PETANI DAN BUKAN PETANI DI NAGARI SELAYO KABUPATEN SOLOK SUMATERA BARAT
(Social Interaction Between Farmer and Nonfarmer in Country of Selayo Regency of Solok West Sumatera)
Witrianto

Abstrak

Akhir-akhir ini, di Nagari Selayo yang terletak di Kabupaten Solok Sumatera Barat, semakin banyak berdatangan penduduk dari daerah lain untuk menetap dan berusaha. Mereka adalah para pegawai negeri, tentara, polisi, pedagang, dan yang bergerak di sektor jasa. Hal ini erat kaitannya dengan posisi Nagari Selayo yang terletak di persimpangan jalan lintas utama antara Kota Solok dan Kota Padang dengan jalan By Pass yang merupakan jalan lingkar Kota Solok.. Faktor lainnya adalah lokasi kompleks perkantoran walikota dan bupati Solok yang juga dekat dengan Selayo.Kedatangan pendatang dalam jumlah besar ini menyebabkan masyarakat Selayo menjadi heterogen,baik dalam hal mata-pencaharian penduduknya maupun dalam hal asal dan etnis penduduknya.Bertemunya penduduk asli yang secara tradisional merupakan masyarakat petani dengan pendatang yang sebagian besar bergerak di sektor non-pertanian, menyebabkan perubahan besar dalam pola pandang, pola pikir, dan kebiasaan-kebiasaan masyarakatnya. Interaksi yang terjadi antara kedua kelompok masyarakat tersebut juga telah membawa kemajuan besar terhadap penduduk asli dalam hal pendidikan.
(Kata kunci: interaksi sosial,bentuk-bentuk interaksi, petani, dan bukan petani)

1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial, dan merupakan bentuk yang paling umum dari proses sosial. Bentuk lain dari proses osial hanya merupakan bentuk-bentuk khusus dari interaksi sosial. Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai pada saat itu. Mereka saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara, atau bahkan mungkin berkelahi. Aktivitas semacam itu merupakan bentuk-bentuk aktivitas sosial. Walaupun orang-orang yang bertemu muka tersebut tidak saling berbicara atau tidak saling menukar tanda-tanda, interaksi sosial telah terjadi, oleh karena masing-masing sadar akan adanya pihak lain yang menyebabkan perubahan-perubahan dalam perasaan maupun syaraf orang-orang yang bersangkutan, yang disebabkan oleh misalnya bau keringat, minyak wangi, suara berjalan, dan sebagainya. Kesemuanya itu menimbulkan kesan di dalam pikiran seseorang, yang kemudian menentukan tindakan apa yang akan dilakukannya (Soekanto, 1990).
Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi antara kelompok tersebut sebagai kesatuan dan biasanya tidak menyangkut pribadi anggota-anggotanya. Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi pula di dalam masyarakat. Interaksi tersebut lebih mencolok manakala terjadi perbenturan antara kepentingan perorangan dengan kepentingan kelompok.
Kelompok-kelompok manusia yang melakukan interaksi di Nagari Selayo yang dibahas dalam tulisan ini adalah antara kelompok petani yang sebagian besar merupakan penduduk asli dan kelompok bukan petani yang sebagian besar merupakan penduduk pendatang. Banyaknya penduduk pendatang di Nagari Selayo terutama disebabkan oleh letaknya yang dekat dari kompleks perkantoran walikota dan bupati Solok. Pendatang yang menetap di Selayo karena faktor ini, biasanya adalah para pegawai negeri yang bekerja di kedua kompleks perkantoran tersebut, beserta keluarganya.
Faktor lain yang menarik pendatang untuk menetap di Selayo adalah posisinya yang strategis, karena terletak di persimpangan jalan By Pass yang merupakan jalan lingkar Kota Solok dan jalan Lintas Sumatera yang menghubungkan Kota Solok dan Kota Padang. Mereka yang datang ke Selayo karena faktor ini terutama adalah para pedagang, pengrajin, dan orang-orang yang bergerak di sektor jasa. Kontak sosial antara penduduk yang bekerja sebagai petani dan yang bukan petani, mau tidak mau, menyebabkan terjadinya interaksi sosial karena selalu bertemu setiap hari.
Interaksi yang terjadi antara petani dan yang bukan petani di Nagari Selayo ini merupakan suatu hal yang hendak diangkat dalam tulisan ini. Hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah, (1) bagaimana pengelompokan masyarakat berdasarkan mata-pencahariannya di Selayo; (2) bagaimana masing-masing kelompok masyarakat yang ada melakukan interaksi; dan (3) apa dampak interaksi terhadap masyarakat desa. Sebagai batasan spasial dalam tulisan ini adalah Nagari Selayo Kabupaten Solok, yang merupakan salah satu contoh tipologi desa persawahan di Minangkabau.
1.2. Metodologi Penulisan
Penulisan dilakukan dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka dan observasi partisipasi. Data yang terkumpul kemudian diolah melalui interpretasi hasil-hasil tulisan dan perumusan kegunaan hasil tulisan untuk mengetahui tentang masalah yang ditulis. Tahap terakhir yang dilakukan adalah penulisan laporan hasil penelitian.
Tulisan ini akan dimulai dengan membahas mengenai klasifikasi penduduk Nagari Selayo berdasarkan mata-pencaharian yang secara garis besar dibedakan atas petani dan bukan petani. Klasifikasi seperti ini dimaksudkan untuk memudahkan untuk melihat interaksi yang terjadi antara dua kelompok yang dapat kita anggap merupakan wakil masyarakat tradisional (petani) dan modern (bukan petani). Bahasan berikutnya adalah mengenai bentuk-bentuk interaksi yang terjadi antara kedua kelompok besar dalam masyarakat Nagari Selayo tersebut yang mencakup faktor-faktor pendorong dan faktor-faktor penghambatnya. Selanjutnya adalah bahasan mengenai dampak yang timbul akibat terjadinya interaksi sosial antara kelompok-kelompok masyarakat tersebut.

2. INTERAKSI SOSIAL ANTARA BERBAGAI KELOMPOK MASYARAKAT
Untuk melihat bentuk-bentuk interaksi dan dampaknya terhadap masing-masing kelompok masyarakat yang melakukan interaksi di Nagari Selayo, digunakan pendekatan teori interaksi. Menurut Soekanto (1985), interaksi adalah stimulasi dan tanggapan antarmanusia. Interaksi juga merupakan hubungan timbal balik antara pihak-pihak tertentu. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia.
Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Bertemunya orang perorangan secara badaniah belaka tidak akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial. Pergaulan hidup semacam itu baru akan terjadi apabila orang-orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia bekerja sama, saling berbicara, dan seterusnya untuk mencapai suatu tujuan bersama, mengadakan persaingan, pertikaian, dan lain sebagainya (Soekanto, 1995: 67).
Interaksi sosial menurut Sutherland, sebagaimana dikutip oleh Wila Huky (1986), merupakan saling pengaruh-mempengaruhi secara dinamis antar kekuatan-kekuatan dalam mana kontak di antara pribadi dan kelompok menghasilkan perubahan sikap dan tingkah laku daripada partisipan. Jika manusia tidak dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan tertentu oleh dirinya sendiri, maka hal ini dapat mendorong timbulnya organisasi formal, institusi, dan birokrasi.
Secara umum, interaksi sosial merupakan proses pokok dalam masyarakat yang timbul kalau ada kontak-kontak sosial di antara sesama. Kontak sosial hanya terjadi bila ada komunikasi yang dalam di antara mereka. Berlangsungnya proses interaksi didasarkan pada pelbagai faktor, antara lain, faktor imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati. Faktor-faktor tersebut dapat bergerak sendiri-sendiri, secara terpisah, maupun dalam keadaan tergabung.
Apabila masing-masing ditinjau secara lebih mendalam, maka faktor imitasi misalnya, mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses interaksi sosial. Salah satu segi positifnya adalah bahwa imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Akan tetapi, imitasi mungkin pula mengakibatkan terjadinya hal-hal yang negatif di mana misalnya, yang ditiru adalah tindakan-tindakan yang menyimpang. Kecuali daripada itu, imitasi juga dapat melemahkan atau bahkan mematikan pengembangan daya kreasi seseorang.
Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan atau sesuatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak lain. Jadi proses ini sebenarnya hampir sama dengan imitasi, akan tetapi titik tolaknya berbeda. Berlangsungnya sugesti dapat terjadi karena pihak yang menerima dilanda oleh emosi, hal mana menyebabkan daya pikirnya terhambat secara rasional.
Identifikasi sebenarnya merupakan kecenderungan-kecenderungan atau keinginan-keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Identifikasi sifatnya lebih mendalam daripada imitasi, oleh karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas proses ini. Proses identifikasi dapat berlangsung dengan sendirinya (secara tidak sadar), maupun dengan disengaja oleh karena seringkali seseorang memerlukan tipe-tipe ideal tertentu di dalam proses kehidupannya. Walaupun dapat berlangsung dengan sendirinya, proses identifikasi berlangsung dalam suatu keadaan di mana seseorang yang beridentifikasi benar-benar mengenal pihak lain (yang menjadi idealnya), sehingga pandangan, sikap maupun kaidah-kaidah yang berlaku pada pihak lain tadi dapat melembaga dan bahkan menjiwainya.
Proses simpati merupakan suatu proses di mana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Di dalam proses ini perasaan memegang peranan yang sangat penting, walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk bekerja sama dengannya. Proses simpati akan dapat berkembang di dalam suatu keadaan di mana faktor saling mengerti terjamin.
Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi antara kelompok tersebut sebagai kesatuan dan biasanya tidak menyangkut pribadi anggota-anggotanya. Suatu interaksi sosial terjadi apabila dipenuhi dua syarat, yaitu (1) adanya kontak sosial dan (2) adanya komunikasi (Ibid.).
Kontak sosial, secara harfiah berarti bersama-sama menyentuh, yang dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu (1) antara orang-perorangan, terjadi melalui sosialisasi, yaitu suatu proses di mana anggota masyarakat yang baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai dalam kehidupan suatu masyarakat di mana dia menjadi anggota di dalamnya; (2) antara orang-perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya; dan (3) antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya (Ibid.).
Suatu kontak tidaklah semata-mata tergantung dari tindakan, akan tetapi juga tanggapan terhadap tindakan tersebut. Seseorang dapat saja bersalaman dengan sebuah patung atau main mata dengan seorang buta sampai berjam-jam lamanya, tanpa menghasilkan suatu kontak. Kontak sosial tersebut dapat bersifat positif atau negatif. Yang bersifat positif mengarah pada suatu kerja sama, sedngkan yang bersifat negatif mengarah pada suatu pertentangan atau bahkan sama sekali tidak menghasilkan suatu interaksi sosial.
Suatu kontak dapat pula bersifat primer atau sekunder. Kontak primer terjadi apabila yang mengadkan hubungan langsung bertemu dan berhadapan muka, seperti misalnya apabila orang-orang tersebut berjabat tangan, saling senyum, dan seterusnya. Sebaliknya kontak yang sekunder memerlukan suatu perantara, yang dapat dilakukan melalui alat-alat misalnya telepon, telegrap, radio, dan sebagainya.
Komunikasi, menurut Saundra Hybels dan Richard L. Weafer II, sebagaimana yang dikutip oleh Alo Liliweri (2003), merupakan setiap proses pertukaran informasi, gagasan, dan perasaan. Proses itu meliputi informasi yang disampaikan tidak hanya secara lisan dan tulisan, tetapi juga dengan bahasa tubuh, gaya maupun penampilan diri, atau menggunakan alat bantu di sekeliling kita untuk memperkaya sebuah gagasan.
Dalam komunikasi kemungkinan sekali terjadi pelbagai macam penafsiran terhadap tingkah laku orang lain. Seulas senyum, misalnya, dapat ditafsirkan sebagai keramah-tamahan, sikap bersahabat, atau bahkan sebagai sikap sinis dan sikap ingin menunjukkan kemenangan. Sebuah lirikan, misalnya, dapat ditafsirkan sebagai tanda bahwa orang yang bersangkutan merasa kurang senang atau bahkan sedang marah. Dengan demikian komunikasi memungkinkan kerja sama antara orang perorangan atau antara kelompok-kelompok manusia dan memang komunikasi merupakan salah satu syarat terjadinya kerja sama. Akan tetapi, komunikasi tidak selalu menghasilkan kerja sama, bahkan mungkin suatu pertikaian mungkin akan terjadi sebagai akibat salah paham atau karena masing-masing tidak mau mengalah.

3. KLASIFIKASI PENDUDUK BERDASARKAN MATA-PENCAHARIAN
3.1. Petani
Karakteristik budaya masyarakat pedesaan di Indonesia sangat beragam, bahkan dalam satu provinsi sekalipun, seperti Sumatera Barat yang secara sekilas memiliki satu kebudayaan, yakni kebudayaan Minangkabau. Perbedaan tersebut terutama dipengaruhi oleh letak desa dan yang pada akhirnya juga matapencaharian penduduknya. Tipologi desa berdasarkan matapencaharian penduduknya adalah desa persawahan, desa perkebunan, desa peternakan, desa nelayan, desa jasa dan perdagangan, desa industri, serta desa perladangan (Mubyarto, 1994).
Koentjaraningrat (1984), membagi komunitas desa menjadi dua golongan berdasarkan usaha taninya, yaitu (1) desa-desa yang berdasarkan cocok-tanam di ladang, dan (2) desa-desa yang berdasarkan cocok-tanam di sawah. Desa-desa golongan pertama terletak di sebagaian besar Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Irian, dan Timor, dengan perkecualian beberapa daerah di Sumatera Utara dan Barat, daerah pantai Kalimantan, daerah Sulawesi Selatan serta Minahasa, dan beberapa daerah terbatas yang terpencar di Nusa Tenggara dan Maluku. Desa-desa golongan kedua terutama terletak di Jawa, Madura, Bali, Lombok, dan merupakan tempat bermukim hampir 65% penduduk Indonesia, sedangkan areal tempat desa-desa itu hanya meliputi 7% dari seluruh wilayah Indonesia.
Berdasarkan mata-pencaharian sebagian besar penduduknya, Nagari Selayo dapat digolongkan desa persawahan, karena sebagian besar penduduknya adalah petani sawah yang menggantungkan hidupnya dari hasil sawah. Petani yang ada di Nagari Selayo, otomatis juga dapat digolongkan sebagai petani sawah, walaupun dalam kehidupan sehari-hari mereka tidak hanya menggarap sawah. Seorang petani di Nagari Selayo, dalam kenyataan menggarap tiga macam tanah pertanian, yaitu (1) kebun kecil di sekitar rumahnya; (2) tanah pertanian kering yang digarap dengan menetap, tetapi tanpa irigasi, yang disebut dengan istilah “hutan tinggi” dan (3) tanah pertanian basah yang menggunakan irigasi, yang disebut dengan istilah “hutan rendah”.
Luas lahan pertanian di Nagari Selayo berdasarkan beberapa kategori seperti yang disebutkan di atas pada tahun 2003 adalah sebagai berikut:
TABEL 1. PENGGUNAAN TANAH DI SELAYO TAHUN 2003
No Nama Jorong Sawah Ladang/kebun Pekarangan Kolam
1
2
3
4 Galanggang Tangah
Sawah Sudut
Batu Palano
Lurah Nan Tigo 138,4
230
149
273,88 12,7
140
192
135,73 67,19
23
26,5
33,85 2,5
7,5
1,5
0,25
S E L A Y O 791,28 470,43 150,54 11,75
Sumber: Kantor Wali Nagari Selayo Kecamatan Kubung Kabupaten Solok.
Di tanah kebun kecil sekitar rumah atau yang biasa disebut pekarangan, petani menanam kelapa, buah-buahan, sayur-mayur, bumbu-bumbu, umbi-umbian dan akar-akaran seperti berbagai jenis ubi dan singkong yang diperlukan dalam kehidupan rumahtangganya sehari-hari. Di pekarangan sering pula ada kolam ikan yang selain tempat pemeliharaan berbagai jenis ikan, tidak jarang pula dipakai sebagai tempat buang air. Hasil pekarangan sebagian besar dipergunakan untuk konsumsi sendiri, walaupun tidak sedikit pula yang dijual di pasar nagari atau pada pedagang yang menawarnya.
Di tanah pertanian kering, yang dalam bahasa Minangkabau disebut parak (ladang/kebun, di Jawa dikenal dengan istilah tegalan), petani menanam serangkaian tanaman yang kebanyakan dijual di pasar atau kepada pedagang. Tanaman itu antara lain jagung, kacang kedelai, berbagai jenis kacang tanah, tembakau, singkong, umbi-umbian, termasuk juga padi yang dapat tumbuh secara irigasi. Walaupun tidak diirigasi, tanah tegalan biasanya digarap secara intensif, dan tanaman-tanamannya dipupuk dan disiram secara teratur.
Bercocok tanam di tanah basah atau yang biasa disebut “sawah” merupakan usaha tani yang paling pokok dan paling penting bagi para petani di Nagari Selayo. Dengan teknik penggarapan tanah yang intensif dan dengan cara-cara pemupukan dan irigasi yang tradisional, para petani tersebut menanam tanaman tunggal, yaitu padi. Berbeda dengan cocok-tanam di ladang, maka cocok-tanam di sawah dapat dilakukan di suatu bidang tanah yang terbatas secara terus-menerus, tanpa menghabiskan zat-zat kesuburan yang terkandung di dalamnya.
Bercocok-tanam di sawah sangat tergantung kepada pengaturan air, yang dilakukan dengan suatu sistem irigasi yang kompleks. Agar sawah dapat digenangi air, maka permukaannya harus mendatar sempurna, dan dikelilingi oleh pematang yang tingginya 20 sampai 25 sentimeter. Itulah sebabnya membuat sawah di lereng gunung memerlukan pembentukan susunan bertangga yang memerlukan investasi tenaga kerja yang tinggi. Akan tetapi, di daerah dataran rendah pun bercocok-tanam di sawah memerlukan banyak tenaga kerja di semua tahap produksinya.
Berdasarkan luas lahan yang mereka miliki dan pekerjaan yang mereka lakukan, petani-petani yang ada di Selayo dapat dibagi atas beberapa golongan, yaitu (1) Petani pemilik atau yang biasa disebut sebagai petani kaya, yaitu petani yang menguasai lahan-lahan luas dalam nagari, baik sawah maupun ladang. Mereka adalah keturunan dari pembuka nagari dan karena itu mereka disebut Lantak Nagari; (2) Petani penggarap, yaitu petani yang menggarap sendiri sawah yang mereka miliki, atau menggarap sawah orang lain dengan sistem bagi hasil dari keuntungan yang diperoleh setelah panen; (3) Buruh tani, yaitu petani yang bekerja di sawah orang lain dengan sistem upah harian atau borongan. Biasanya buruh tani ini adalah para pendatang dari nagari-nagari lain di Kabupaten Solok yang topografis daerahnya tidak menguntungkan untuk bertani, seperti nagari-nagari yang berada di sekitar Danau Singkarak.
Di samping ketiga golongan tersebut, ada pula petani yang merangkap sebagai pedagang pengumpul hasil pertanian. Mereka di sebut “petani pedagang”, yang terutama berasal dari kalangan buruh tani atau petani penggarap untuk menambah penghasilan mereka. Ada pula yang bekerja sebagai buruh jemur padi, yang tugasnya menjemur padi di huller sampai kering sehingga bisa digiling menjadi beras.
Akhir-akhir ini, banyak pula petani kaya yang juga berprofesi sebagai pedagang padi atau beras. Mereka dapat dengan cepat ikut dalam bisnis ini karena memiliki modal yang cukup besar. Terdapat kecenderungan akhir-akhir ini, petani menjual semua padi yang mereka panen langsung di sawah kepada pedagang yang menjemputnya ke sana. Hal ini dilakukan oleh petani tersebut karena mereka tidak mau direpotkan dengan pekerjaan menjemur dan menumbuk padi menjadi beras. Untuk makan sehari-hari, biasanya petani-petani tersebut kemudian membeli beras di warung untuk dimasak.

3.2. Bukan Petani
Penduduk yang digolongkan sebagai bukan petani dalam tulisan ini adalah penduduk yang mempunyai mata-pencaharian lain selain petani, seperti pedagang, pegawai negeri, polisi, tentara, dan yang bergerak di sektor jasa. Sebagian besar penduduk dari golongan bukan petani ini adalah para pendatang yang datang dari berbagai daerah yang ada di Sumatera Barat dan ada pula yang dari luar provinsi, terutama dari Jawa dan Sumatera Utara.
Golongan penduduk bukan petani mulai banyak ada di Selayo terutama sejak dibangunnya kompleks perkantoran Kotamadya Solok di IX-Korong pada tahun 1970, yang hanya berjarak 1,5 Km sebelah utara Selayo. Hal ini kemudian ditambah lagi dengan berdirinya kompleks perkantoran Kabupaten Solok di Kotobaru yang terletak 2 Km sebelah selatan Selayo pada tahun 1983. Berdirinya kompleks perkantoran tersebut dengan sendirinya menyebabkan banyaknya pendatang yang berstatus pegawai negeri yang bertempat tinggal di Selayo yang letaknya relatif dekat dengan kedua kompleks perkantoran tersebut.
Tahun 1989, pemerintah Kota Solok membangun jalan By Pass atau jalan lingkar Kota Solok yang salah satu ujungnya terletak di Nagari Selayo yang berbatasan dengan Kota Solok. Pembukaan jalan ini ternyata berdampak besar terhadap perkembangan sosial, ekonomi, dan budaya Nagari Selayo. Dalam waktu singkat, setelah dibukanya Jalan By Pass, bermunculan toko-toko baru di sepanjang jalan raya di Nagari Selayo. Bila sebelumnya toko-toko hanya ada di sekitar Pasar Selayo, setelah adanya Jalan By Pass, toko-toko dan ruko-ruko baru bertebaran di sepanjang jalan raya, terutama di jalan raya antara Pasar Selayo dengan Simpang By Pass.
Toko-toko yang bermunculan ini di antaranya terutama adalah toko kelontong, toko kue, toko bangunan, restoran, toko pakaian, toko besi, bengkel, toko pupuk, toko besi, toko elektronik, toko pecah belah, toko beras, optik, dan beberapa swalayan yang menjual barang kebutuhan sehari-hari. Kemunculan toko-toko ini juga diiringi oleh kedatangan sejumlah besar pedagang dari berbagai daerah di Sumatera Barat yang kemudian juga tinggal menetap di Selayo. Penduduk asli sendiri hanya sedikit yang menjadi pedagang karena mereka tidak punya tradisi berdagang, sehingga yang menjadi pedagang saat ini di Selayo sebagian besar adalah pendatang. Penduduk asli, secara tradisi terbiasa bertani di lahan pertanian yang luas dan subur, sehingga mereka tidak berpikir untuk melakukan pekerjaan lain selain bertani. Sebelum perdagangan di Selayo seramai sekarang, penduduk asli bahkan memandang rendah pekerjaan berdagang karena hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak punya tanah. Oleh karena itu, dahulu masyarakat Selayo meletakkan kaum pedagang pada kelas sosial yang lebih rendah daripada petani.
Sekarang, setelah melihat bahwa banyak di antara pedagang tersebut yang kemudian menjadi kaya, bahkan ada yang lebih kaya dari petani-petani kaya yang ada di Selayo, banyak penduduk asli Selayo yang semula bermatapencaharian sebagai petani beralih ke sektor perdagangan. Pada kalangan generasi muda, kecenderungan tersebut bahkan lebih kuat.
Seiring dengan kedatangan penduduk dari berbagai daerah dalam jumlah besar ke Selayo, kemudian muncul pula penduduk yang berprofesi sebagai pengusaha salon, jasa fotokopi, rental komputer, pengusaha wartel, penjahit, pengrajin, buruh bangunan, dan beberapa profesi lainnya yang sebagian besar dilakukan oleh pendatang dari berbagai daerah di Sumatera Barat.
Pendatang dari luar provinsi seperti orang Jawa, sebagian besar berprofesi sebagai penjual jamu gendong, pedagang makanan seperti bakso, pangsit, gado-gado, pecel (di Minangkabau disebut pical), es krim, sate ayam, es cendol, dan lain-lain. Di samping itu ada pula orang Jawa yang berprofesi sebagai tukang becak, buruh bangunan, pedagang keliling, dan banyak pula yang memang ditempatkan pemerintah sebagai pegawai negeri, polisi, atau tentara yang bertugas di Kabupaten Solok atau Kotamadya Solok. Pendatang dari Sumatera Utara (orang Batak) sebagaian besar berprofesi sebagai tukang kredit, disamping sebagai pegawai negeri, polisi, atau tentara yang ditempatkan pemerintah di Kabupaten atau Kota Solok.

4. BENTUK-BENTUK INTERAKSI
Bentuk-bentuk interaksi yang terjadi antara kelompok masyarakat petani dan kelompok masyarakat bukan petani, dapat terjadi dalam tiga bentuk, yaitu performan atau penampilan, comformity, dan kerjasama (Wiggins, 1994). Penampilan atau performan sangat dipengaruhi oleh kehadiran orang lain. Orang lain yang dimaksud adalah coaction dan audience. Coaction adalah orang yang melakukan perbuatan yang sama dengan yang dilakukan oleh seseorang, seperti sesama petani yang sama-sama sedang mencangkul di sawah, sedangkan audience adalah orang lain yang memperhatikan penampilan seseorang, dalam kasus di atas adalah penduduk yang bukan petani yang sedang menyaksikan petani sedang mencangkul di sawah, atau sebaliknya petani yang sedang menyaksikan pedagang sedang berjualan.
Bentuk interaksi sosial yang kedua adalah conformity, yaitu proses penyesuaian diri dengan norma dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat atau kelompok mayoritas tempat seseorang berada. Dalam masyarakat yang homogen dan tradisional, conformity masyarakatnya lebih kuat. Pada masyarakat Selayo yang sekarang sudah bersifat heterogen dan menunjukkan ciri-ciri masyarakat modern, conformity yang terjadi tidak lagi terlalu kuat. Meskipun demikian, proses conformity masih terlihat pada beberapa pendatang yang berusaha menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di Nagari Selayo.
Bentuk interaksi sosial yang ketiga adalah kerjasama yang merupakan aktivitas kolektif yang memberikan keuntungan pada setiap individu yang ikut di dalamnya. Dalam kerjasama kedua belah pihak saling mempengaruhi dan saling menguntungkan. Di antara beberapa macam bentuk kerjasama adalah tolong-menolong. Tolong menolong yang terjadi bisa dalam bentuk altruisme dan pertukaran imbalan (reward exchange). Altruisme adalah hasrat untuk menolong orang lain tanpa memikirkan diri sendiri, sedangkan pertukaran imbalan (reward exchange) adalah perbuatan yang dilakukan seseorang dengan tujuan agar suatu saat dia mendapatkan imbalan yang sama dari perbuatan yang dia lakukan pada orang lain tersebut. Kerjasama yang terjadi antara kedua kelompok masyarakat di Nagari Selayo ini, terlihat misalnya dalam menyukseskan acara khatam al-qur’an, acara 17 Agustus, dan acara pemilihan wali nagari yang melibatkan seluruh unsur yang ada dalam masyarakat, baik petani maupun yang bukan petani.
Interaksi yang sering terjadi antara petani dengan penduduk yang berprofesi sebagai pegawai negeri lebih banyak dalam hal sewa-menyewa rumah atau kamar. Petani yang merupakan penduduk asli merupakan pihak yang menyewakan dan pegawai negeri yang datang dari daerah lain brtindak sebagai penyewa. Kehadiran pegawai negeri ini telah menambah sumber penghasilan yang baru kepada petani. Dengan adanya pegawai negeri ini banyak petani yang kemudian sengaja membangun rumah-rumah kontrakan untuk disewakan.
Interaksi yang terjadi antara petani dengan penduduk yang mempunyai profesi yang lainnya, seperti pedagang, terutama berlangsung di pasar nagari atau di toko-toko dan warung-warung yang dimiliki oleh para pedagang tersebut. Interaksi dengan yang pendatang yang bergerak di sektor jasa, seperti usaha salon, bengkel, dokter, rental komputer, fotokopi, servis elektronik, dan sebagainya, terutama berlangsung di tempat mreka membuka usahanya ketika petani membutuhkan jasa mereka.
Penduduk yang bukan petani pun juga banyak berhubungan dengan para petani ini terutama dalam kegiatan-kegiatan sosial, pengajian, kenduri, dan sebagainya. Bentuk interaksi lainnya yang sering terjadi adalah dalam bentuk perkawinan campuran. Sering terjadi pendatang yang tinggal pada sebuah rumah milik petani kemudian menikah dengan anak pemilik rumah atau dengan warga lainnya yang ada di Selayo.
Perkawinan antara keluarga petani yang merupakan penduduk asli dengan orang luar Minangkabau juga sering terjadi, terutama dengan orang Jawa. Hal ini terutama ditunjang oleh kesamaan agama dan mulai bergesernya pola pandang masyarakat yang tidak lagi fanatik harus mempunyai menantu yang se nagari atau setidak-tidaknya satu etnis dengannya. Saat ini, yang terpenting bagi mereka adalah seaqidah dan berasal dari keluarga yang baik-baik. Berbeda halnya dengan pendatang dari Batak, yang pada umumnya memiliki agama yang berbeda dengan penduduk setempat, belum ada yang diambil menantu oleh warga setempat.
Faktor-faktor yang mendorong terjadinya interaksi antara keluarga petani dengan pendatang adalah faktor imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati. Proses imitasi atau peniruan antara petani dan yang bukan petani di antaranya adalah dalam hal pola hidup. Petani meniru pola hidup penduduk yang bukan petani dalam hal mengatur keuangannya. Sebagian besar petani tidak dapat mengelola uang mereka dengan benar. Pada saat panen mereka suka menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang sebenarnya kurang perlu. Hal lainnya yang ditiru dari pendatang adalah cara berpakaian dan model rambut. Sementara itu warga yang bukan petani meniru petani dalam hal merayakan hari-hari besar keagamaan, cara memasak, dan yang negatifnya banyak pula yang terbawa gaya hidup penduduk asli yang lebih pemalas dan boros pada satu sisi.
Proses sugesti yang terjadi di Selayo adalah para petani sebagai penduduk asli yang memandang derajat mereka lebih tinggi dari para pendatang yang notabene tidak punya tanah yang luas di Nagari Selayo. Para pendatang terpaksa menerima pandangan penduduk asli tersebut, walaupun mereka tidak perlu merendah-rendahkan diri di hadapan penduduk asli.
Proses identifikasi yang berlangsung di Selayo ialah adanya kecenderungan-kecenderungan atau keinginan-keinginan dari warga yang bukan petani untuk hidup menyatu dengan keluarga-keluarga petani yang merupakan penduduk asli. Hal ini ditunjukkan antara lain dengan aktif di berbagai kegiatan sosial, ikut pengajian dengan menggunakan pakaian yang sama dengan pakaian yang biasa digunakan penduduk asli. Begitu juga dalam hal acara-acara adat, mereka ikut menggunakan pakaian yang sama dengan yang digunakan oleh penduduk asli, sesuai dengan acaranya.
Proses simpati yang berlangsung di Selayo ialah adanya rasa ketertarikan dari penduduk pendatang terhadap adat istiadat Nagari Selayo. Adat perkawinan, kematian, turun mandi, aqiqah, dan khatam al-qur’an yang selalu dirayakan secara meriah oleh para petani, memberikan kesan tersendiri bagi para pendatang, terutama bagi yang memiliki kemampuan yang cukup dalam bidang finansial. Banyak pula di antara pendatang ini yang melaksanakan upacara adat ini pada saat-saat tertentu.
Di samping faktor-faktor pendorong, ada pula faktor-faktor yang menghambat terjadinya interaksi antara petani dan bukan petani di Nagari Selayo. Beberapa di antaranya adalah, (1) Terpisahnya tempat tinggal sebagian pendatang yang tidak berprofesi sebagai petani dari tempat tinggal petani; (2) Kurangnya pengetahuan warga yang bukan petani mengenai kebudayaan yang dihadapi, karena kebudayaan masyarakat Selayo adalah budaya masyarakat agraris; (3) Penduduk asli yang berprofesi sebagai petani merasa bahwa kebudayaan mereka lebih superior dari kebudayaan lain, sehingga mereka cenderung memandang budaya para pendatang sebagai budaya yang lebih rendah; (4) Perbedaan kepentingan dan pertentangan pribadi antara satu kelompok dengan kelompok lainnya; dan (5) Keengganan petani untuk menjual tanah yang dimilikinya kepada para pendatang.

5. PERUBAHAN-PERUBAHAN YANG TERJADI
Banyaknya pendatang yang menetap di Nagari Selayo, terutama setelah dibangunnya kompleks perkantoran walikota dan bupati Solok yang terletak tidak jauh dari Selayo telah menyebabkan terjadinya perubahan besar dalam pola pikir masyarakat Selayo. Dibukanya jalan By Pass yang kemudian berdampak terhadap kemajuan perdagangan di Nagari Selayo, juga ikut mempengaruhi pandangan petani terhadap profesi pedagang.
Ketika pendatang yang berprofesi bukan petani banyak menetap di Selayo, sebagian besar penduduk Selayo, terutama petani kaya, memandang pekerjaan sebagai pegawai negeri dengan sebelah mata dan tidak menganggapnya sebagai pekerjaan yang bergengsi. Hal ini disebabkan karena kecilnya gaji yang diterima oleh pegawai negeri setiap bulannya, jauh lebih kecil dari pendapatan yang biasa diterima petani kaya. Hal ini terutama disebabkan karena pada waktu itu orang Selayo yang menjadi pegawai negeri lebih banyak yang merupakan pegawai golongan rendah karena pendidikan mereka yang juga rendah, seperti penjaga sekolah, pesuruh kantor, pegawai kantor camat, atau guru yang pada waktu itu gajinya tidak seberapa. Pandangan seperti itu sekarang sudah mulai bergeser karena penduduk asli sudah dapat melihat bahwa banyak pula pegawai negeri yang mampu hidup berkecukupan, terutama pegawai golongan tinggi yang juga berpendidikan tinggi.
Dampak yang terlihat dari fenomena ini adalah munculnya keinginan yang kuat dari keluarga petani, terutama petani kaya, untuk menyekolahkan anak-anak mereka setinggi mungkin, kalau perlu dengan menggadaikan sawah dan ladang. Hal ini dilakukan supaya anak-anak mereka kelak dapat menjadi pegawai negeri yang memiliki golongan tinggi, di samping tentunya juga menambah prestise tersendiri bagi mereka. Petani kaya, saat ini akan merasa malu jika anak-anak mereka tidak melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang perguruan tinggi, karena hal itu akan membuat prestise mereka jatuh di tengah masyarakat.
Pekerjaan sebagai pedagang yang semula juga dianggap sebagai pekerjaan yang rendah, karena hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak punya tanah, setelah melihat keberhasilan para pedagang pendatang yang menjadi kaya melalui perdagangan, membuat pandangan petani pun berubah. Saat ini banyak pula anak-anak dari keluarga petani yang lebih cenderung menjadi pedagang daripada menjadi petani, karena mereka merasakan bahwa perputaran uang dalam dunia perdagangan jauh lebih cepat daripada bertani. Faktor lainnya adalah adanya anggapan generasi muda yang mengatakan bahwa pekerjaan sebagai petani sangat berat dan butuh tenaga yang banyak.
Dampak yang terlihat dari hal ini adalah banyaknya anak-anak petani yang kemudian tidak lagi melanjutkan usaha orangtuanya. Mereka lebih tertarik untuk berusaha di bidang perdagangan yang dianggap lebih menguntungkan dan tidak terlalu menguras tenaga. Jika sebelumnya toko-toko dan warung-warung di Selayo hampir semuanya dimiliki para pendatang, saat ini sudah mulai banyak pula penduduk asli yang memilikinya, baik dengan membangun sendiri ataupun dengan menyewa toko milik orang lain.
Selain menjadi pedagang dan pegawai negeri, jarang sekali penduduk yang berasal dari keluarga petani yang menekuni profesi lain seperti pengrajin atau berbagai bentuk industri rumah tangga. Hal ini mungkin disebabkan oleh sifat dasar penduduk asli yang memang tidak menyukai pekerjaan-pekerjaan yang hanya dianggap sebagai pengisi waktu luang saja. Penyebab lainnya adalah tingginya tingkat kesuburan tanah di Selayo, sehingga penduduknya secara tradisi tidak pernah berpikir untuk berusaha di bidang lain.

6. PENUTUP
Interaksi sosial yang terjadi antara penduduk asli Nagari Selayo yang secara tradisional adalah petani sawah dengan para pendatang yang sebagian besar berusaha di bidang lain, telah membawa perubahan besar dalam pola pandang dan pola pikir masyarakat petani tradisional. Pengaruh terbesar yang diberikan oleh pendatang kepada penduduk asli adalah kenyataan saat ini bahwa semakin banyaknya orang Selayo yang meninggalkan usaha pertanian mereka dan kemudian beralih ke bidang lain, terutama perdagangan.
Fakta yang terjadi, banyak di antara penduduk asli yang tidak mampu bersaing dengan pendatang tersebut, karena keahlian yang mereka miliki dalam hal berdagang jauh lebih sedikit. Para pendatang memiliki keahlian lebih dalam berdagang karena ditunjang oleh lingkungan dagang yang sudah mentradisi bagi mereka. Bagi mereka, karena tidak punya tanah yang hendak digarap, untuk menyambung hidup mereka harus berusaha dengan cara berdagang, di samping sekali-sekali menjadi buruh tani. Itulah sebabnya masyarakat Selayo menyebut semua pendatang yang tidak punya tanah dengan sebutan “anak dagang”.
Dampak positif yang terjadi akibat interaksi antara petani dengan pendatang ini adalah semakin meningkatnya kesadaran petani untuk menyekolahkan anak-anak mereka setinggi mungkin, karena mereka ingin anak-anak mereka juga memiliki titel dan pangkat seperti pegawai golongan tinggi yang tinggal di Selayo. Dalam bidang pendidikan agama pun terlihat kemajuan yang positif. Para pendatanglah yang telah mengidupkan Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) di masjid-masjid yang ada di Selayo. Hampir semua tenaga pengajar di MDA-MDA tersebut adalah para pendatang, terutama pegawai Departemen Agama (Depag), guru-guru agama (ustadz), atau mahasiswa IAIN yang tinggal di masjid. Guru-guru atau ustadz-ustadz tersebut juga selalu memberikan pengajian setiap selesai Salat Subuh di masjid. Di Masjid Raya Selayo, misalnya kuliah subuh sudah dilakukan sejak tahun 1965 dan belum pernah absen sampai sekarang.
Dampak kuliah-kuliah yang diberikan oleh guru-guru agama tersebut, terlihat misalnya pada peningkatan kesadaran masyarakat untuk tidak lagi terlalu mementingkan adat daripada agama. Adat yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama, saat ini sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan, seperti menghitung hari saat kematian salah seorang anggota keluarga, makan dan minum di rumah orang kematian, memberikan sedekah kubur, dan sebagainya. Hanya beberapa keluarga petani kaya saja yang masih melakukan tradisi-tradisi seperti itu saat ini untuk menjaga prestise mereka di tengah masyarakat.
Dampak negatif dari interaksi yang terjadi pada berbagai kelompok masyarakat di Nagari Selayo di antaranya adalah dikenalnya narkoba dan jenis-jenis permainan judi, yang terutama dibawa oleh para pemuda dari daerah lain yang datang ke Selayo sebagai pedagang. Banyak anak-anak dari keluarga petani yang kemudian juga terlibat dalam perbuatan maksiat ini. Dampak lainnya adalah model-model pakaian yang dikenakan oleh para pendatang tersebut banyak kurang pantas menurut norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.













DAFTAR PUSTAKA

Bintarto, R., 1989, Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Huky, D.A. Wila, 1986, Pengantar Sosiologi, Usaha Nasional, Surabaya.

Hüsken, Frans, 1998, Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

Idris, Soewardi (ed.), 1992, Selayo Kec. Kubung, Kab. Solok, Ikatan Keluarga Selayo, Jakarta.

Koentjaraningrat (ed.), 1984, Masyarakat Desa di Indonesia, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Liliweri, Alo, 2003, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, LKiS, Yogyakarta.

Mubyarto, et al., 1994, Keswadayaan Masyarakat Desa Tertinggal, Aditya Media, Yogyakarta.

Soekanto, Soerjono, 1985, Kamus Sosiologi, CV Rajawali, Jakarta.

________________, 1995, Sosiologi Suatu Pengantar, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Wiggins, J., Wiggins, B. and Zanden, J., 1994, Social Psychology, McGraw-Hill, Inc (5th ed).



















KERANGKA PEMIKIRAN

Proses Terjadinya Interaksi dan Dampak yang Ditimbulkannya

Penduduk Asli Penduduk Pendatang

1 komentar:

  1. iko namonya makalah DOLTOR. ndakngarati awak doh!. kalau kato riva. Atu Kecek, ndak ngarati awak doh. itu keceknyo ka yogo dulu.
    cubo pulo caliak carito di blog ambo di http//:www.rahmanhadiq.blogspot.com.
    ambo ka mamasuakan (mamastakan) carito ambo tapi blog iko indak disetting dulu sehinggo indak bisa bahan ambo dipaste kan disiko.

    BalasHapus