Rabu, 16 September 2009

SELAYO: NAGARI BAPAK DI KUBUANG TIGO BALEH

SELAYO: NAGARI BAPAK DI KUBUANG TIGO BALEH
Oleh
Witrianto, SS.,M.Hum.,M.Si.

Nagari Selayo merupakan bagian dari Alam Minangkabau yang secara adat merupakan “Ekor Luhak Kepala Rantau”. Sebagai bagian dari Kubuang Tigo Baleh, Nagari Selayo tidak berstatus rantau (daerah yang membayar upeti), malah mempunyai rantau dan pesisirnya sendiri. Daerah rantaunya ialah Alam Surambi Sungai Pagu (Solok Selatan) dan pesisirnya ialah daerah „Padang Luar Kota“ (daerah yang menjadi bagian dari Kota Padang setelah perluasan kota pada tahun 1979) dan sebagian daerah Pesisir Selatan.
Asal-usul nama Nagari Selayo berasal dari kata salah iyo yang berarti “salah ya” dipakai dalam percakapan ninik mamak dalam menentukan daerah-daerah yang akan dibangun sebagai nagari. Dari percakapan ninik mamak tadi, maka daerah ini dinamakan Salayo atau Selayo. Beberapa pendapat yang lain mengatakan bahwa Selayo berasal dari nama tanaman yang disebut “selayu”, yaitu sejenis tanaman rawa. Tanaman ini dahulunya banyak terdapat di sini sehingga daerah ini dinamakan Selayo.
Sebagai daerah transisi antara Luhak dan Rantau, adat-istiadat yang berlaku di Nagari Selayo tidak banyak berbeda dengan daerah Luhak. Perbedaan yang terlihat terutama adalah mengenai penyebutan gelar dan panggilan kepada saudara istri atau suami. Di daerah Luhak, setelah menikah, laki-laki, terutama yang bergelar datuk, tidak boleh dipanggil dengan namanya melainkan dengan gelar yang sudah dilekatkan kepadanya, tetapi di Nagari Selayo gelar tersebut hanya dipanggil, terutama, pada waktu upacara-upacara adat saja, sedangkan dalam kehidupan sehari-hari biasanya ia tetap dipanggil sesuai namanya.
Di daerah Luhak, seorang suami harus memanggil Uda (kakak laki-laki) atau uni (kakak perempuan) kepada kakak istrinya, meskipun ia lebih tua dari kakak iparnya tersebut. Sementara itu, di Nagari Selayo, seorang suami akan tetap memanggil nama saja kepada kakak istrinya jika dia berusia lebih tua dari kakak iparnya. Begitu juga jika istri kakak lebih muda, dia akan memanggil uda atau uni kepada adik suaminya yang lebih tua dari dia. Di daerah Luhak hal sebaliknyalah yang terjadi.
Perbedaan lainnya yang terdapat antara Nagari Selayo dengan daerah Luhak adalah dalam melakukan upacara-upacara adat seperti perkawinan dan kematian. Di Nagari Selayo dikenal adanya adat perkawinan besar, menengah, dan kecil, serta adat kematian besar, menengah, dan kecil yang diberlakukan kepada seseorang sesuai dengan status sosialnya secara adat. Di daerah Luhak hal seperti itu tidak ditemui baik dalam upacara perkawinan maupun upacara kematian yang menggunakan tatacara yang sama pada setiap orang tanpa membedakan status sosialnya secara adat.
Sebagai “Nagari Bapak” di Kubuang Tigo Baleh, di Selayo angka tigo baleh (tiga belas) dianggap sebagai angka “keramat” atau “ciri khas Nagari Selayo”. Meskipun menurut kepercayaan orang Barat angka 13 merupakan angka sial, masyarakat Selayo yang hampir semuanya beragama Islam tidak menganggapnya sebagai angka sial Di samping sebagai bapak dari Konfederasi Kubuang Tigo Baleh yang memang terdiri dari 13 nagari (pendapat lainnya 13 kelarasan), jumlah suku di Selayo juga terdiri dari 13 suku, yaitu (1) Caniago, (2) Supanjang, (3) Lubuak Batang, (4) Koto, (5) Piliang, (6) Jambak, (7) Kutianyia, (8) Subarang Tabek, (9) Parak Panjang, (10) Melayu, (11) Tambang Padang, (12) Kampai, dan (13) Tapi Aia. Suku Caniago, Supanjang, dan Lubuak Batang disebut juga Tigo Korong dan hanya dipimpin oleh satu orang penghulu saja. Suku Koto, Piliang, Jambak, dan Kutianyia disebut juga Ampek Niniak dan hanya dipimpin oleh seorang penghulu saja. Suku Subarang Tabek dan Parang Panjang juga hanya dipimpin oleh satu orang penghulu saja. Sementara itu Suku Melayu, Tambang Padang, Kampai, dan Tapi Aia masing-masing dipimpin oleh seorang penghulu, sehingga dengan demikian jumlah penghulu di Selayo hanya tujuh orang.
Selain jumlah suku yang berjumlah tiga belas, jumlah jorong di Nagari Selayo sebelum diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1979 juga berjumlah tiga belas, yaitu (1) Selayo Baruah, (2) Selayo Ateh, (3) Subarang, (4) Sawah Suduik, (5) Padang Kunik, (6) Munggu Tanah, (7) Parak Gadang, (8) Sawah Kandang, (9) Sumua Balimbiang, (10) Kubua Harimau, (11) Pakan Sinayan, (12) Lurah Baruah, dan (13) Lurah Ateh. Ketika diberlakukan Pemerintahan Desa di Sum,atera Barat pada tahun 1983, jumlah desa yang ada di Selayo juga berjumlah tiga belas, yaitu sesuai dengan jumlah jorong sebelumnya.
Sewaktu diadakan penataan desa tahun 1990, jumlah desa di Nagari Selayo diciutkan menjadi empat desa, yaitu (1) Galanggang Tangah yang merupakan gabungan dari Desa Selayo Baruah, Selayo Ateh, dan Subarang; (2) Sawah Suduik yang merupakan gabungan dari Desa Sawah Suduik dan Padang Kunik; (3) Batu Palano yang merupakan gabungan dari Desa Munggu Tanah, Parak Gadang, dan Sawah Kandang; dan (4) Lurah Nan Tigo yang merupakan gabungan dari Desa Sumua Balimbiang, Kubua Harimau, Pakan Sinayan, Lurah Ateh, dan Lurah Baruah.
Setelah kembali ke Pemerintahan Nagari pada tahun 2001, jumlah jorong di Nagari Selayo tetap empat karena dianggap lebih efisien dan mudah mengaturnya dibanding memiliki tiga belas jorong. Para pemimpin adat dan kaum cerdik pandai di Nagari Selayo hendaknya memikirkan kembali untuk mengembalikan jumlah jorong di Nagari Selayo menjadi tiga belas karena terkait dengan nilai historis yang disandang Nagari Selayo sebagai “Bapak Kubuang Tigo Baleh”.
Sama halnya dengan peraturan di nagari-nagari lainnya di Minangkabau yang melarang warga yang memiliki suku yang sama untuk saling mengawini, di Nagari Selayo peraturan tersebut juga berlaku. Akan tetapi, terdapat beberapa aturan tambahan yang khas di nagari selayo terkait dengan aturan perkawinan ini. Di samping satu suku, larangan kawin di Selayo juga berlaku bagi warga; (1) Lubuk Batang dengan Supanjang; (2) Koto dengan Piliang; (3) Jambak dengan Kutianyia; (4) Melayu dengan Suku Tambang Padang; dan (5) Kampai dengan Tapi Aia. Peraturan ini berlaku bagi semua warga, jika ada yang melanggar akan dikenai sanksi berupa “dibuang sepanjang adat”.
Di samping penghulu yang merupakan pemimpin sebuah suku, setiap suku juga punya hulubalang (penjaga keamanan), manti (pelaksana hal-hal yang berkaitan dengan adat), dan malin (pelaksana hal-hal yang berkaitan dengan agama). Keempat unsur tersebut disebut dengan istilah “urang ampek jinih” atau biasa juga disebut “ninik mamak”, merupakan golongan yang menempati lapisan paling atas dalam masyarakat Selayo. Jabatan-jabatan yang dipegang oleh “urang ampek jinih” didapatkan secara turun-temurun menurut garis keturunan matrilineal.
Di samping unsur-unsur tersebut, di Nagari Selayo masih terdapat dua golongan pemimpin informal yang tidak berdasarkan kepada garis keturunan, tetapi berdasarkan keahlian, yaitu golongan alim ulama, dan cerdik pandai. Ketiga unsur kepemimpinan ini, yaitu ninik mamak, alim ulama, dan kaum cerdik pandai disebut sebagai Tigo Tungku Sajarangan, yang masing-masing punya batasan wewenang masing-masing.
Suku yang dipimpin oleh seorang penghulu suku, terdiri atas beberapa kaum yang dikepalai oleh seorang mamak kepala kaum. Satu kaum terdiri atas beberapa paruik yang dikepalai oleh seorang mamak kepala waris. Paruik terbagi lagi atas beberapa payuang yang dikepalai oleh seorang tungganai. Setiap payuang kemudian terbagi lagi atas beberapa hubungan kekerabatan yang disebut samande yang berasal dari nenek yang sama dan tinggal di rumah gadang yang sama, biasanya dipimpin oleh laki-laki yang tertua dalam keluarga itu.
Sebuah rumah gadang memiliki jumlah kamar ganjil, yaitu tiga, lima, tujuh, atau sembilan. Yang paling umum adalah lima dengan kamar yang berjejer dari utara ke selatan atau dari selatan ke utara. Berbeda dengan rumah gadang di beberapa nagari lainnya di Kubuang Tigo Baleh yang harus menghadap ke arah Gunung Talang, di Nagari Selayo sebuah rumah gadang harus menghadap ke arah matahari terbit atau matahari terbenam. Posisi rumah gadang tidak disesuaikan dengan jalan, sehingga bisa saja sebuah rumah gadang membelakangi, menyamping, atau menyerong jalan, sesuai dengan kondisi jalan.
Kamar paling kanan dalam sebuah rumah gadang merupakan kamar utama dan biasanya ditempati oleh pasangan suami istri yang paling belakangan menikah, jika ada anggota perempuan dalam keluarga tersebut yang menikah maka penghuni kamar utama bergeser ke kamar di sampingnya atau kamar nomor dua. Penghuni kamar nomor dua kemudian bergeser ke kamar nomor tiga dan seterusnya. Jika semua kamar dalam rumah gadang sudah penuh, akan dibangun sebuah rumah gadang baru di samping atau di belakang rumah gadang induk dengan cara gotong royong.
Anak-anak yang masih kecil dalam rumah gadang tidur dengan orangtuanya masing-masing. Anak laki-laki yang sudah agak besar (sudah ikut mengaji/sudah sekolah) sampai yang sudah dewasa tetapi belum kawin, tidur di surau kaum bersama dengan anak-anak dan laki-laki dewasa lainnya. Di surau inilah mereka dididik pengetahuan mengenai agama dan adat istiadat Minangkabau yang didapatkan dari laki-laki dewasa sesudah salat Isya hingga menjelang tidur. Anak perempuan yang sudah agak besar sampai mereka menikah tidur di ruang tengah atau kamar belakang bersama-sama dengan saudara-saudara dan sepupu-sepupunya yang lain.
Secara tradisi menurut pola ideal, jika sebuah rumah gadang atau sebuah keluarga luas tidak lagi memiliki anggota perempuan, karena semua anak yang dilahirkan semuanya laki-laki, keluarga tersebut di katakan punah. Dalam kondisi seperti ini, rumah gadang beserta harta pusaka dan gelar pusaka milik keluarga yang punah tersebut akan diwarisi oleh kemenakan angkatnya (kamanakan bawah lutuik) yang sebelumnya merupakan pengurus rumahtangga atau penggarap sawah ladang milik keluarga luas tersebut. Dalam pola aktual sekarang, laki-laki terakhir dalam keluarga yang punah memberikan harta pusaka milik kaumnya kepada anak-anaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar